Thursday, January 4, 2007

Otonomi Daerah

Konsepsi Otonomi Daerah dalam Peraturan Perundangan di Indonesia: Sebuah Proses yang Belum Tuntas dan Pemikiran Kompetisi yang Sehat Antar-Pemerintah Daerah
oleh: Amelia Day

Introduksi

Tanggal 25 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan bertemu dengan Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura di Pulau Batam dan Bintan untuk membicarakan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) atau Special Economic Zone (SEZ). Pembicaraan akan mengarah ke kesepakatan bilateral untuk pembangunan infrastruktur di kedua pulau tersebut oleh Pemerintah Singapura.

Pemerintah Indonesia hingga hari ini masih menyangkal akan kemungkinan “sewa pulau” yang banyak diwacanakan beberapa waktu terakhir ini. Selain Provinsi Kepulauan Riau, masih ada sekitar 6 daerah lain untuk dijadikan KEKI, di antaranya Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Menteri Perdagangan Mari Pangestu menyatakan bahwa penentuan kawasan ini akan dilakukan berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan pemerintah dan sekarang sedang dilakukan evaluasi dan kajian daerah mana saja yang bisa masuk KEKI.

Walau dengan hati-hati memegang idealisme “kesatuan dan persatuan bangsa”, saya menganggap keputusan Presiden dan jajarannya untuk membangunkan ”aset nasional yang tidur” adalah satu langkah maju. Dari 17,000 pulau (dengan dan tanpa nama), Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf menyatakan bahwa masih ada 12.000 pulau yang belum berpenghuni . Konsentrasi populasi dan kekuatan ekonomi hanya terpolarisasi di tak lebih dari 9 (sembilan) provinsi saja.

Indikatornya, secara singkat dan mudah, bisa dilihat dari ibukota provinsi mana saja yang di-rating oleh Nielsen Media Research untuk iklan dan media massa.
Mengutip tulisan Salahuddin Wahid di Kompas, 23 Juni 2006, bahwa masyarakat ini hampir lupa dengan sila kelima Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kalau mau dijabarkan lebih jauh, ilmu-ilmu sosial mencakupi sub-bidang ilmu yang luas, mulai dari bahasa hingga politik, dari ekonomi hingga antropologi. Keadilan ini kemudian memang adalah sebuah kata yang amat sulit diterjemahkan di atas peta negara kepulauan seluas 1.890.000 km2 dan berpopulasi 215.960.000 (2004) .

Otonomi daerah yang bagaimana?

Semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, untuk memenuhi rasa keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, konsep sentralisasi pemerintah bergeser ke konsep desentralisasi. Otonomi daerah hingga hari ini masih belum terkonsepsi secara tuntas. Banyak peraturan perundangan yang telah lahir pasca-1998 mencoba memberikan penyelesaian atas government failure di masa Orde Baru. Sayangnya, mungkin belum banyak belajar dari kesalahan masa lalu, konsepsi otonomi daerah—atau hubungan pemerintah pusat dan daerah—hingga hari ini belum juga tertuang tegas. Indra J. Piliang, Periset dari CSIS, menyesalkan hal ini juga.

Padahal, kita sudah mengeluarkan banyak biaya sosial dan politik untuk menyelesaikan kegamangan hubungan pemerintah pusat dengan daerah dan kesenjangan antar daerah. Rangkaian pemilihan yang dilakukan, mulai dari pemilihan anggota parlemen, anggota Dewan Perwakilan Daerah, presiden dan wakil presiden, serta Kepala Pemerintah Daerah (Pemda), seolah hanyalah asesoris dalam menata demokrasi. Padahal, demokrasi juga mensyaratkan tanggungjawab yang lebih besar dalam diri para penyelenggara negara yang terpilih.

Untuk menata hubungan pusat-daerah, hari ini Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan tim inter-departemen, sedang memformulasikan turunan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004). Undang-undang ini adalah produk hukum yang merevisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU 22/1999) tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang lama telah menelurkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 (PP 25/2000) tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Di dalam Ketentuan Penutup, Pasal 238 ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.” Akibatnya, hingga hari ini PP 25/2000 tetap sah secara hukum, walau untuk beberapa hal, Pemerintah Provinsi/Kota/Kabupaten sehari-hari tidak lagi melaksanakan PP ini secara efektif.

Lahirnya UU 22/1999 ataupun UU 32/2004 membawa nilai-nilai baru yang mungkin tak selalu diamini semua orang. Daerah-daerah yang belum siap atau yang masih bertransformasi mengalami kesulitan mengadaptasi nilai baru dari penerapan desentralisasi ini. Harus diingat kembali, semangat reformasi yang melahirkan konsepsi otonomi daerah harus mempertimbangkan distribusi yang adil atas segala aspek kehidupan untuk kesejahteraan masyarakat. Yang terjadi kemudian bukan “kebijakan atas nama rakyat”, melainkan sebuah euforia pemerintahan daerah. Pemilihan langsung kepala pemerintahan provinsi/kota/kabupaten kemudian menambah riuhnya implementasi otonomi daerah. Pemerintah Pusat seakan kewalahan membendung euforia yang disebabkan oleh UU 22/1999 apalagi turunan UU ini: PP 25/2000. Terkadang malah Pemerintah Pusat menjadi repot atas ketidak-sinkronan pelaksanaan peraturan di banyak daerah.

Setelah gelombang reformasi bergulir, kekuasaan rezim Orde Baru pun tumbang. Desakan reformasi untuk mengubah paradigma pemerintahan daerah dengan desentralisasi dan otonomi yang seluas-luasnya benar-benar menjadi kenyataan. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi fondasi desentralisasi yang kuat. Paradigma pembangunan pun berubah dari sebelumnya yang segalanya diatur dari atas, menjadi sebaliknya. Daerah mempunyai kewenangan yang besar dari sebelumnya. Undang-undang ini memang lahir di lingkungan transisi dengan kecenderungan politik di parlemen lebih terfragmentasi dalam beberapa partai politik. Tak heran bila kelahirannya tetap diwarnai tarik ulur kepentingan yang kuat. Akibatnya, muncul beberapa pasal yang mengandung potensi permasalahan baru bahkan berujung konflik. Bahkan, dalam perjalanannya persoalan-persoalan dalam internal pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah, pun sering terjadi.

Keruwetan Peraturan sebagai Fondasi Konsep Otonomi Daerah: Kasus Peraturan Daerah ”Bermasalah”

Banyak kasus terjadi, muncul banyak Peraturan Daerah (Perda) yang seakan ”lari” dari induk peraturannya, atau bahkan dibuat tanpa ”cantelan” peraturan yang lebih tinggi hierarkinya. Kesemrawutan ini menjadi entry barrier bagi investasi antar-provinsi atau juga investasi dari luar negeri . Pemerintah, melalui Departemen Keuangan, mengkaji Perda-perda ”bermasalah”, di antaranya :
- Retribusi Ijin Komoditi Keluar Provinsi (Prov. Lampung)
- Retribusi Pengujian/Pemeriksaan Mutu Hasil Perikanan( Prov. Bangka Belitung, Prov. Jambi)
- Retribusi/Sumbangan Pembangunan Menara Telekomunikasi: (Tanjung Jabung - Jambi, Palembang, Bangka Tengah, Muara Enim)
- Pajak Hasil Tanaman Pertanian/Perkebunan dan Perikanan (Kab. Tapanuli Selatan, Kab. Lahat)
- Pemberian Ijin Pungutan Hasil Hutan Kayu/Tanaman: Kab. Sawah Lunto, Kab. Kerinci
- Retribusi Penyelenggaraan Angkutan Barang/Hasil Alam (Prov. Sumatera Utara, Kab. Siak)
- Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri, Umum dan Usaha Penunjang Tenaga Listrik (Prov. Sumatera Selatan, Prov. Bengkulu)
- Retribusi Ijin Pemanfaatan dan Pungutan Hasil Hutan Produksi dan Hutan Tanaman (Kab. Kepulauan Riau, Kab. Tapanuli Selatan)

Setelah mengkaji dan melakukan sinkronisasi, di akhir bulan Juni ini Pemerintah Pusat, melalui Depdagri, akhirnya membatalkan 16 Perda yang dianggap bermasalah dari lima pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebelum dibatalkan, ”Mendagri telah memberikan surat teguran agar daerah yang bersangkutan mencabut atau membatalkan sendiri. Namun, karena tidak ada tanggapan, akhirnya Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan” dengan alasan peraturan itu bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi.

Depdagri ternyata memiliki aturan untuk mengevaluasi seluruh Perda. Bila peraturan itu ternyata bertentangan dengan hukum yang sudah ada, setiap saat Mendagri bisa membatalkannya.

Pemerintah Daerah (Pemda) wajib mengevaluasi, menurut HM Isra Ismail, Kepala Biro Hukum Sekretariat Pemprov Kalsel, Pemda wajib mengevaluasi Perda yang ada dan berhati-hati dalam membuatnya. Selama ini sebuah Perda dianggap berlaku otomatis bila tidak ada teguran atau pembatalan dalam kurun 30 hari sejak ditetapkan pemerintah setempat .

