Friday, February 8, 2008

Productividad, Produktivität, Productivité, Productiviteit

Januari 31, 2008

Sore ini, sepulang dari Rawamangun, saya memicingkan mata saat memerhatikan kehidupan di satu daerah kumuh (yang tak tahu nama pastinya) di sekitar Jl Letjen Suprapto Jakarta Pusat.

Waktu masih menunjukkan pukul 15.30 dan sepanjang 1 km jalan saya temui sekitar 300 orang segala usia duduk-duduk, lari-lari, tertawa, menonton, melamun di ujung gang, di pos jaga, atau di depan warung. Hanya sekitar 20% yang masih di bawah dan di atas usia produktif. Saya meneruskan perjalanan…

Setibanya saya di salah satu kantor pemerintah yang berdiri megah mewah 8 lantai, meja-meja kosong. Dari 20 meja yang ada, hanya ada 5 orang duduk. Satu menelepon tertawa-tawa, satu bermain game di komputer, dan satu berdandan memegang cermin. Hanya ada dua orang yang benar-benar bekerja: satu membereskan dokumen dan satu duduk mengetik membelakangi saya (sehingga saya bisa melihat layar monitornya). Jam di telepon genggam saya masih menunjukkan angka 15.45.

Keluar dari kantor itu, saya temui banyak tukang ojek di pojok jalan dan di seberang jalan. Lebih dari sepuluh orang duduk menunggu penumpang. Saya pernah kenal satu tukang ojek yang bermodalkan motor kredit (cicilan Rp 500 ribu per bulan). Bagaimana ia harus menunggu penumpang dari jam 6 pagi hingga 8 malam untuk bisa mengantongi uang Rp 50 ribu per harinya. Ia harus membayar uang “kamar” bersama anak dan istrinya seharga Rp 200 ribu per bulan. Makan sehari bisa Rp 10-20 ribu sehari. Belum uang rokok. Uang sekolah bisa jadi masuk daftar terakhir.

Di rumah, 3 dari “asisten rumah tangga” saya hanya bisa mengecap pendidikan SD. Dua orang lulus SD dan hanya 1 yang hanya bisa sampai kelas 2 SD. Usia mereka sekarang antara 18 tahun hingga 24 tahun. Yang berusia 24 tahun ini sudah memiliki anak 4 dan ditinggal di rumah bersama suami yang buruh pabrik rokok. Di RT sebelah bahkan ada yang “mempekerjakan” Siti, anak dari si Mbok tukang cuci yang masih berusia 10 tahun! Tak sekolah sejak dua tahun lalu, Siti sekarang momong anak bayi berusia 2 tahun. Ya ampun, dia sendiri masih bayi!

***

Melihat kondisi pendidikan (yang katanya 9 tahun wajib berlajar itu!) yang seakan jalan di tempat, tentulah terkait erat dengan lemahnya produktivitas nasional kita. Faktor-faktor produktivitas yang lemah tak boleh dibebankan kesalahannya pada “nasib”. Untuk menghitung produktivitas, semudah menghitung berapa banyak barang yang dihasilkan dibagi dengan waktu atau biaya untuk memproduksinya. Masuk dalam pertimbangan ini adalah kerusakan (defectives) yang juga dihasilkan. Para pekerja jasa, lebih spesifik lagi: pekerja informasi, juga dikaji dari hasil yang rusak (dokumen atau film yang dibuat dalam perhitungan satuan jam).

Thomas dan Barons (1994) menegaskan bahwa mengevaluasi produktivitas haruslah konsisten, bahkan ada sebagian yang tak akurat mengingat pokok utama produktivitas adalah untuk menemukan perubahan. Mereka menyarankan agar banyak faktor digunakan untuk menentukan, khususnya, pekerja jasa dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang berkualitas. Pertanyaan selanjutnya bagaimana menilai kualitas. Salah satu pertimbangan utamanya adalah waktu: berapa lama satu orang melayani pelanggan agar pelanggan puas, atau berapa lama saya mengetik satu dokumen yang rapi.

Dari sekian sektor yang bisa digarap di sebuah kota besar bernama Jakarta ini, sungguh menyedihkan kuantitas penyerapan. Lebih menyedihkan lagi adalah kualitas manusia yang bekerja di sektor non-formal (pemilik warung, pedagang gerobak hingga asisten rumah tangga).

Kasat mata, jika dahulu Bi Nem yang menjaga saya tak bisa baca-tulis, sekarang memang Mbak Yati yang jaga anak-anak bisa sekolah sampai 2 SD. Tiga puluh tahun pergerakannya hanya “begitu”?

Bandingkan dengan negara-negara tetangga. Australia bahkan memiliki satu badan khusus menangani evaluasi regulasi yang terkait langsung produktivitas di semua sektor dan lapis produksi. (klik sini untuk laporan Australian Productivity Commission tahunan edisi terakhir, pdf 2 Mb). Di Indonesia, terkait hal yang sama sepertinya baru dilalui tahapan “transparansi dokumen regulasi” (klik di sini untuk beberapa rancangan undang-undang yang sedang digodok di DPR baik tingkat komisi, pansus ataupun baleg, html). Negeri ini belum tiba pada tahapan “evaluasi regulasi terhadap produktivitas nasional”.

Hari ini saya juga sedikit tidak produktif. Setengah hari melayat adik sepupu jauh yang meninggal karena komplikasi otak sepulang dari bekerja di Berau, Kalimantan. Usianya belumlah 30. Saya berpikir, seorang yang produktif dipanggil Tuhan, dan mereka yang sehat seperti saya dan 300 penduduk di daerah kumuh tadi; mengapa kita kurang menghasilkan? Regulasi mana yang harus ditegakkan segera?

Pilkada Conundrum by Nadhlatul Ulama

Januari 30, 2008

Lama tidak membahas otonomi daerah. Lama tidak diskusi di kelas. Lama tidak bergosip di kantin (sekali lagi gosip berat, orang uzur seperti saya sebaiknya bahas paper kuliah daripada habiskan waktu bicara tentang Mayangsari yang satu SMA dengan tetangga saya).