Proses pembentukan peraturan perundangan sesungguhnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 (UU 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Proses pembatalannya seperti kasus Perda bermasalah yang dicabut oleh Mendagri ini, sayangnya, tak diatur secara eksplisit dalam Undang-undang ini.

Kata ”batal” hanya ditemui di satu klausul di dalam Penjelasan UU 10/2004 Pasal 5 Huruf b, bahwa ”Yang dimaksud dengan asas ’kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat’ adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.”
Kemudian kata ”mencabut” juga ada di dalam Penjelasan UU 10/2004:

117. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.

118. Rumusan pencabutan diawali dengan frase ”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku”, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.

119. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang- undangan mana yang dicabut.

Selain itu juga, sesungguhnya dalam hierarki peraturan perundangan, ”Peraturan Pemerintah” berada langsung di atas ”Peraturan Daerah”. Tidak ada ”Peraturan Menteri” (seperti Peraturan Mendagri untuk membatalkan Perda Kalsel ini) berdiri di antara keduanya .

Keruwetan pembentukan peraturan daerah ini—dan pembatalannya—menjadi suatu cermin dari keruwetan tata hubungan pusat-daerah, ditambah komplikasi proses pembentukan peraturan perundangan. Tarik-ulur pusat-daerah ini dipertegas dengan lamanya pembahasan RPP pengganti PP 25/2000 sebagai turunan UU 22/1999 yang masih sah berlaku. Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) menyerahkan Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 Antar-Gubernur Seluruh Indonesia di Mataram, 20-22 Mei 2006, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada 9 pokok pemikiran untuk dipertimbangkan Presiden dalam rangka perumusan PP pengganti PP 25/2000 ini.

Rumusan pembagian kewenangan pusat dan daerah ini hingga hari ini masih ngendon di Depdagri bersama Tim Inter-departemen, di antaranya Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ada 30 (tiga puluh) urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, yaitu:
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Pekerjaan Umum
4. Penataan Ruang
5. Perencanaan Pembangunan
6. Perumahan
7. Pemuda dan Olahraga
8. Penanaman Modal
9. Tenaga Kerja
10. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
11. KB dan Keluarga Sejahtera
12. Perhubungan
13. Komunikasi dan Informatika
14. Pertanahan
15. Kesbang dan Politik dalam Negeri 16. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
17. Sosial
18. Kebudayaan
19. Statistik
20. Arsip
21. Lingkungan Hidup
22. Pertanian
23. Kehutanan
24. Energi dan Sumber daya Mineral
25. Kelautan dan Perikanan
26. Pedagangan
27. Perindustrian
28. Kependudukan dan Catatan Sipil
29. Koperasi dan UKM
30. Pemerintahan Umum dan Kepegawaian

Dari ketigapuluh pokok pelayanan dasar ini, ada hal-hal khusus yang terkadang seakan menjadi kendala Pemda sehingga tak bisa berusaha secara optimal.

Salah satu [contoh masalah dan] usulan solusinya adalah dengan:
... mempercepat proses amandemen UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berpihak pada otonomi daerah. UU No. 21 tahun 1992 tersebut dalam pemikiran banyak pihak bersifat sentralistik dan rancu. Kerancuan itu antara lain, tercermin melalui pengalihan tugas pemerintah dalam pelayanan kepelabuhanan oleh badan usaha yaitu PT Pelindo, sehingga tidak ada pemisahan secara tegas antara fungsi operator dan regulator pelabuhan. Hal ini telah menyebabkan kerugian negara yang bersifat akumulatif dari tahun ke tahun dan secara konsisten memelihara ekonomi biaya tinggi (high cost economy), menurunkan daya saing Indonesia di kancah global, yang pada gilirannya telah sangat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional kita. Karena itu undang-undang ini perlu diamandemen, termasuk untuk mengembalikan pengelolaan pelabuhan kepada pemerintah daerah setempat.

Analisis Institusionalis atas Konsepsi Otoda dan atas Masalah Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah

Yang memang terjadi di Indonesia di Era Reformasi ini adalah ketidakpastian garis fungsi dan kewenangan antara pusat dan daerah. Ada masalah mendasar antara principal (Pemerintah Pusat) dan agent (Pemda) di sini. Peraturan perundangan yang lahir di Indonesia pasca-1998 seakan menjadi bentuk euforia reformasi [dari Pemda] yang kemudian perlu diatur kembali [oleh Pemerintah Pusat]. Belajar tata peraturan perundangan dan tata hubungan rakyat dan pemerintah di zaman dulu, Douglass C. North menganalisis semua ini berawal dari hubungan principal-agent:

… [Common and Roman] law did not accommodate each other very well to begin with. This was particulary true in cases of moral hazard and assymetric information in insurance contracts as well as those associated with fraud in exchange … [C]ases seldom laid down a particular rule because it was virtually impossible to separate custom from the facts. The habit was to leave the jury with the custom and the facts and the judge would charge the jury to determine and apply the custom when supported by the facts … [A]mong such developments can be included the recognition of the responsibility of the principal for his agent. This spawned both a benefit and a cost. It allowed the merchant to expand his scope of operation via a series of agents. At the same time it created a principal-agent problem. Initially this legal recognition was in effect only for well known agents of the principal. The fact that credit was generally given to the agent because it was generally believed he was acting for his master provided an obvious opportunity for the agent to benefit himself. At the same time, however, the privilege was also used to control the principal-agent problem.

Hubungan principal-agent di Indonesia yang selama 30 tahun terbentuk ini mempunyai path dependence, atau ketergantungan daerah akan pusat yang susah diubah dalam waktu semalam. Untuk mengimplementasikan nilai-nilai baru (otonomi daerah atau desentralisasi kewenangan di beberapa bidang atau aspek kehidupan), halangan path dependence ini disebabkan oleh keterbatasan latarbelakang budaya, informasi dan pengetahuan Pemda itu sendiri.

The viability, profitability, and indeed survival of the organizations of a society typically depend on the existing institutional matrix. That institutional structure has brought them into existence; and their complex web of interdependent contracts and other relationships has been constructed on it. Two implications follow. Institutional change is typically incremental and is path dependent.

North juga menambahkan bahwa:

Path dependence is still an incompletely understood phenomenon that constrains the choice set over time. It is clearly related to the receptivity of a belief system to institutional and technological innovation. The foregoing emphasis on the limited capacity of humans to solve the complex problems we have faced throughout history can explain the diversity of economic perfomance in the past (and present) but there is the dynamic history to be written of the process of change which, while it must include our very imperfect perceptions as a part of that process, must explain the phenomenal growth that has occurred. This story must incorporate the interplay between the three strands of economic history—institutional, demographic, and stock of knowledge—over time.

Yang kemudian terjadi adalah Pemda yang sangat path-dependent, atau tidak mempunyai informasi komprehensif tentang satu peraturan perundangan atau tentang pengambilan kebijakan yang “bijak”. Para pengambil keputusan di daerah akhirnya membuat Perda yang dipandang bukan untuk kemaslahatan masyarakat di daerahnya, atau dinilai lari dari peraturan perundangan di atasnya. Potensi oportunisme dan rent-seeking behaviour dari Pemda ini didasari atas ketidakmampuan mereka membiayai diri/organisasinya, atau bahkan menutup lobang utang yang dibuat sebelumnya. Keputusan Pemda yang cenderung rent-seeking ini dianalisis oleh Bruno S. Frey sebagai berikut:

They have to please the political decision makers in the centre to obtain funds … [T]he local politicians' rent seeking activities also encompass subsidies to cover budget deficits. Such an institutional landscape fosters fiscal irresponsibility at the local level. As this "irresponsibility" is a direct consequence of the high degree of centralisation, it does not occur when the local politicians have the competence to balance revenues and expenditures in their own jurisdiction. If it turns out that they are incapable of doing so, the citizens will [or must] throw them out of office.

Pernah diungkapkan oleh beberapa pegawai pemerintah provinsi berbeda yang pernah saya temui, bahwa beberapa Perda-perda yang “bermasalah” ini memang sebagai usaha “meningkatkan Pendapatan Asli Daerah”. Efisiensi operasional bukanlah kata favorit di kantor pemerintahan daerah. Yang terjadi kemudian adalah tindakan-tindakan untuk menghasilkan lebih besar lagi daripada menghemat biaya operasional.

Dari masalah-masalah yang dianalisis Frey, disampaikan bahwa selama ini yang dikenal secara umum adalah konsep pemerintah dan teritori sebagai hubungan one to one. Frey juga mengungkapkan bahwa telah teridentifikasi di berbagai belahan dunia bahwa ada dua jenis hubungan antara pemerintahan dan daerah kekuasaan atau teritori (2000, 2-4):
(1) Multiple Governments Associated with the Same Territory;
(2) Governments Without Territory.