Hari ini mungkin hari perenungan “otonomi daerah” (otoda) yang telah saya pelajari dari banyak orang, termasuk “guru” online Pak Dadang Solihin. Tak pernah bertemu muka, tak pernah kenal sebelumnya IRL, tapi saya kagum dengan riset detail Pak Dadang. Tulisan-tulisan beliau bisa ditemui di www.slideshare.net atau bisa lewat situsnya www.dadangsolihin.com.

***

Itu tadi tentang Pak Dadang yang memang ahlinya otoda.

Sekarang soal otoda itu sendiri. Lebih spesifik lagi, langkah terawal mewujudkan otoda untuk kemaslahatan daerah: Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Hari ini saya berpikir otoda dan pilkada sedang berada di persimpangan jalan antara “diminishing return” dan “take-off”. Tak harus terjadi konsepsi yang menjadi aus atau melepuh di tengah jalan. Tak juga harus dihentikan sebelum evaluasi. Tak juga harus diarahkan untuk dihentikan…

***

Minggu lalu ada pernyataan dari Pak Hasyim Muzadi atas nama NU, sebuah instansi yang saya kagumi, bahkan sekali saya terlibat diskusi sebagai pembicara atau sesekali juga sebagai pendengar “selundupan”. Inti pernyataan Pak Hasyim pasca-pertemuan dengan Presiden SBY, secara singkat begini: “Pilkada mengkotak-kotakkan warga NU!”

Yang terjadi di beberapa media massa kita adalah berita yang diplintir (spin) seperti ini: “NU tolak Pilkada yang memboroskan uang negara.”

* tercenung *

Saya selalu berpikir bahwa bacaan setiap orang tidak sama. Selain bacaan, pengalaman empiris juga memberi porsi tersendiri bagi setiap orang; sehingga yakinlah argumen akan selalu muncul saat seseorang berdialog dengan orang lain. Istilah keren untuk payung semua ini adalah “asymmetric information”. Media massa di Jakarta, mari kita sikapi perihal pilkada ini lebih arif. Ada hal lebih besar daripada sekadar “menggoreng isu.”
***

Soal pengalaman keliling Indonesia, mungkin saya hanya 0,001% dibanding guru saya yang paling santun sedunia, Pak Bondan Winarno (selamat malam, Pak, watch out for carb and kecap). Saya memang tidak ekstensif keliling Indonesia, namun di setiap sudut kota yang saya kunjungi terasa sekali geliat demokrasi. Termasuk pula geliat pembangunan fisik yang positif pasca-1998.

Saya merasakan nikmatnya keliling Indonesia, bahkan ada rasa bangga bercampur sedih saat menjejakkan kaki di satu daerah. Bangga saat melihat indahnya langit, hijaunya hutan, beningnya air pantai. Sedih saat mendapatkan air minum susah dan listrik byar-pet di luar Pulau Jawa. Tak mudah menemui Kentucky Fried Chicken di setiap pojok pasar, mimpi saja jika mau mencari Macanudo Cigar Club. Isu “sentimentil” ini buat media massa di Jakarta adalah isu kurang seksi dibanding “tolak Pilkada karena boros!”

***

Pernahkah ada kajian berapa banyak sesungguhnya non-voters di negeri ini? Sensus penduduk yang hukumnya wajib bagi setiap sektor di negara ini saja masih tertatih-tatih. Salah satu penyebabnya memang biaya yang sangat besar jika ingin komprehensif.

Lalu apa kabar data non-voters yang cuma satu sektor saja (”sektor” demokratisasi?).

Jika pilkada di seluruh Indonesia adalah sebuah proses mahal, salah satu penyebabnya adalah laggard informasi yang cukup signifikan antar-daerah, karena usia, dan banyak alasan lain.

Saya ingat betul waktu itu Nenek saya jatuh cinta pada Amien Rais dan bahkan jauh-jauh hari mengurus kepindahan kartu pemilih dari Surabaya ke Jakarta; sayangnya beliau harus gigit jari saat hari-H ditolak mencoblos karena belum pernah mendaftar ulang ke TPS di rumah Jakarta. Informasi adalah segalanya.

Golput juga meraja di Amerika Serikat, sebesar 16% antara tahun 1997 hingga 2000. Masalahnya bukan “tidak terinformasikan”, tapi sebaliknya, mereka lebih paham dan matang untuk menentukan pilihan. “This year, the candidates sux.”

Lalu berapa banyak non-voters di Indonesia? Seberapa jauh information gap antara voters dan non-voters yang tercatat di setiap KPUD? Apa penyebab mereka tak memberikan suaranya?

Jika telah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara akurat, bagaimana solusi untuk merekatkan jurang informasi ini?

Pertanyaan selanjutnya, jika telah sukses memilih langsung kepala daerahnya, seberapa besar pertumbuhan satu daerah karena pemimpin baru ini? Sudahkah ditabulasi semua ini? Sudahkah diberitakan proses dan hasil ini?

***

Yap, awalnya adalah information gap atau asymmetric information. Di sini justru peran media massa mendapat porsi dan fungsi signifikan. Informasi asimetris antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa harus dituntaskan.

Saya kerap berdialog dengan kawan-kawan di daerah. Silaturrahim saya adalah, salah satunya, mengirim materi salah satu draf RUU, yang baru saya lakukan seminggu lalu. Tak semua daerah bisa mengakses www.indonesia.go.id untuk mendapatkan dokumen akurat. Kalaupun kawan-kawan saya terkoneksi dengan internet, mereka harus memiliki “seni tersendiri untuk meng-google” (meminjam istilah suami saya) untuk mendapatkan naskah atau berita yang diinginkan.

Di lain sisi, geliat demokratisasi di segala bidang melahirkan jiwa-jiwa baru untuk membangun daerahnya. Di saat Pak Hasyim menyatakan “jangan mengkotak-kotakkan NU dengan Pilkada”, beberapa media massa memlintir (spin) berita ini dengan judul “tolak Pilkada”.