Tak pernah terpikirkan secara luas akan konsep beberapa instansi pemerintahan yang mempunyai berwenang atas satu daerah (Multiple Governments Associated with the Same Territory). Di titik ekstrem yang satu lagi, pemerintahan malah tidak mempunyai daerah yurisdiksi sama sekali namun bisa mempunyai “kekuatan” sebagai penegak hukum. Contoh yang terakhir adalah Mahkamah Internasional di Den Haag atau Persatuan Bangsa-bangsa.

Frey memberikan satu usulan radikal namun mungkin bisa menjadi alternatif solusi bagi tata hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia. Seperti halnya sebuah institusi komersial, Frey mengusulkan agar institusi seperti Pemerintah-pemerintah Daerah (yang wilayah administratifnya dibatasi atas satu atau beberapa aspek ) seharusnya dikompetisikan. Pemerintah Pusat kemudian menjadi semacam wasit atau fasilitator dari “pemain-pemain di arena” ini.

Selama ini, melalui peraturan perundangan yang terkait dengan tata hubungan pusat-daerah, terciptalah “pembatasan peluang kompetisi” yang sehat antar-Pemda yang dibuat secara sengaja atau tidak sengaja oleh Pemerintah Pusat. Akibatnya, pemerintah tak bisa menyediakan “public services at low cost”, yang lebih populer dikenal dengan istilah government failure. Di ujung hari, Pemda kemudian akhirnya juga menimbulkan “ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” karena sibuk mengejar Pemasukan Asli Daerah (PAD) daripada memikirkan kesejahteraan masyarakat secara komprehensif.

Dengan usulan Frey akan kompetisi sehat antar-provinsi atau antar-daerah, diciptakanlah aturan main terkait dengan funding dan public tax yang bukan didasari atas perilaku oportunis atau rent-seeking tadi. Frey memberi contoh:

In Switzerland, a multitude of governmental units exist, some of which come close to FOCJ [functional, overlapping, competing jurisdictions]. In addition to the 26 cantons, there are roughly 8,000 communes of various forms. The most important are the 2,940 political communes which define citizenship (i.e. a Swiss is not citizen of the nation but of a political commune). These communes have considerable autonomy, in particular they have wide-ranging authority to impose income and property taxes. As a consequence, the tax rates between neighbouring political communes may strongly differ – a factor inducing political competition between communes, and bundles of public services and taxes favorable to the citizens. In addition to political communes, there are roughly 5,000 overlapping, functional special communes. The most important are school communes offering education for the children of one or several political communes. They are public jurisdictions levying their own taxes, whose rate is determined by a citizens' meeting. Other functional, democratic, and overlapping communes are those established by the protestant and catholic churches. A citizen may freely choose to which one he or she desires to belong, but once a member, one has to pay an appropriate tax. In addition to these and other types of communes, there are many thousands of "communal units" ("Gemeindeverbände" or "Zweckverbände") founded by the communes to deal with specific tasks such as canalisation, hospitals, old people’s homes or refuse collection. These units have, however, no independent power to tax and there are rarely direct participation rights by the citizens. This short discussion of the Swiss federal system at the local level (see more extensively DE SPINDLER [1998]) shows that FOCJ are a practical possibility, but that they have not yet been developed to their full extent (halaman 14).

Rekomendasi

Konsep otonomi daerah yang belum tuntas ini harus segera disikapi dengan pemikiran multi-dimensi. Atas pemikiran Frey di atas ini, saya kemudian meyakini pemikiran Frey tentang fungsi sebuah pemerintahan tanpa teritori atau daerah kewenangan, namun pemerintahan ini bisa memiliki kewenangan penuh atas banyak teritori lain. Yang saya maksud dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat.

The point was to demonstrate that, in a meaningful sense, governments need not have a territorial monopoly. Moreover, the purpose was to show that the idea of governments without monopoly is no utopia at all. Rather, the opposite is the case: increasingly, the territorial monopoly of governments is threatened by the non-territorial units identified. Thus, much of the literature on globalisation has been motivated by the fear that territorial national governments have lost significant power relative to global firms. I wish to argue that the territorial monopoly of governments is not only threatened by global firms, but by many other global actors, such as international action groups or sports associations. But, in contrast to much of the literature on globalisation, I do not see the power of territorial states vanish; rather, relative power has shifted to non-territorial governments.

Selanjutnya saya juga meyakini bahwa daerah bisa memperbaiki kinerjanya dengan “kompetisi sehat antar-Pemda” dengan masing-masing mempunyai keunikan. Daerah juga bisa menggali keunikan dan potensinya dan “menjual” kepada investor-investor di luar daerahnya .

Untuk mencapai tahapan sebuah konsep otonomi daerah atas nama “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, Pemerintah Pusat dan Pemda harus membuat “kesepakatan kontrak kerja” yang jelas. Williamson kemudian menegaskan akan pentingnya kontrak internal organisasi, yang mungkin bisa digunakan untuk sebuah organisasi besar seperti Republik Indonesia ini:

The contract law of internal organisation is more obscure. Some describe it as that of the employment relation (Coase, 1937; Barnard, 1938; Simon, 1951; Masten, 1988). Although there is much to be said for the that formulation, transaction cost economics maintains that the implicit contract law of internal organisation is that of forbearance. But for forbearance, the efficacy of fiat would be seriously degraded. Consider, for example, the external and internal procurement of an identical component. Whereas courts routinely grant standing to firms should there be disputes over prices, the damages to be ascribed to delays, failures to quality, and the like, courts will routinely refuse to hear disputes between one internal divisions and another over identical technical issues. Access to the courts being denied, the parties must resolve their disputes internally—which is to say hierarchically. Accordingly, hierarchy is its own court of ultimate appeal.

Pembagian kewenangan pusat-daerah hanya sepenggal bagian dari kontrak ini. Rancangan Undang-undang (RUU) Administrasi Pemerintahan atau Administrasi Negara juga harus menjadi satu paket dalam kontrak pusat-daerah ini. RUU Administrasi Pemerintahan/Negara ini disusun untuk mengatur sistem, proses dan prosedur penyelenggara negara dalam mengambil keputusan. RUU ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang dapat mempengaruhi secara proaktif proses dan prosedur administrasi pemerintahan. RUU ini juga diperlukan untuk menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan dan efisien. Karenanya, RUU ini juga merupakan instrumen untuk sebagai upaya untuk mengurangi Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. RUU ini seyogyanya juga mengatur tata cara administrasi negara yang membuka ruang kompetisi antar-daerah, dan pemerintah pusat sebagai wasitnya.

Pembuatan peraturan perundangan sebagai kontrak yang jelas (untuk menjaga tata hubungan pusat-daerah adalah awal sebuah konsep otonomi daerah yang konkret. Saya juga mengusulkan tahapan-tahapan kerja, seperti ilustrasi bagan di atas:
1. Tahap Fondasi atau tahap penulisan “kontrak” atau pembuatan peraturan perundangan yang menempatkan Pemerintah Daerah sebagai pemain-pemain yang akan berkompetisi atau berkooperasi untuk memperbaiki kinerja di daerah.
2. Tahap Penegakan Hukum adalah tahap di mana sesama “pemain” ini kemudian menaati dan bekerjasama.
3. Tahap Ekuilibrium adalah tahap di saat sesama pemain bisa menciptakan kestabilan situasi di masing-masing daerah, dan bersinergi dengan daerah lain di Indonesia.

Di luar tahapan-tahapan kerja ini, faktor stabilisasi politik tetap harus menjadi syarat mutlak yang harus difasilitasi Pemerintah Pusat.

Kesimpulan

Indonesia dengan 17.000 pulau yang belum tergarap secara optimal, dan dengan 220 juta penduduk yang belum secara adil menikmati kemakmuran kesejahteraan dari kekayaan dan sumber daya yang melimpah ini, diharapkan segera berubah dengan membuat konsepsi otonomi daerah yang berkeadilan sosial secara merata. Konsep “kompetisi” antar-daerah dengan segala potensi alam dan budayanya yang disinggung oleh Frey, kemudian menjadi satu pemikiran untuk memperbaiki kondisi ini. Walau masih perlu ada kajian lanjutan untuk bidang-bidang yang bisa dikompetisikan, perebutan kewenangan pusat dan daerah yang muncul ke permukaan ini segera dituntaskan dengan menempatkan pemerintah pusat sebagai wasit, dan pemerintah- Pemda sebagai pemain yang berlomba atas nama kemaslahatan masyarakat di daerahnya. Pembicaraan awal antara Presiden dan kepala pemerintah negara tetangga—mungkin tentang wacana “sewa pulau” yang mengatasnamakan rakyat Indonesia—bukanlah suatu hal yang tabu disampaikan ke masyarakat. Awal yang baik adalah dengan mengikutsertakan pemerintah daerah secara lebih aktif lagi, dengan memperhatikan pemikiran-pemikiran di atas ini. Untuk lebih terstruktur, sebuah tahapan kerja pusat-daerah yang lebih komprehensif.

Jakarta, 23 Juni 2006


Footnote:
[] Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Special Economic Zone atau SEZ.
[] Menteri Boediono dalam wawancara dengan harian Bisnis Indonesia, 23 Juni 2006 halaman 4, tentang pemberian kewenangan ke Pemerintah Singapura untuk mengelola satu wilayah di Bintan, dinyatakan “Tidak menjawab secara jelas. Menurut dia, hal tersebut akan dibahas dalam komite bersama. Sampai saat ini, katanya, pembahasan yang dilakukan belum spesifik. Saat ini, tambahnya, masih dicari titik-titik kerja sama sebagai upaya memperbaiki implementasi yang sudah lebih dahulu dilakukan.”
[] Ibid, berita yang sama.
[] Ibid, berita yang sama: Untuk mengkaji ini, Pemerintah telah membentuk Tim Nasional Pengembangan KEKI berdasarkan surat keputusan Menko Perekonomian Nomor 21/Menko/03/2006.
[] Kompas, 8 Juni 2006, halaman 5.
[] Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Makassar.
[] Rating untuk media massa ini terkait dengan distribusi produk komersial (consumer products) yang diiklankan di media massa. Rating terutama dilakukan di 9 (sembilan) kota besar di Indonesia, terkait dengan populasi dan potensi daya beli masyarakatnya.
[] Data diambil dari situs resmi ASEAN, www.aseansec.org per bulan Maret 2006.
[] Diambil dari situs www.csis.or.id atas artikel ”Kini, Giliran Papua” yang juga dimuat di harian Seputar Indonesia, 27 Maret 2006.
[] Kesulitan mengadaptasi nilai atau peraturan perundangan yang baru ini disebabkan antara lain atas ketidaksamaan pemahaman bahkan sekadar pengetahuan (asymmetric information) tentang konsep otonomi daerah. Paradigma lama yang sentralistis mendukung lambannya pemahaman ini, lalu tidak derasnya arus informasi masuk ke daerah atau antar-daerah dari pusat juga menjadi kemungkinan penyebabnya. Salah satunya, nilai-nilai yang tidak lagi ”meminta petunjuk Bapak Presiden” sebelum menetapkan kebijakan di daerahnya, mungkin harus diterapkan bertahap mengingat kendala eksternal suatu daerah, terutama yang jaraknya jauh dari Jakarta.
[] Ignatius Kristanto, Otonomi Daerah: Terjepit Tarikan Pusat dan Masyarakat, Kompas, 2 Juni 2006, halaman 8.
[] Entry barrier ada yang alami, ada legal/protektif. Yang alami di antaranya adalah biaya investasinya besar (fixed cost), differentiated product; sedang yang protektif biasanya diciptakan oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah, selain itu juga bisa berupa paten, peraturan mobil nasional (hanya boleh perusahaan tertentu), atau asosiasi profesi yang boleh ikut dalam suatu proses/aktivitas pasar (seperti MAPI/Masyarakat Penilai Indonesia)
[] Investasi masuk bisa berupa foreign direct investment atau bisa berupa investasi melalui bursa saham.
[] Diambil dari presentasi Prof. Mardiasmo atas kelas umum di Program MPKP Sore, Fakultas Ekonomi, 15 Mei 2006, yang disampaikan juga ke peserta dari Workshop Training of Trainers (ToT) Kursus Keuangan Daerah (KKD) dan Latihan Keuangan Daerah (LKD), 14 Maret 2006.
[] Kompas, 22 Juni 2006, halaman 4.
[] Proses penetapan peraturan secara otomatis ini hanya untuk permasalahan penetapan internal pemerintah provinsi/daerah yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan Lampiran huruf D-Penutup nomor 145: “Jika dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Gubernur/ Bupati/Walikota tidak menandatangani rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.” Proses pembatalan perda ini oleh Mendagri adalah satu masalah tersendiri yang sesungguhnya tak diatur atau ditegaskan dalam UU 10/2004 ini.
[] Lihat UU 10/2004 Pasal 7 tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
[] Lembar Rekomendasi terlampir.
[] Dikutip dari situs resmi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah www.ditjen-otda.go.id per 15 Juni 2006.
[] Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia), diikrarkan oleh 33 Gubernur Kepala Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia, di Mataram 20-22 Mei.
[ Douglass North, The Evolution of Efficient Markets in History, 1989, halaman 4.
[] -------------------, Where have we been and where are we going?, 1995, halaman 9.
[] -------------------, Economic Performance Through Time: The Limits to Knowledge, 1999, halaman 19.
[] Bruno S. Frey adalah periset dari Institute for Empirical Research in Economics, University of Zurich.
[] Bruno Frey, A Utopia? Government without Territorial Monopoly, Juni 2000, halaman 7.
[] --------------, halaman 5, “… they differ over space due to: geographical and physical characteristics, e.g. between mountainous regions and planes; or between rural areas and cities; ethnicity, culture and traditions; economic structure, e.g. with respect to the share of agricultural and industrial production and services; and social structure, e.g. with respect to income distribution, the proportion of young families with children and retired persons.”
[] Bruno S. Frey, Working Paper No. 47, A Utopia? Government without Territorial Monopoly,Juni 2000, halaman 4.
[] Investor luar daerah ini termasuk investor dalam dan luar negeri, juga termasuk penduduk luar daerah yang membayar lebih banyak (dibanding penduduk daerah tersebut) karena ia ingin memanfaatkan sumber daya yang ada di daerah tersebut.
[] Oliver E. Williamson, The Economic Analysis of Institutions and Organisations - in General and with Respect to Country Studies, OECD Working Papers No. 133, 1993, halaman 14.
[] Dikutip dari www.kapanlagi.com, RUU ini menurut Taufiq [Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara], salah satu manfaatnya adalah untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan mencegah penyalahgunaan wewenang. "Tujuan UU ini adalah untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan menciptakan birokrasi yang transparan, efisien dan akuntabel," katanya.
[] RUU ini bisa dikaji lebih lanjut dengan pendekatan institusionalis tersendiri. Bonding-bridging bisa membantu pengkajian untuk perumusan RUU ini lebih komprehensif lagi.


Lampiran

REKOMENDASI*
RAKERNAS APPSI TAHUN 2006
DI MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