Tak elok rasanya membuat sensasi dari apapun; apalagi jika bisa bergulir tak terkendali. Reformasi segala bidang memang sudah waktunya tutup buku? Ataukah media massa kita tak pernah merasakan “bangga dan sedih” bercampur jadi satu saat berkunjung ke daerah-daerah…

***

George W. Bush is seen crossing the Potomac river on foot.
The Washington Post : “President Bush crosses the Potomac River”.
The Washington Time : “Bush’s conservative approach saves taxpayers a boat”.
Mother Jones : “Bush can’t swim”.

Bill Needs Melinda

Januari 30, 2008

Some people just hate his guts. He’s shy actually.

Some say she complements him. She’s the train, he’s the wreck. Or the other way round.

They surely have made lots before and after the bind 14 years ago. Both are philanthropists of making the world a better place. Seriously? They just try to keep their empire floating. Everyone shall always remember how good their company at the end of the day. Surely, I do. I am stuck with Winsux today. Further on, I want to learn Chinux (from China) or Cirebonux (yeah right…)

The Bill & Melinda Gates Foundation has assets of $37.6 billion, making it the world’s largest.

Yes, they have earned ‘em. They subsequently need to focus and float ‘em. Keep ‘em alive for what?

Just A Thought

Already Jan. 30. Just now, after a quick napping I made some hot tea. Need to freshen up to start writing a loooong due presentation. Sipping my tea, I started reading J Kristiadi’s column (again) in Kompas Jan. 29. His writings always soft but sharp.

Thinking and putting thoughts into good writings required 3 things:

  • the thoughts (of course),
  • hard work (exercising in the brain is more than muscle-wise work), and
  • experience in writing (how many thousands of letters and rejections, this matters most).

I don’t like writing poem, btw. I used to. I don’t like writing journals. I used to, too. I just find it easier today to express thoughts in longer longer words. I hated the skyrocketting tempe price and kedelai v. corn; I wrote them. I searched long hours just to find out how agrobusiness really worked out. I wrote them in 10 minutes. I love the idea of sertifikasi guru, I wrote it. Many many more things I read and think in a day, I just wrote them. Thanks for sharing.

Pemilu 2009: Expecting Bloopers & Blunders

Januari 29, 2008

Sambil ngopi sore, di hadapan saya ada Lagak Jakarta edisi Huru-Hara [Hura-hura] Pemilu ‘99 karya adorable duo Benny & Mice. Ufh, sepuluh tahun ya? Satu coretan yang langsung membuat saya tertawa ada di halaman 59: Sebel Tapi Rindu. Di sana digambarkan seorang pemuda gondrong duduk merokok dan memikirkan “kayaknya ada yang kurang [di Pemilu 1999 kali ini].” Terus si pemuda berpikir keras dan jawabannya adalah “Harmoko!”.

Secara sumir saya mengingat sosok Pak Harmoko saat tampil di televisi dan koran; dan pastinya satu hal yang paling dikuasainya: most controlled public speaking. Susah memang menguasai audiens secara langsung atau tak langsung. Latihan adalah guru terbaik untuk menangani masalah jika tampil di depan umum. Penguasaan gesture tubuh dan mimik, kendali intonasi dan kecepatan berbicara hingga cara berpakaian harus dilatih. Bung Karno berlatih di depan ombak pantai, sahabat saya Lula Kamal selalu berlatih di depan cermin, tapi banyak yang melakukannya dalam hati saja.

Yang terakhir adalah mereka yang biasanya mendapatkan hasil that stupid look on your face. Kalau sudah begini, terjadi bloopers & blunders yang akan direkam media massa seumur hidup hingga anak cucu. Lebih buruk lagi, penampilan yang tidak meyakinkan audiens berarti hilangnya potensi orang yang akan memilih mereka ataupun partai mereka. The most fatal bloopers & blunders would be when they are unprepared; might as well they are not showing up at all! Anyhow, learn from the best.

Here’s some I could recollect: there were clothing blunders by Ibu Megawati before she became president; and there went mocking of “R” pronunciation difficulty by Pak Akbar Tanjung. Their appearances were perfected eventually, thus became minor attention in respect to total quality performance.

Indonesia on The Move, atau Baca Indonesia Baca!

Desember 29, 2007

Paul A. Samuelson (2002) mengangkat isu adanya akademisi seleb sebagai “Nobel Prize Disease”, jauh sebelum Al Gore mendapat Nobel Perdamaian. Ulrike Malmendier dan Geoffrey Tate (2005) menyebut “Sports Illustrated Jinx” untuk olahragawan seleb yang menurun prestasinya tapi kerap tampil modis, atau “Sophomore Jinx” untuk pemain film yang debutnya gagal.

Malmendier dan Tate juga mengkaji superstar CEO yang ternyata terbukti secara empiris tidak menghasilkan pemasukan berarti bagi perusahaan yang mereka pimpin. Harga saham perusahaan menurun, pemasukan juga tidak kunjung membaik selama mereka menjabat (baca tulisan Malmendier & Tate di sini).

***

CEO di perusahaan multinasional di Amerika seperti Michael Eisner (The Walt Disney Company) juga dianggap dibayar terlalu tinggi sementara kiprahnya membuat Disney nyaris bangkrut. Selama tahun 1998, satu orang bernama Eisner mendapat US$565 juta yang bernilai sama dengan honor 65.700 pegawai Disney setahun di seluruh dunia dengan angka pukul rata US$8,600 per kepala.

Eisner juga adalah sosok flamboyan. Ia menulis beberapa buku di antaranya Work in Progress dan Common Sense and Conflict: An Interview with Disney’s Michael Eisner. Lebih banyak lagi buku tentang Eisner ditulis orang lain. Eisner juga lebih banyak hadir di acara-acara gala dan menerima penghargaan mulai NAB Hall of Fame Awards hingga Exemplary Leadership in Management Award (ELMA). Ia juga senang berseteru dengan cucu dari Walt Disney yang menyebabkan dirinya mengundurkan diri tahun 2005.

Selama menjabat CEO Disney, Eisner sendiri tercatat banyak mengambil keputusan-keputusan yang merugikan korporasi. Memberi pesangon pimpinan studio Jeffrey Katzenberg yang seharusnya bernilai US$60 juta menjadi $280 juta. Dia juga membangun theme park di luar Paris sementara sentimen rakyat Perancis terhadap budaya asing sungguh amat tinggi; hal ini menyebabkan taman itu bangkrut.