APPSI memahami otonomi daerah sebagai format Pemerintahan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD 1945, dan karena itu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya menetapkan agar Pemerintah mengambil prakarsa untuk menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang isi dan substansinya bertentangan dan atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. Kenyataan tentang masih banyaknya peraturan perundang-undangan seperti itu telah menjadi salah satu penyebab utama dari terjadinya berbagai kerancuan dan kendala dalam implementasi otonomi daerah. Akibatnya, harapan rakyat yang demikian besar akan lahirnya praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dalam hal ini, penyelenggaraan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan pencapaian sasaran-sararan pembangunan di daerah, tidak sepenuhnya dapat terwujud.
Beban berat yang harus dipikul oleh Pemerintah Daerah karena tidak terpenuhinya harapan masyarakat tersebut, tidak mungkin lagi bisa ditanggung oleh Pemerintah Daerah sendiri. Ia mengharuskan adanya langkah-langkah konstruktif dan korektif dari Pemerintah, khususnya menyangkut review dan revisi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas.
Atas dasar pemahaman ini, maka setelah membahas dan mencermati pokok-pokok pikiran yang lahir dalam Rakernas APPSI Tahun 2006 di Mataram, maka dengan ini direkomendasikan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyusun dan menetapkan peraturan pemerintah tentang kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kewenangan dimaksud seyogyanya dirumuskan secara rinci berkenaan dengan seluruh sektor penyelenggaraan pemerintahan yang karena sifatnya atau kepentingannya dianggap lebih tepat jika dilaksanakan oleh Gubernur. Selanjutnya, PP dimaksud juga harus merumuskan hak-hak keuangan Gubernur yang dilimpahkan kepadanya sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan tanggungjawabnya sebagai wakil pemerintah pusat.
2. Memprakarsai pengajuan konsep amandemen terhadap UUPA No 5 Tahun 1960 agar selaras dengan asas desentralisasi, demi menampung tuntutan pelayanan sektor pertanahan akibat perkembangan jumlah penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan tata ruang, kepastian hak-hak atas tanah, termasuk hak ulayat/adat. Untuk itu diperlukan “data base” pertanahan yang baik dalam rangka percepatan pelayanan pertanahan demi menunjang pembangunan daerah melalui desentralisasi pelayanan publik dan disertai pelimpahan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) kepada Pemerintah Daerah. Selanjutnya agar Presiden menangguhkan pelaksanaan Perpres No 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan melakukan peninjauan kembali serta merevisi Perpres No 10 Tahun 2006. Hal ini diperlukan agar substansi Perpres tersebut tidak lagi bertentangan atau selaras dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah menetapkan administrasi pertanahan sebagai salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah.
3. Merespons secara positif prakarsa APPSI bersama DPD RI mempercepat proses amandemen UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berpihak pada otonomi daerah. UU No. 21 tahun 1992 tersebut dalam pemikiran banyak pihak bersifat sentralistik dan rancu. Kerancuan itu antara lain, tercermin melalui pengalihan tugas pemerintah dalam pelayanan kepelabuhanan oleh badan usaha yaitu PT Pelindo, sehingga tidak ada pemisahan secara tegas antara fungsi operator dan regulator pelabuhan. Hal ini telah menyebabkan kerugian negara yang bersifat akumulatif dari tahun ke tahun dan secara konsisten memelihara ekonomi biaya tinggi ( high cost economy ), menurunkan daya saing Indonesia di kancah global, yang pada gilirannya telah sangat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional kita. Karena itu undang-undang ini perlu diamandemen, termasuk untuk mengembalikan pengelolaan pelabuhan kepada pemerintah daerah setempat.
4. Menyerahkan kewenangan administrasi penanaman modal PMA dan PMDN kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan UU 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang iklim investasi, khususnya pemberian insentif kepada investor, selayaknya dilakukan secara bottom up dengan mempertimbangkan kebutuhan investasi di daerah. APPSI juga secara tulus dan obyektif mendukung rencana pemerintah untuk menetapkan “special investment zone” di beberapa Provinsi, dengan harapan agar regulasi sektor perdagangan, industri, manufaktur, kepelabuhanan, layanan transportasi, dan ketenagakerjaan yang ditetapkan di wilayah tersebut bersifat khusus, dalam arti penerapan regulasi yang berbeda dari apa yang berlaku secara nasional, sehingga menjadi stimulus bagi investor untuk masuk ke wilayah tersebut.
5. Memberi perhatian yang serius dan konsisten terhadap kenyataan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang dalam konteks administrasi pemerintahan dengan sendirinya memiliki Provinsi-Provinsi yang berciri khusus karena terdiri atas pulau-pulau yang banyak, bukan daratan yang bersifat utuh. Provinsi-provinsi maritim tersebut menyelenggarakan pelayanan umum, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan di kawasan geografis yang penuh dengan kendala dan lingkungan sosial ekonomi dengan pilihan aktifitas yang relatif terbatas. Karena itu diperlukan perlakuan khusus dengan memberi wewenang pengelolaan atas sumber daya alam yang berada di laut, serta memberi tambahan subsidi melalui format DAU yang mempertimbangkan luas wilayah laut di lingkungan masing-masing Provinsi itu sebagai dasar pengalokasian DAU atau DAK, tambahan itu dapat di arahkan secara khusus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat serta perbaikan layanan pendidikan, kesehatan, dan transportasi lokal.
6. Menetapkan wilayah-wilayah perbatasan negara sebagai halaman depan RI, yang diwujudkan melalui perencanaan pembangunan yang bersifat khusus, yang alokasi anggarannya diambil dari APBN. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten bertanggung jawab mendukung sepenuhnya pembangunan wilayah perbatasan. Hal ini penting mengingat keterbatasan kemampuan dana, teknis perencanaan, dan peralatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Pada saat yang sama, Pemerintah Daerah menyadari semakin luasnya bahaya dan kerawanan-kerawanan di sektor sosial, hukum, pengelolaan lingkungan, dan keamanan di wilayah-wilayah perbatasan itu, akibat keterbelakangan sosial ekonomi dan infrastruktur yang melekat pada eksistensi wilayah perbatasan selama ini. Karena itu, Presiden seyogyanya memberi perhatian khusus terhadap pembangunan wilayah perbatasan yang secara langsung akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan pembangunan wilayah perbatasan juga akan menaikkan martabat kita sebagai bangsa dan negara dalam pergaulan dunia.
7. Mempertimbangkan usul-usul yang telah disampaikan oleh para Gubernur di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang di wilayahnya terdapat kawasan perkebunan besar (BUMN) agar laba bersih dari usaha perkebunan negara dapat dikenakan ketentuan bagi hasil untuk daerah secara proporsional, dan agar dana “ Community Development ” dari BUMN tersebut dapat disalurkan melalui APBD masing-masing Provinsi. Dua hal ini, dibutuhkan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.
8. Menetapkan secara definitif batas kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pemberian ijin jasa pos telekomunikasi serta frekwensi radio dan televisi yang berskala lokal, seperti untuk komunikasi ORARI, RAPI, Konsesi, Penyiaran Radio dan TV Lokal. Ini diperlukan karena frekwensi sebagai ranah pelayanan publik tidak seluruhnya dikelola secara sentral, walaupun regulasinya ditetapkan secara nasional. Pengelolaan perijinan dapat diatur secara bertingkat sesuai ruang lingkup jangkauan penyiaran, seraya tetap mengacu kepada ketentuan yang bersifat nasional itu. Ini diperlukan guna menghindari konflik kewenangan yang berkepanjangan antara pemerintah dan pemerintah daerah, serta memberi kepastian hukum dan kepastian pelayanan yang baik kepada masyarakat pengguna jasa frekwensi.
9. Mendukung upaya pemerintah menerbitkan produk hukum yang tepat untuk melindungi aparat pemerintah dan pemerintah daerah dari kemungkinan diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum tanpa dasar bukti awal yang kuat dan benar. Perlakuan seperti itu telah secara sistematis merusak citra pemerintah, menurunkan gairah kerja dan daya prakarsa aparatur serta menghambat penyelenggaraan administrasi pemerintahan di daerah. APPSI mengharapkan agar proses pengajuan aparat pemerintah untuk diperiksa oleh instansi Kepolisian, Kejaksaan, KPK, atau Timtas Tipikor dilakukan setelah terlebih dahulu melewati pemeriksaan oleh aparat pengawas fungsional (Bawasda, Inspektorat Jenderal, Inspektur Utama, BPKP, BPK), sehingga berita tentang pemeriksaan terhadap mereka tidak secara serta merta menjadi konsumsi publik, pada hal belum tentu bisa secara lengkap memenuhi syarat-syarat penuntutan.
Demikian Rekomendasi Rakernas APPSI kami sampaikan kepada Presiden RI semoga mendapat perhatian, apresiasi dan tindaklanjut sebagaimana mestinya, demi segera terwujudnya penyelenggaraan Pemerintahan Nasional yang lebih baik.

NO PROVINSI NAMA GUBERNUR
1 Bali Dewa Made Beratha
2 Bangka Belitung A. Hudarni Rani
3 Banten Hj. Ratu Atut Chosiyah
4 Bengkulu Agusrin M. Najamudin
5 D.I. Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X
6 DKI Jakarta Sutiyoso
7 Gorontalo Fadel Muhammad
8 Jambi Anthony Zeidra Abidin
9 Jawa Barat Nu'man A Hakim
10 Jawa Tengah Mardiyanto
11 Jawa Timur Imam Oetomo
12 Kalimantan Barat Usman Ja'far
13 Kalimantan Selatan H. Arifin
14 Kalimantan Tengah A. Teras Narang, SH.
15 Kalimantan Timur H. Suwarna Abdul Fatah
16 Lampung Sjachrudin ZP
17 Maluku Karel Albert Ralahalu
18 Maluku Utara Thaib Armaiyn
19 Nanggroe Aceh Darussalam Mustafa Abubakar
20 Nusa Tenggara Barat Lalu Serinata
21 Nusa Tenggara Timur Piet Alexander Tallo
22 Papua M.E.S. Situmorang
23 Riau Rusli Zainal, SE
24 Sulawesi Selatan Syahrul Y. Limpo
25 Sulawesi Tengah H.B. Paliudju
26 Sulawesi Tenggara Ali Mazi
27 Sulawesi Utara S.H. Sarundajang
28 Sumatera Barat Gamawan Fauzi
29 Sumatera Selatan Syarial Oesman
30 Sumatera Utara Rudolf Pardede
31 Irian Jaya Barat Abraham O. Atururi
32 Sulawesi Barat H. Samsul Arief Rivai
33 Kepulauan Riau Ismeth Abdullah


*Diambil dari situs www.appsi-online.com.


Wednesday, January 3, 2007

Kerjasama ASEAN dan Jepang:
Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan
oleh :
Amelia Day

Desember 2006


Daftar isi:


ABSTRAKSI
1. Pembukaan
2. Tren politik di setiap negara
3. Tren ekonomi dan ASEAN Economic Community
4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: Sebuah Kajian Transfer Teknologi
5. REKOMENDASI: TRANSFER TEKNOLOGI DALAM PROSES PRODUKSI UNTUK MASA DEPAN ASEAN (SEBUAH PROSES INSIDE-OUTSIDE DAN OUTSIDE-INSIDE)
a. Inside-outside process of tech transfer
b. Outside-inside process of tech transfer
6. Penutup
7. Bibliografi
8. Lampiran
a. Japan’s export to ASEAN and China by commodity (2005)
b. Japan’s import from ASEAN and China by commodity (2005)
c. Discussion document: Technology transfer and national innovation (IIPI, University of Campinas, Sao Paolo, Brasil, 2004)
d. Technology Transfer and Commercialization (US Department of Commerce 2003 Report) – executive summary
e. Trends in Japanese Textile Technology (US Department of Commerce 1996 Report)


Abstraksi

ASEAN adalah perkumpulan negara-negara sedang berkembang yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN beberapa tahun terakhir bisa membuktikan kekuatan ekonomi di masa depan.

Sayangnya, ASEAN hanya menjadi satu pasar besar yang belum belajar dari kesalahan masa lalu: tiadanya tranfer teknologi dari negara-negara maju di dunia. Pasca-Restorasi Meiji, Jepang adalah negara yang mengadopsi teknologi yang berkembang di Eropa. Percepatan adopsi teknologi di negara ini kemudian terlaksana setelah Perang Dunia Pertama. Perang Dunia Pertama juga mendorong Korea Selatan mengadopsi teknologi yang dikembangkan Jepang. Dalam tempo tiga puluh tahun terakhir ini, Cina juga mampu mangadopsi teknologi di segala lini dengan cepat. Motor Cina (mocin) sebagai satu contohnya.

Untuk itu, kerjasama ASEAN dengan India, Cina, Jepang, Korsel, Australia dan Selandia Baru dalam East Asia Summit, ataupun kerjasama ASEAN dengan 3 negara (ASEAN+3: Jepang, Korsel, dan Cina) harus menjadi satu ajang yang lebih dari sekadar proses perdagangan barang dan jasa. Seharusnya juga negara-negara tersebut di atas membantu ASEAN dalam proses transfer teknologi di semua sektor yang diperdagangkan. Di samping itu, kesiapan institusi ASEAN untuk memberikan insentif bagi warga negaranya juga harus diperjuangkan secara paralel.

Kerjasama ASEAN dan Jepang:
Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan

1. PEMBUKAAN

Jepang, Korea Selatan, dan Cina adalah tiga negara di Asia Pasifik yang hari ini menjadi barometer perkembangan ekonomi dunia. Pasca-restorasi Meiji, Jepang berkembang pesat mengadopsi teknologi yang terlebih dahulu dikembangkan di Eropa. Setelah Perang Dunia Kedua, Korea Selatan juga bangkit mengembangkan teknologinya: mobil hingga barang elektronik dan perangkat telepon seluler menjadi andalan negara ini. Cina negara berpenduduk terbesar di dunia kemudian juga lebih cepat lagi mengadopsi inovasi negara-negara yang telah terlebih dahulu berinovasi. Kurang dari 30 tahun, Cina kini siap industri otomotif tak kalah canggih.

Dari daftar negara-negara anggota ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brunei), hanya Malaysia yang membangun ibukota baru yang hi-tech (Cyberjaya untuk komersial, dan Puterajaya untuk pemerintahan). Singapura juga memposisikan dirinya sebagai hub atau pintu gerbang industri berteknologi tinggi yang menghubungkan titik-titik perkembangan dunia seperti India, Cina, Jepang, dan Australia. Thailand juga maju dengan perkembangan teknologi di sektor agrikultur. Melihat progres perkembangan teknologi dalam negerinya, Indonesia, Filipina dan Brunei mungkin termasuk sejajar dengan negara ASEAN-4 (Myanmar, Laos, Kamboja dan Viet Nam). Walau sesungguhnya perkembangan di Viet Nam beberapa tahun terakhir ini juga cukup mencengangkan.

Faktor “T” dalam proses produksi di Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN ini memang terhitung rendah. Keunggulan komparatif produk-produk dari negara-negara ini masih jauh di bawah produk Cina atau Jepang. Bahkan, Thailand yang mampu mengembangkan inovasi-inovasi pertaniannya mampu menciptakan buah-buahan yang memasok banyak negara.

Perdagangan lintas-negara anggota ASEAN memang tidak besar bahkan cenderung tersendat. Salah satu alasannya adalah bahwa di antara negara anggota ASEAN adalah produsen barang yang sama, atau pengguna bahan yang sama. Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah pengembangan serta transfer pengetahuan/teknologi antar-negara anggota ASEAN tidak terlalu signifikan. Kalaupun ada, terkesan seakan ada keengganan para negara anggota untuk saling berbagi pengetahuan.

Daftar Produk Ekspor/Impor ASEAN dan GPD 2004

Brunei Darussalam
Major Industry: Oil and gas, textiles, food and beverages, building materials
Major Export: Oil and gas, ready-made garments
Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemimals
GDP: US$ 5,4626.6 million

Cambodia
Major Industry: Textiles and Garments, Beverages, Food, Wood Processing
Major Export: Garments, Textile Product Sawn, Wood Furniture, Rubber
Major Import: Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemical
GDP: US$ 4,215 million

Indonesia
Major Industry: Pulp and paper, cement, basic metals and fertilizer, power generation, telecommunication, transportation
Major Export: Textile, electronic goods, footwear, oil & gas, plywood, sawn timber
Major Import: Chemical and pharmaceutical, fertilizer, cotton yarns, textile fabric, machines, motor vehicles
GDP: US$ 208,625 million

Lao PDR
Major Industry: Garment industry, wood-based and processing industries, electricity
Major Export: Coffee, electricity, clothing, wood and forest product and Gypsum
Major Import: Industrial machinery, chemicals, iron, electrical machinery and parts, oil, construction material and consumption goods
GDP: US$ 12,043 thousands

Malaysia
Major Industry: Electronic & electrical goods, textiles, clothing & footwear, chemicals and metal products and rubber
Major Export: Electronic & electric machinery, petroleum & LNG, textiles, clothes, oil, sawn timber
Major Import: Manufacturing inputs, machinery & transport equipment
GDP: US$ 103,737 million

Myanmar
Major Industry:Agro-based industries, textiles industries, steel mills
Major Export: Rice, teak, beans & pulses, rubber, coffee, minerals, gems marine products
Major Import: Power tillers, hand tractor, fertilizer, diesel oil, cement, dumper, loader, spare parts, water pumps, hydraulic excavator
GDP: US$ 9,605 million

Singapore
Major Industry: Electronics, chemicals, banking and finance, real estate, tourism
Major Export: Petroleum products, industrial machines, radio & television receivers, electronic component & parts, clothing, beverages & tobacco
Major Import: Crude petroleum, iron & steel, industrial machines, electric generators, electronic component and parts
GDP: US$106,818 million

Thailand
Major Industry: Electronics, gems/jewelry, footwear, textiles, clothing
Major Export: Textiles, computer & components, integrated circuits and parts, gems and jewelry, footwear
Major Import: Industrial machinery, iron & steel electrical machinery & parts, chassis body
GDP: US$ 143,303 million

The Philippines
Major Industry:

Priority sectors: construction materials, electronics, food, giftware and holiday decor, home furnishings, IT & IT-enabled services, marine products, motor vehicle parts and components, organic and natural products, wearables
Major Export: Electronic products; garments; ignition wiring set and other wiring set in vehicles, aircrafts, and ships; coconut oil; woodcrafts and furniture; products manufactured from materials imported on consignment basis petroleum products; metal components; cathodes and sections of cathodes of refined copper; fresh bananas
Major Import: Electronic products; mineral fuels, lubricants, and related materials; industrial machinery and equipment; transport equipment; iron and steel, cereal and cereal preparations; textile yarn, fabrics, made-up articles, and related products; telecommunications equipment and electrical machines, plastics in primary and nonprimary forms; organic and inorganic chemicals
GDP: US$86,123 million (2004) at current market prices

Viet Nam
Major Industry: Agriculture, forestry, fishery, industrial construction
Major Export: Crude oil, coal, chromium, tin, cements, woolen carpet, jute carpet, rich cinnamon, marine products
Major Import: Motors, petroleum products, diesel oil, fertilizers
GDP: US$ 39,021 million
Data diambil dari www.ASEANSEC.org


2. Tren politik di setiap negara

Tahun 2006 ini, Thailand mengalami fase khusus: kudeta damai pasukan militer Thailand terhadap Perdana Menteri Thaksin Sinawatra. Selain itu, masalah selatan masyarakat Islam di selatan Thailand yang terus menjadi satu masalah lain.
Negara anggota ASEAN lain juga terus mencari format demokrasi yang terbaik bagi negara dan bangsanya. Menjalani perubahan demokrasi terstruktur, Gloria Macapagal-Arroyo, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Abdullah Badawi juga Lee Hsien Loong tetap harus menghadapi masalah terorisme. Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama, yaitu counter-terrorism efforts, tiga negara Indonesia-Malaysia-Singapura menyelenggarakan patroli bersama di Selat Malaka. Hal ini juga untuk memberantas pembajak laut yang meresahkan pengguna jalur laut di sana.
[1]

Selain itu, ada beberapa catatan khusus selama setahun terakhir:
- Myanmar: Aung San Suu Kyi dan reformasi politik,
- Brunei Darussalam: Sultan Bolkiah dan “kehadiran” Badan Legislatif yang vakum semenjak 1962,
- Kamboja: pengesahan pemimpin baru, Raja Norodom Sihamoni yang masih muda dan kontroversi dia sebagai mantan penari balet

Kerjasama counter-terrorism ini juga didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, dan India. Tim Huxley (2005) menyatakan bahwa di bawah permukaan kerjasama keamanan ini adalah “keamanan suplai minyak” dari negara-negara di ASEAN. Untuk itu, kerjasama keamanan antara negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain tersebut di atas kemudian meningkat menjadi kerjasama ekonomi di berbagai sektor.