Beberapa keputusan lain yang membawa korporasi Disney merugi, di antaranya adalah akuisisi saluran televisi berlangganan Bravo! dan Independent Film Channel dari Cablevision Systems Corp. Ia juga dianggap membayar terlalu mahal terhadap pembelian saluran TV ABC Family Channel. Yang terparah adalah saat Disney membeli ABC yang akhirnya merugi.

***

Tanah adalah obyek imperialisme masa lalu, dan Columbus adalah agennya. Hari ini, Corporate America adalah penguasa dunia yang tak lagi terlalu rakus dengan tanah. Selain tanah, ada hal lain yang tak bisa diperbaharui tapi lebih seksi bagi para penguasa dunia ini. Uranium dan minyak adalah obyek hari ini, dan Eisner adalah salah satu agennya. Bagaimana media televisi dan film layar lebar Amerika Serikat telah mendominasi global, lihatlah film tentang Perang Dingin hingga Perang Teluk ataupun peristiwa 9/11 (kecuali karya Michael Moore, tentu). Perhatikan setiap film layar lebar produksi Hollywood atau film seri berlatar-belakang New York, bendera (atau lagu kebangsaan) Amerika Serikat pasti muncul di latar depan atau belakang beberapa adegan. CNN juga tak harus selalu cover both sides. Dan seterusnya…

***

Belajar dari kegagalan Eisner ataupun progres Corporate America hingga ke Indonesia, ada baiknya kita berbenah di dalam. Salah satu yang mungkin bisa mengawali langkah bersama adalah “membaca” segala sesuatu yang menggunakan bahasa Inggris. India dengan puluhan dialek dan bahasa daerah aseli India mampu menjadi penerbit buku berbahasa Inggris terbesar ketiga di dunia setelah Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia? Setelah mengisi perut dan mencuci mata, membaca bahasa Inggris masih jauh di bawahnya. Bayangkan, menulis dalam bahasa Indonesia saja masih di nomor urut kesekian, apalagi menulis dalam bahasa Inggris!

Apa yang dilakukan Presiden SBY hari ini–yaitu meluncurkan kompilasi pidato dan tulisan dalam buku berjudul Indonesia on The Move–selayaknya memiliki backward & forward effect bagi rakyat negeri ini. Seorang presiden adalah pengambil keputusan tertinggi di negeri ini, seperti halnya gereja di masa lalu–yang mampu menyuruh pemusnahan buku pasca-temuan mesin cetak Gutenberg.

Peluncuran buku Indonesia on The Move di sebuah toko buku komersial, merupakan titik koma dari industri buku di negeri ini. Ada sedikit catatan yang harus dipertimbangkan:

  • Sayang jika buku ini hanya sekadar “ditempel” dengan peluncuran toko buku pasca-renovasi gedung, yang notabene masih saudara dari Harian Kompas.
  • Sayang jika pajak buku dihapus per Oktober 2007 namun belum mendorong penurunan harga buku. Pokok biaya terbesar masih dipegang oleh harga kertas dan distribusi. Bayangkan hari ini 62% pasokan bubur kertas (pulp) di Indonesia masih disuplai oleh tersangka pembalakan liar PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper. Bayangkan juga bagaimana jalur distribusi buku bisa mencapai ke Pangkalan Bun (Kalimantan) atau Bungo (Jambi).
  • Sayang jika tak ada penulis diberi insentif internal (keringanan pajak penghasilan atau tambahan subsidi) atau insentif eksternal (dilindungi karya ciptanya atau dipasarkan karyanya ke seluruh Indonesia).
  • Sayang jika tak dibarengi dengan kebijakan pendidikan formal yang mewajibkan bacaan sastra ataupun biografi tokoh sejak kecil. Apalagi menuliskannya…

***

Presiden bukanlah CEO an sich. Peluncuran buku tak selayaknya jadi turnamen popularitas semata. George W. Bush meresmikan Indonesia Education Initiative senilai US$157 juta untuk mempromosikan Sesame Street Indonesia sebagai langkah yang lebih konkret untuk pamer Corporate America. Jika menonton film Hollywood tentang negara Iran atau China, posisikan diri sebagai orang Iran atau China agar tak terjebak sebagai korban propaganda semata. Masih banyak lagi hal lain yang bisa dipelajari, tentu jika kita mahir membaca (atau menonton) dalam bahasa Inggris.

Saya belum membaca Indonesia on The Move. Kalau ada resensinya, tolong email ke saya. Jika bagus, tentu saya akan membelinya. Yang pasti, malam ini ada satu pertanyaan yang menggelitik di kepala saya: “Jika benar Indonesia sedang bergerak, kira-kira ke arah mana ya Pak Presiden?”

Regulasi yang Memihak

Desember 27, 2007

Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom, Tbk memasang spanduk menarik di beberapa kantornya, bertuliskan: “Regulasi tak selalu harus memihak kapitalis”. Mungkin juga masalah interkoneksi yang memicu permasalahan ini, mungkin juga masalah lain. Dengan segala hormat terhadap seluruh karyawan PT Telkom, Tbk, saya ingin menelisik sedikit esensi dari sebuah regulasi telekomunikasi.

Berawal dari kebijakan yang dilandasi asas, manfaat, atau tujuan dari bernegara, sebuah regulasi dibuat tentunya untuk kemaslahatan masyarakat. Adam Smith (1776) menegaskan bahwa sebuah negara yang makmur adalah yang mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya. Sumber daya (resources) seperti tanah dan isinya tak dapat dikembangkan, sebaliknya manusia bisa tetap melahirkan sumber daya manusia baru (walau harus dibesarkan dan dilatih terus). Kapital (mesin, pabrik, pohon teh, sapi) pun bisa dibuat terus sejalan dengan bertambahnya SDM yang terampil.

Tanah dan isinya serta sumber daya yang terbatas lainnya, terus diperbaharui, diinovasi, ditingkatkan penggunaan alokasi yang ada, dan seterusnya. Jika tanah di bumi ini terbatas, manusia sebagai modal kapital yang diberi akal tentu harus mencari alternatif pemanfaatan sumber daya lain selain tanah dan isinya itu.

Satu contoh, orang kemudian mencari sumber daya energi alternatif menggantikan minyak dan batu bara di dalam bumi ini yang terus digunakan sementara cadangannya kian menipis. Jagung akhirnya bisa menimbulkan agflation (istilah baru terdiri dari dua kata agro- dan -flation). Harga jagung kemudian naik karena permintaan yang lebih banyak dari sekadar konsumsi pangan reguler.

Sumber daya alam yang terbatas lainnya adalah frekuensi. Sama halnya seperti tanah, frekuensi juga memiliki kapling-kapling terbatas. Alokasi frekuensi radio FM yang bisa digunakan hanya 89.60 MHz hingga 108.00 MHz. Di bawah dan di atas rentang alokasi itu, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan kesepakatan International Telecommunications Union, telah mengalokasikannya untuk penggunaan komunikasi alat transportasi udara, laut, hingga komunikasi pertahanan keamanan nasional.

Dari terbatasnya sumber daya frekuensi ini, pemain-pemain di industri telekomunikasi–tak terkecuali di Indonesia–harus mematuhi aturan main yang dibuat bersama antara wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah (diwakili Dirjen Postel Depkominfo) yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Di lain pihak, penetrasi perangkat telekomunikasi di Indonesia terkendala atas mahalnya investasi awal, yaitu membangun fasilitas menara di satu daerah terutama di daerah yang populasi penduduknya masih rendah.

Selain itu, sebagai satu entitas perusahaan monopoli sejak negara ini berdiri yang kemudian harus berubah untuk menghadapi kompetisi global, PT Telkom, Tbk juga harus bisa beradaptasi dengan tingginya permintaan masyarakat untuk bertelekomunikasi. Antisipasi terhadap kompetisi global menjadi salah satu alasan mengapa AT&T juga dipecah menjadi Baby Bells (Nynex di New York dan New England; Bell Atlantic, BellSouth dan Ameritech di kawasan tengah Amerika Serikat; serta Southwestern Bell, U.S. West dan Pacific Telesis di California dan Nevada).

Di luar masalah kompetisi global, atas nama masyarakat seluruh Indonesia, ada dua hal yang harus diperhatikan regulator negeri ini:

  1. antisipasi lonjakan permintaan seluruh daerah yang masih blank spot, dan
  2. antisipasi pengaturan pemain industri telekomunikasi yang kian membengkak: masalah interconnectivity dan bottleneck.

Untuk antisipasi pemain, salah satu masalahnya adalah interkonektivitas. Bayangkan jika pengguna Esia hanya bisa berbicara dengan sesama pengguna Esia, berapa banyak nomor telepon yang harus dimiliki oleh satu orang? Tidak praktis. Sehingga yang memang diperlukan adalah masalah interkonektivitas antar-operator telepon. Selain itu, Dirjen Postel juga harus memberikan insentif pemain industri agar tak terjadi dari bottleneck atau kemacetan di titik-titik tertentu.Bayangkan sebuah jalan tol yang telah dibangun oleh PT Telkom, Tbk (jangan lupa ada juga uang rakyat yang digunakan sebelum menjadi perusahaan terbuka seperti sekarang), kemudian Telkom harus berbagi jalan ini dengan operator lain.

Untuk antisipasi blank spot, Dirjen Postel pun harus mampu membangun infrastruktur (atau memberikan insentif terhadap pembangunan infrastruktur) telekomunikasi. Jika Dirjen Postel telah membuat aturan main yang jelas, serta implementasi pengaturan tengah berjalan hari ini, satu hal yang harus tetap diperkirakan untuk pengaturan masa depan adalah “tailor-made” infrastruktur hingga ke pelosok daerah. Sebuah perkampungan penduduk Indonesia di perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah, Malaysia tentu tak memerlukan sebuah menara senilai 20 milyar rupiah. Perkampungan dengan 10 kepala keluarga tak memerlukan jalan tol, cukup dengan jalan setapak yang rapi dan bisa dilalui pejalan kaki hingga sepeda motor. Dan masih ada jutaan titik di Indonesia seperti ini…

Kasus-kasus persaingan usaha di Amerika Serikat (US Antitrust)

Ringkasan Beberapa Kasus Besar Persaingan Usaha di Amerika Serikat

Amerika Serikat v. Addyson Pipe & Steel Company (1898)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Enam perusahaan pipa baja yang mengendalikan lebih dari 50% pasar di bagian barat dan tengah Amerika Serikat berkolusi untuk menaikkan harga pipa di pasar itu.

* Pembentukan kartel tak hanya mereduksi kompetisi, untuk itu langsung terhitung ilegal. Penetapan harga yang “naked” atau terbuka adalah per se ilegal, tanpa harus melihat alasan di belakangnya. Walau demikian, saat reduksi kompetisi ini adalah pertimbangan kedua dari kartel atau merger, maka menguji alasan mengapa terjadi kartel atau merger harus dilakukan.

Amerika Serikat v. Trenton Potteries (1927)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Sekelompok badan usaha yang memiliki 82% total penjualan tembikar sanitasi bersekongkol untuk menetapkan harga.

* Kartel ini menolak gugatan price fixing dengan argumen bahwa harga penjualan kembali (resale prices) yang diorder kartel ini sangatlah rendah. Selain itu gugatan terhadap kartel juga termasuk pengekangan perdagangan (restraint of trade). Pengadilan memutuskan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk menentukan bahwa harga itu “rendah atau layak”, dan tentunya setiap pengekangan perdagangan adalah ilegal bahkan di saat semua perusahaan itu tidak sedang memanfaatkan kekuatan pasarnya.

Appalachian Coals v. Amerika Serikat (1933)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Sejumlah 137 produsen batubara di area Appalachian bergabung untuk melakukan distribusi kerjasama yang diberi nama “Appalachian Coals”. Joint production dari semua perusahaan ini merupakan 12% dari total produksi batubara di pasar timur Sungai Mississippi. Khusus di area mereka (Appalachian), produksi mereka adalah 54% dari total produksi.