3. Tren ekonomi DAN ASEAN Economic Community

Pasca-krisis 1998, negara-negara ASEAN berbenah diri di bidang politik. Di bidang ekonomi, tidak semua negara anggota cepat mengadopsi perubahan. Indonesia dan Filipina adalah dua di antara yang berjalan lamban dibanding Viet Nam, Malaysia, dan Singapura.

Membaiknya situasi politik dan ekonomi di negara-negara anggota ASEAN menjadi penentu utama dalam proses integrasi ekonomi ASEAN (yang akan diwujukan dalam ASEAN Charter 2020 dan diajukan menjadi 2015). Sesungguhnya tujuan dari ASEAN Economic Community (salah satu pilar ASEAN Charter 2020) adalah “common market minus”, yang disampaikan oleh Laporan ASEAN-ISIS 2003 “Towards an ASEAN Economic Community”.
Jika ASEAN-ISIS mengusung istilah “common market minus”, Kajian ISEAS 2003 tentang “Concept Paper on the ASEAN Economic Community” mengajukan konsep “FTA-plus”
[2]:

However, as it stands, ASEAN governments are not even prepared to create a customs union let alone a European-style common market... Given the different degrees of opennes and stages of economic development among ASEAN countries, forming a customs union would be extremely difficult to achieve by the given deadline... [it] would be more realistic to envisage the end-goal of the AEC as an “FTA-plus” arrangement that covers a zero-tariff ASEAN free trade area and some elements of a common market. An “FTA-plus” AEC by 2020 would have the following characteristics:

  • Free movement of goods, services, investments, and capital. This would include achieving a zero-tariff free trade area and the elimination of all non-tariff barriers;
  • An attractive regional production platform that would be a magnet for FDI;
  • Free movement of skilled labour and creative talent;
  • Free movement of tourists from all ASEAN countries;
  • Harmonization of customs procedures and minimization of customs requirements;
  • Harmonization of standards that are consistent with international standards, and;
  • A well-developed innstitutional and legal infrastructure to facilitate the economic integration of ASEAN.


Menggarisbawahi “different degrees of opennes and stages of economic development”, saya juga melihat bahwa fondasi hukum dan politik setiap negara yang terlampau beragam. Untuk itu, diperlukan sebuah alternatif kerjasama ASEAN yang lebih feasible. Hubungan ASEAN dan negara-negara lain di Asia-Pasifik seperti Korea Selatan, India, Cina, Jepang, Australia dan Selandia Baru bisa jadi sebuah alternatif yang menguatkan perdagangan internasional ASEAN tanpa harus “membabat” struktur hukum dan politik setiap negara anggota.
Kerjasama ASEAN+3 atau negara-negara ASEAN dan Cina, Jepang, Korea Selatan kemudian menjadi keharusan. Hal ini mengingat bahwa beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut terakhir naik pesat.

Beberapa tahun ini, investasi Jepang dan Korsel di Cina meroket, Cina menjadi trading partner terbesar bagi Jepang, dan Korsel menjadi eksportir besar dunia. Jika tidak sigap, ASEAN akan berada di titik kritis perekonomian dunia, atau setidaknya di kawasan Asia-Pasifik.

Konsep ASEAN+3 berasal dari proposal Mahathir Mohamad “East Asia Economic Group” di saat kunjungan pemimpin Cina Li Peng akhir tahun1990 ke Malaysia. Baru pada tahun 1997, Malaysia sebagai konseptor ini dan tuan rumah informal pertemuan ASEAN+3 mempertemukan pemimpin Jepang, Korsel dan Cina dengan petinggi negara anggota ASEAN.

Pertemuan terakhir di Malaysia tahun 2005 adalah meningkatkan ASEAN+3 kemudian ditingkatkan menjadi pertemuan tingkat tinggi East Asia Summit yang juga mengikutsertakan Australia, Selandia Baru, dan India.

Secara bertahap, negara-negara ini mendalami kerjasama Asia Timur. Di tahun 1998, Presiden Korea Kim Dae Jung mengusulkan pembentukan East Asia Vision Group untuk mengkaji “concrete ways to nurture East Asia into a single community of cooperation, serving as the basis for the countries of the region to start the discussion on the related issues in earnest.”[3]

Perkembangan politis dalam kerangka peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN harus disikapi lebih kritis lagi. Salah satu kasus yang akan saya ambil sebagai contoh awal kritisi kerjasama ini adalah melihat kerjasama ASEAN dan Jepang secara khusus.

4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: sebuah kajian transfer teknologi

Saya akan memfokuskan pada kerjasama ASEAN-Jepang. Beberapa alasannya adalah:

  • Jepang merupakan negara pengadopsi teknologi Eropa paling awal di Asia-Pasifik.
  • Jepang merupakan negara pertama yang mempunyai standar transfer teknologi universitas dan dunia industrinya.
  • Informasi yang tersedia tentang transaksi perdagangan Jepang-ASEAN terbuka untuk publik, melalui situs www.ASEAN.or.jp.

Kritisi atas kerjasama ASEAN dan Jepang ini tidak harus sebatas statistik inflows dan outflows dari setiap negara anggota ASEAN. Transfer teknologi—satu frasa yang telah diterapkan di negara Eropa dan Amerika semenjak 1995—harus ditemukenali dalam diplomasi kerjasama kedua pihak. Syarat “perkembangan teknologi” mutlak menjadi faktor pembangunan sebuah kawasan ASEAN yang bisa berkembang secara berkelanjutan di tengah kompetisi global yang kian tajam. Be hi-tech, or be left behind.

Namun, melihat sifat umum orang Jepang yang “pelit berbagi ilmu dan teknologi”, saya pesimis kerjasama ASEAN-Jepang ini akan berbuah menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bagi negara anggota ASEAN. Jepang hanya melihat ASEAN sebagai sumber dari migas, pasar ekspor, relokasi industri manufaktur.

Sumber daya alam dan manusia yang melimpah akan habis dikuras oleh industrialis seperti Jepang, namun pertumbuhan ekonomi yang diraih negara-negara ASEAN mungkin tidak akan meningkat secara signifikan.
Sebagian besar negara anggota ASEAN seakan melupakan faktor “T” atau teknologi dalam segenap proses produksi di dalam negerinya. Oleh karenanya, produk-produk dari negara ASEAN belum bisa berkompetisi dengan produk berkualitas yang dihasilkan Jepang, misalnya produk elektronik dan tekstil.

Produk tekstil Jepang, misalnya, bahkan dikaji secara khusus oleh negara adidaya Amerika Serikat. Tahun 1996 Pemerintah Amerika Serikat menegaskan:
[report of] Trends in Japanese Textile Technology shows that the emergence of a worldclass textile technology in Japan resulted from close cooperation among all segments of the industry, including producers of fibers and yarns, fabrics, apparel, and processing equipment. All the producers are driven by a relentless attention to product quality. Japan is working hard to maintain its technical leadership by increasing the pace of process innovation and expanding longer-range fundamental research in both materials and manufacturing.
[4]

Proses produksi dengan menekankan pada efisiensi dan efektivitas ditunjang dari berbagai penjuru:

Practically every facet of the industry is covered from technological advances in fiber and yarn manufacturing, fabric making, apparel design and production, and the development of related equipment to the economics of offshore production and the role of government.[5]

Penekanan pada inovasi teknologi ini juga ditegaskan oleh ilmuwan Jepang yang meneliti tentang produksi dan pasar ASEAN. Ushiyama (2005) meneliti keunggulan kompetitif dari produk tekstil dan aparel Cina dan Jepang dibanding dengan produk tekstil/aparel ASEAN.

The quotas [of Multilateral Fiber Agreement], however, are to be eliminated entirely by January 1, 2005 according to the rules established by World Trade Organization (WTO). With this, trade in textiles and apparels will be completely liberalized, and China and India is likely to further increase their presence in the US and European markets, which combinedly account for some 40 percent of world textile product imports, as the two countries have higher overall competitiveness including manufacturing cost, scale and product quality than other exporters. There is even a forecast for an increase in US import market share of China to 50 percent, compared with 16 percent in 2002.[6]

Tekstil dan produk-produk unggulan lain dari Cina dan Jepang memang telah masuk ke Indonesia dan negara-negara ASEAN tanpa kecuali.

Sedangkan ekspor Jepang ke ASEAN adalah ekspor produk-produk hi-tech (lihat lampiran), seperti:

  1. Machinery other than electric - power generating machinery - computer and units - parts of computer - metalworking machinery - pumps and centrifuges - construction and mining machinery - mechanical handling equipment - heating and cooling equipment - textile machines
  2. Electrical machinery, apparatus and appliances - thermionic, valves, tubes, semiconductor devices, IC, etc. - visual apparatus (VCR, TV broadcast receivers) - audio apparatus - parts of audio and visual apparatus - electric power machinery - telecommunication apparatus - electrical measuring and controlling instruments - batteries and accumulators
  3. Transport equipment - road motor vehicles excl. cycles, - passenger motor cars, - buses, trucks and special purpose lorries, - parts of road motor, vehicles.
  4. Others - scientific, medical, optical instruments - photographic and cinematographic supplies - blank/recorded media

Selain keempat kategori besar di atas, ada empat kategori lain yaitu food stuff, raw materials, mineral fuels, chemicals manufactured goods classified. Hanya saja, produk-produk hi-tech dari Jepang ke ASEAN ini menempati porsi besar: 72,4%!