* Pertimbangan awal, bahwa tujuan dari membuat holding company ini adalah untuk meningkatkan efisiensi di dalam industri batubara, melalui skala penjualan, distribusi, gudang, iklan, dan R&D, pengadilah harus menetapkan alasan dari tambahan pengekangan perdagangan, daripada hanya mengumumkan bahwa mereka melakukan “naked restraint of trade illegal per se”. Pengadilah akhirnya memutuskan bahwa kerjasama ini memiliki kekuatan pasar yang kecil di pasar penjualan yang relevan, tak serta-merta hal ini menjadi hambatan pasar yang “unreasonable”. Selanjutnya, sejumlah perusahaan kecil bergabung tak harus dilihat berbeda dengan satu perusahaan besar yang mengendalikan kuantitas sama di dalam satu pasar.

Amerika Serikat v. Socony-Vacuum Oil Company (1940)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Sejumlah 27 perusahaan ditetapkan melanggari hukum persaingan usaha dengan bersekongkol menetapkan harga di pasar minyak grosir. Kelompok ini menguasai 83% dari pasar total daerah tengah-barat di Amerika Serikat.

* Kartel ini menolak dengan alasan bahwa mereka hanya mencegah kompetisi yang saling menghancurkan, yang akan berakibat pada oversuplai minyak di ladang minyak Texas. Pengadilan membuktikan bahwa klaim “over competition” tidak relevan. Klaim bahwa harga yang merusah aindustri tak boleh menjadi alasan untuk menetapkan harga terbuka.

Goldfarb v. Virginia State Bar (1975)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Asosiasi pengacara di daerah Fairfax menetapkan persyaratan pembayaran keanggotaan bagi yang berprestasi.

* Pengadilan menemukan bahwa sektor hukum masuk ke dalam perdagangan yang dilindungi Sherman Act. Untuk itu, pengacara dan organisasi profesional lain tak terbebas dari regulasi persaingan usaha.

Arizona v. Maricopa County Medical Society (1982)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Sejumlah 70% dari ahli medis di daerah Maricopa bergabung dalam kelompok medis yang menegaskan harga maksimum bagi setiap dokter untuk meminta bayaran atas layanan tertentu.

* Pengadilan menetapkan bahwa harga maksimum adalah sama dengan penetapan harga yang ilegal. Ada hakim yang berpikir lain, dengan berargumentasi bahwa kombinasi harga untuk konsumer ini adalah semacam pilihan asuransi yang tak tersedia di pasar bebas sejati. Selain itu, ada unsur efisiensi untuk operasional rumah sakit yang mengalahkan dampak persaingan usaha yang tak sehat.

NCAA v. Board of Regents of the University of Oklahoma (1984)

* Naked vs. Ancillary price fixing.

* Sejak pertandingan bola (football) disiarkan di televisi, asosiasi bola NCAA menetapkan aturan main bahwa sekolah dapat menjual hak siar televisinya ke jaringan televisi, termasuk di dalamnya aturan main atas penetapan harga dan berapa banyak yang harus disiarkan.

* Sejak pengadilan tidak mengenal bahwa aktivitas jadwal pertandingan, interpretasi aturan main, dll. hanya bisa diwujudkan jika semua sekolah bergabung, pengecualian NCAA dari Sherman Act atas dasar efisiensi tidak mengikutsertakan kontrak televisi. Untuk itu, walau NCAA bisa meminta sekolah bernegosiasi atas peraturan tertentu, ia tak boleh memaksakan kehendak terhadap transaksi hak siar.

Amerika Serikat v. Container Corporation of America (1969)

* Pertukaran informasi harga (Exchange of Price Information)

* Sekelompok perusahaan yang menguasai 90% penjualan kontainer di di daerah selatan-timur Amerika Serikat sepakat untuk bertukar informasi harga. Meski begitu, tak ada perjanjian di antara mereka untuk menetapkan harga berdasarkan kesepakatan bertukar informasi ini.

* Pengadilan menetapkan bahwa pertukaran informasi ini untuk menstabilisasi harga, tetapi tidak untuk menurunkan harga. Sementara beberapa kompetisi harga tetap terjadi, secara umum bertukar informasi telah mengarahkan kompetitor tak ada harga yang turun. Beberapa hakim berargumen bahwa easy entry dalam pasar ini tak akan membuat satupun pemain memonopoli pasar dan mengambil keuntungan superficial. Hakim-hakim ini menuduh pemerintah tidak dapat membuktikan tingkat harga akan turun di saat tak terjadi pertukaran informasi harga.

Amerika Serikat v. Amerika Serikat Gypsum Company (1978)

* Pertukaran informasi harga (Exchange of Price Information).

* Perusahaan papan gipsum bertukar informasi harga yang tertera dalam kontrak. Pasar yang sangat terkonsentrasi di mana 8 perusahaan memiliki porsi 94% dari pasar degan total 15 perusahaan.

* Pengadilan menetapkan bahwa pertukaran informasi harga ini mereduksi kompetisi dan menstabilkan harga. Selanjutnya, kekhawatiran pengadilan adalah pertukaran informasi ini akan mengarah ke penetapan harga bersama yang per se ilegal.

Interstate Circuit v. Amerika Serikat (1939)

* Paralelisme disengaja dan monopoli bersama (Conscious Parallelism and Shared Monopoly)

* Interstate Circuit dan Texas Consolidated Theatres memiliki dan mengoperasikan sejumlah bioskop di daerahnya. Manajer di bioskop itu meminta semua distributor film (dalam kontrak) tak membolehkan penjualan tiket premier kelas A seharga di bawah 25 sen per penonton. Selain itu, premier dari film kelas A ini tak boleh melebihi 40 sen. Sebelumnya, hampir setiap tiket film tayang kedua dijual seharga 15 sen saja, dan biasanya juga tayang premier diputar bundling dengan film tidak laku di hari biasa.

* Semenjak Interstate meminta kontrak ini bersamaan dengan saat dia menaikkan harga tiket, maka hal ini dikategorikan langsung sebagai konspirasi terhadap pengekangan perdagangan. Dengan menekan semua distributor untuk menandatangani persetujuan atas skema harga ini, Interstate memiliki kekuatan pasar di daerahnya. Selanjutnya, telah jelas bahwa distributor di daerah itu setuju untuk memonopoli film premier karena adalah suatu kesengajaan jika kedelapan distributor utama secara serentak menetapkan aturan main yang sama ke semua bioskop.

Theatre Enterprises v. Paramount Film Distribution Corporation (1954)

* Paralelisme disengaja dan monopoli bersama (Conscious Parallelism and Shared Monopoly).

* Paramount Pictures mendistribusikan film denga perjanjian eksklusif, bahwa hanya satu bioskop di satu area yang bisa menerima film premier. Theatre Enterprise menuduh Paramount Pictures dan distributor film lain melakukan tindakan tidak adil dengan mengurangi film premier hanya di pusat kota, bukan di pinggiran kota.

* Pengadilan menetapkan bahwa distributor bisa menggunakan haknya untuk perjanjian eksklusif, dengan alasan bahwa distributor hanya ingin film ini dijangkau oleh bioskop dengan high-traffic, yang biasanya hanya ada di pusat kota. Untuk itu, perjanjian ini adalah keputusan perhitungan ekonomi semata dan bukan konspirasi atau paralelisme disengaja yang dilakukan distributor.

Du Pont v. FTC and Ethyl Corporation v. FTC (1984)

* Paralelisme disengaja dan monopoli bersama (Conscious Parallelism and Shared Monopoly).

* Du Pont dan Ethyl adalah empat dari produsen bahan bakar mengandung timah yang mengendalikan pasar 38,4% dan 33,5%. Pasca-mandat EPA yang melarang penggunaan timah dalam mobil tahun 1973, Du Pont dan Ethyl terlibat dalam kompetisi kecil sementara menangguk profit jauh di atas normal rate of return. Atas dasar ini FTC menetapkan setiap perusahaan atas tuduhan konspirasi mengekang perdagangan dan paralelisme harga.

* Pengadilan memutuskan bahwa di pasar yang sedang menurun, Du Pont dan Ethyl tidak memiliki alasan terlibat dalam kompetisi harga. Selanjutnya, pengadilan memutuskan bahwa aktivitas kompetitif yang mereka lakukan, termasuk edukasi, paket penjualan khusus, layanan konsultasi dan seterusnya, menggantikan kompetisi efektif. Dalam beberapa hal terbukti pelanggan Ethyl berpindah ke Du Pont dan sebaliknya di luar pertimbangan harga. Terakhir, pengadilan menegaskan bahwa semua tuduhan FTC tidak membuktikan adanya konspirasi.

Amerika Serikat v. Sealy (1967)

* Pembatasan distribusi horizontal (Horizontal Restriction on Distribution): Price fixing dan pembagian teritori eksklusif

* Sealy menjual produknya di lebih dari 7.000 outlet seluruh Amerika Serikat. Sealy membuat kontrak dengan pabrik independen untuk memproduksi selimut/seprei/matras tidur di beberapa area di Amerika Serikat. Setiap pabrik diorder untuk memproduksi secara eksklusif 1) di luar teritori mereka tak boleh menjual produk Sealy, 2) di dalam teritori Sealy, mereka dilindungi dari produsen lain.

* Pengadilan menetapkan bahwa pengaturan ini ilegal karena mereduksi kompetisi antar-produsen kain itu, dan karena kontrak juga menyatakan pasal yang mengatur harga penjualan kembali (resale price). Pengadilan mengutip Sherman Act yang mengatur bahwa perjanjian pembagian area secara eksklusif bisa legal dalam beberapa kasus.

* Hal ini merupakan keputusan pengadilan (Mahkamah Agung) yang kontroversial mengingat ada masalah free rider dari pabrik lokal (pemegang lisensi Sealy) yang turut mengiklankan produk Sealy. Iklan ini dimanfaatkan oleh pemegan lisensi Sealy yang tak ikut beriklan.

Amerika Serikat v. Topco Associates (1972)

* Pembatasan distribusi horizontal (Horizontal Restriction on Distribution).

* Topco adalah perkumpulan buyer yang terdiri atas 25 rantai toko pangan (kecil dan medium), yang ditujukan agar toko-toko kecil ini mampu memiliki buying power seperti toko-toko besar. Selain itu diharapkan mereka memiliki kesempatan untuk memberikan merek khusus bagi makanan kaleng mereka, seperti yang dilakukan toko besar itu. Market share dari perkumpulan ini beragam, mulai dari 1,5% hingga 16%. Anggota Topco sepakat untuk membagi teritori untuk menjual produk khas Topco.

* Walau argumen Topco adalah untuk melawan kompetisi terhadap toko besar, pengadilan menetapkan bahwa perjanjian eksklusif untuk membagi teritori adalah tindakan mereduksi kompetisi; dan hal ini ilegal.

Jay Palmer, et al. v. BRG of Georgia (1990)

* Pembatasan distribusi horizontal (Horizontal Restriction on Distribution).

* Mengawali tahun 1980, BRG dan Harcourt Brace Jovanovich adalah penyedia terbesar untuk bahan Bar Review dan kursus di Georgia. Tahun 1980, Harcourt (penerbit setuju untuk menghentikan kompetisi dengan BRG di Georgia dan menunjuk BRG sebagai dealer eksklusif materinya di Georgia, dengan persyaratan bahwa angka BRG untuk setiap mahasiswa tidak lebih murah dari harga produk Harcourt di luar Georgia. Pada saat bersamaan, BRG menaikkan harga dari US$150 menjadi US$400.

* Pengadilan negeri menetapkan bahwa walau Harcourt tidak memiliki kemampuan langsung untuk mempengaruhi harga yang dibuat BRG pascakontrak kerjasama, kontrak itu merupakan bentuk penetapan harga (price fixing). Selanjutnya, mengingat BRG adalah pemain tunggal di Georgia, pembagian teritori secara eksklusif bukanlah isu dari keduanya, walau keduanya pernah berkompetisi. Akhirnya Mahkamah Agung membetulkan putusan pengadilan negeri, mengingat perjanjian BRG dan Harcourt telah jelas mereduksi kompetisi dan menaikkan harga.