Produk-produk yang diekspor oleh ASEAN ke Jepang atau negara lain akan kalah bersaing mengingat kualitas yang kian tertinggal, seperti yang ditegaskan oleh Ushiyama. Selain hambatan perdagangan yang diciptakan WTO (MFA atau Multilateral Fiber Agreement) yang memberi kuota terhadap tekstil dari negara-negara berkembang ke Eropa dan Amerika, pasar yang kian sempit ini akhirnya harus memberi jalan ke tekstil Cina yang lebih murah atau tekstil Jepang yang lebih berkualitas. Satu contoh yang mengalami kerugian dari keadaan ini adalah Kamboja. Ekspor aparel (baju dan celana) dari Kamboja adalah sebesar 80% dari total nilai ekspornya[7].

Hantaman terhadap Kamboja ini, sebagai contoh, bisa dipertimbangkan untuk pencarian/pencapaian solusi negara anggota ASEAN secara keseluruhan dalam pertemuan East Asia Summit yang akan datang.

Saya merekomendasikan juga, bahwa sesungguhnya ada solusi lebih konkret yang harus menjadi pertimbangan institusional ASEAN secara internal. Negara-negara ASEAN yang belum mempertimbangkan faktor “T” secara serius dalam proses produksinya wajib menekankan hal ini ke dalam negeri masing-masing (inside-outside process).

Kemudian saya juga mengusulkan negosiasi dengan negara-negara non-anggota ASEAN yang terkait dalam East Asian Summit nanti untuk dapat membantu proses transfer teknologi ke ASEAN.

5. REKOMENDASI: Transfer teknologi dalam Proses Produksi untuk Masa Depan ASEAN (sebuah proses inside-outside dan outside-inside)

Ada dua hal yang bisa dikaji. Proses inside-outside serta outside-inside. Penguatan institusi ASEAN dengan perangkat transfer teknologi antar-negara anggota adalah proses inside-outside. Sedangkan, kerjasama East Asia Summit harus menjadi satu ajang untuk mempertimbangkan proses outside-inside (dari negara maju untuk ASEAN) agar kerjasama antar-pihak ini adalah kerjasama mutualisma dan berkelanjutan.

a. Inside-outside process of tech transfer
Telah lama negara-negara Eropa dan Amerika Serikat merintis proses transfer teknologinya secara internal. Transfer teknologi yang dimaksud adalah proses riset teknologi segala sektor di universitas, yang bisa dipakai langsung untuk pengembangan dunia industri mereka. Khususnya Amerika Serikat, universitas sebagai pusat riset teknologi adalah keharusan setiap negara bagian.
Semenjak tahun 1995, mekanisme donor/fund dan insentif untuk universitas telah menjadi aturan hukum federal di sana. Board of Regents Policy dari Universitas Minnesota telah menetapkan paket insentif terhadap peneliti di sana.

Paket insentif ini diambil dari pemasukan dari intelellectual property yang dibayarkan oleh industri yang menggunakan penemuan atau inovasi milik universitas tersebut. Perhitungannya adalah[8]:
- 33,3% untuk kreator
- 33,3% untuk Office of the Vice President of Research untuk mendukung riset yang lain
- 8% untuk administrasi sekolah tempat riset dilakukan, dan
- 25,3% untuk administrasi fakultas atau pusat kajian tempat riset dilakukan.

b. Outside-inside process of tech transfer
Jepang dengan ketergantungan pasokan minyak, gas, dan kandungan mineral lain yang cukup tinggi terhadap negara ASEAN harus bisa memahami kerjasama mutualisma ini. Sebaliknya, ASEAN juga harus bisa memposisikan diri sama tinggi dengan Jepang, atau negara lain yang tergabung dalam East Asia Summit ini. Untuk itu, diplomasi ASEAN adalah menjamin adanya transfer teknologi. Kekuatan hukum “transfer teknologi” menjadi penting, karena Pemerintah Cina dipermasalahkan oleh industri elektronik di Eropa karena copycat standar digital DVB (digital video broadcasting) tanpa membayar royalti atas paten
[9] DVB.


6. PENUTUP: Insentif terhadap Transfer Teknologi

Di saat perusahaan melakukan “merging, acquiring, leaving, dying, entering, growing, downsizing, outsourcing, and spinning off”, transfer teknologi menjadi satu obat mujarab.

ASEAN memang belajar dari kesalahan kerjasama perdagangan yang ada di dunia. Di lain pihak, proses pembelajaran atas produksi yang lebih efisien dan efektif di tengah persaingan global ini, menjadi keharusan pembenahan institusi. Payung hukum dan paket insentif yang jelas untuk pengembangan teknologi dan transfer teknologi di internal ASEAN harus segera dituntaskan.

Ada satu contoh konkret insentif atas riset yang berguna langsung terhadap industri: seorang peneliti warga negara Indonesia mengajar dan melakukan riset di Universitas Chiba, tempatnya menyelesaikan program S2 hingga S3.

Sayangnya, temuan Josaphat Tetuko Sri Sumantyo PhD, sang peneliti ini, yang berupa antena satelit ringan dan tembus pandang, telah dipatenkan atas nama almamaternya:

Antena ini bisa dipasang pada setiap laptop sehingga langsung bisa berkomunikasi dengan satelit atau diselipkan di balik atap mobil sehingga ke manapun mobil itu pergi, ia akan bisa berkomunikasi. Tiada lagi blank spot. “Sebuah produsen mobil di Jepang sudah membayar hak paten untuk memproduksi antena itu sebagai perangkat komunikasi standar di setiap mobil buatannya.” (Kompas, 2 Januari 2007, halaman 16)

Artinya kemudian, penemuan Josaphat tidak menjadi milik negeri kelahiran peneliti ini, yaitu Indonesia. Sistem insentif yang tidak jelas, atau penghargaan/perlindungan terhadap intellectual property yang dihasilkan oleh peneliti seperti Josaphat ini yang juga belum jelas di negeri kelahirannya menjadi satu kendala pengembangan teknologi di Indonesia.

Untuk langkah-langkah pembelajaran selanjutnya di Indonesia atau negara-negara anggota ASEAN sebagai developing countries, harus dikembangkan faktor “T” dalam proses produksi segala lini, horizontal ataupun vertikal. Teknologi dan pengembangannya—untuk langsung digunakan dan dikembangkan oleh industri dalam negeri—harus segera menjadi paket kebijakan khusus, baik dalam institusi ASEAN itu sendiri, ataupun dalam pertimbangan kontrak kerjasama ASEAN+3 hingga kerjasama East Asian Summit di masa mendatang.

7. Bibliografi

a. Buku
Aaron Chaze. India: An investor’s Guide to The Next Economic Superpower. John Wiley & Sons. Singapore, 2006.
Denis Hew (ed.). Roadmap to an ASEAN Economic Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
John E. Berkowitch. Trends in Japanese Textile Technology. Laporan untuk U.S. Department of Commerce, Office of Technology Policy, Asia-Pacific Technology Program. Washington DC, 1996.
K. Kesavapany, Chin Kin Wah, Daljit Singh, dan Dayaneetha De Silva (ed.). Southeast Asian Affairs 2005. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
Rudolfo C. Severino. Southeast Asia in Search of An ASEAN Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.
Ryuichi Ushiyama. Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations. Japan Center for Economic Research. Kyoto, 2005.
Samuel Bassey Okposin, Abdul Halim Abdul Hamid, dan Ong Hway Boon. The Changing Phases of Malaysian Economy. Pelanduk Publications Sd Bhd. Selangor Darul Ehsan, 2005.
Saw Swee-Hock dan K. Kesavapany. Singapore-Malaysia Relations. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.

b. Situs dan media cetak
Kliping harian Kompas, 2 Januari 2007
The Economist, The World in 2007
www.abu.org.my
www.asean.or.jp
www.umn.edu
www.wikipedia.org


Footnote

[1] Tim Huxley, Southeast Asia in 2004, Stable but Facinf Major Security Challenges, ISEAS, Singapore, 2005:3.
[2] Denis Hew, Southeast Asian Economies: Towards Recovery and Deeper Integration, Southeast Asian Affairs 2005, ISEAS, Singapore, 2005:57.
[3] Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in Search of An ASEAN Community, ISEAS, Singapore, 2006:267.
[4] John E. Berkowitch, Trends in Japanese Textile Technology, U.S. Department of Commerce, Office of Technology Polic, Asia-Pacific Technology Program, 1996:5.
[5] Ibid, halaman 7.
[6] Ryuichi Ushiyama, Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations
Japan Center for Economic Research, 2005:1.
[7] Ibid,, halaman 7.
[8] www.umn.edu
[9] www.abu.org.my, posting tertanggal 12 Desember 2006