Northern Securities Company v. Amerika Serikat (1904)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* Great Northern Railway (pemilik: James J. Hill) dan Northern Pacific Railway (pemilik: J. Piermont Morgan) keduanya mengontrol jalur kereta api yang menghubungkan Mpls./St. Paul dan Duluth/Superior, serta Seattle dan Portland. Tahun 1901, keduanya merger dan membuat pengelolaan kereta api di daerah timur-barat berada di satu kontrol kepemilikan.

* Pengadilan menetapkan bahwa bentuk merger ini adalah kombinasi dari pengekangan perdagangan, dan untuk itu ilegal.

Standard Oil of New Jersey v. Amerika Serikat (1911)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* John Rockefeller, di awal 1870, secara aktif terlibat dalam beberapa proses merger dan akuisisi beberapa perusahaam bahan bakar sehingga membangun Standard Oil menguasai 90% dari proses produksi, refining, distribusi dan ritel minyak di Amerika Serikat.

* Selama memproses kasus ini, pengadilan menyadari bahwa setiap merger atau kemitraan memiliki dampak pengekangan terhadap perdagangan, yang harus diselesaikan dengan proses rule of reason untuk penanganan kasus persaingan usaha. Sementara ada beberapa kegiatan, misalnya penetapan harga langsung diputuskan per se ilegal. Kegiatan lain seperti merger dan akuisisi harus dikaji kasus per kasus, tergantung atas tujuan dan dampak dari aktivitas itu. Karena baik tujuan atau dampak dari perilaku Standard Oil adalah untuk memonopoli industri ini, dengan hasil akhir harga yang monopolistik, pengadilan mewajibkan Standard Oil memecah anak usahanya.

Amerika Serikat v. US Steel Corporation (1920)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* US Steel melalui kombinasi atau akuisisi dan pertumbuhan internal, berubah menjadi perusahaan baja terbesar di Amerika Serikat dengan memasok 80-90% produksi nasional.

* Pengadilan, menggunakan dua bagian rule of reason menetapkan bahwa US Steel tidak melanggar Sherman Act, mengingat perusahaan ini berhasil berevolusi meningkatkan diri dan bukan dalam kerangka memonopoli industri. Kedua, mereka sepakat bahwa US Steel tidak memonopoli dan tidak memainkan kekuatan pasarnya untuk merugikan masyarakat.

Brown Shoe v. Amerika Serikat (1962)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* Brown Shoe adalah manufaktur sepatu nomor 4 besar dengan 4% dari total produksi sepatu. Brown mengajukan proposal merger dengan Kinney, peritel terbesar di Amerika Serikat dengan 1,2% dari total penjualan ritel nasional, dan 0,5% dari produksi sepatu nasional.

* Pengadilan memutuskan walau market share yang dimiliki masing-masing manufaktur dan peritel ini tidak terlalu signifikan untuk merger, di beberapa kota kecil di mana ada toko Brown dan Kinney, merger akan mereduksi kompetisi. Untuk itu merger dinyatakan ilegal. Merger ini akan mengarah ke reduksi kompetisi di dalam “economically significant submarket”, sebuah istilah yang kemudian dikenal dalam putusan-putusan mendatang.

* Hanya karena 30 kota di mana gabungan market share Kinney dan Brown melampaui 20%, dan di 6 kota melampaui 40%, merger dari 1000 toko adalah tindakan buru-buru. Walau demikian ini adalah keputusan pengadilan yang buruk.

Amerika Serikat v. Von’s Grocery (1966)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* Tahun 1960 Von’s Grocery, jaringan toko kelontong terbesar ketiga di Los Angeles melakukan merger dengan Shopping Bag Stores, jaringan toko terbesar keenam dengan 34 toko. Jaringan ini kemudian menjadi terbesar kedua di Los Angeles denga 7.5% dari total pasar.

* Naiknya konsentrasi pasar di Los Angeles (karena jumlah toko toko independen turun 35% dari tahun 1950 hingga 1963, pengadilan menegaskan pemecahan perusahaan yang baru merger itu. Hakim yang berbeda pendapat menunjuk bahwa faktor teknologi (semakin banyak penggunaan mobil) yang menjadi penyebab jatuhnya toko “mom-and-pop”. Ada juga perhitungan konsentrasi industri seperti 5-firm concentration ratio, yang nyatanya turun dalam periode ini.

FTC v. Procter and Gamble (1967)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* Clorox adalah manufaktur terbesar untuk pemutih rumah tangga di Amerika Serikat dengan sekitar 50% penguasaan pasar. Procter & Gamble juga merupakan manufaktur besar dengan beragam produk rumah tangga, dan belum masuk ke pasar pemutih. Tahun 1957, Procter & Gamble membeli Clorox.

* Pengadilan memutuskan bahwa sementara Clorox dan P&G bukan kompetitor langsung, dengan besarnya P&G, terbatasnya penghambat teknologi di produksi pemutih, dan peran P&G sebagai produsen utama yang bisa mensubtitusi dan kompliment terhadap pasar pemutih, hal ini tetap menempatkan P&G sebagai pesaing “potensial” di pasar pemutih. P&G masuk ke pemutih dengan peran kuat mempromosikan diri di pasar yang terkonsentrasi. Pengadilan menolak merger.

Tasty Baking and Tastykake v. Ralston Purina and Continental Baking (1987)

* Merger dari Beberapa Kompetitor: Aktual atau Potensial (Mergers of Competitors: Actual and Potential).

* Continental Baking, pembuat permen Twinkie dan Ding Dong, bergabung dengan Drake, pembuat Ring Ding. Secara nasional, Twinkie adalah snack terbesar dikonsumsi sepertiga dari pasar, sementara Drake di bawah 5%. Meski demikian, di daerah utara-timur, Drake bisa mencapai 50% di New York dan Boston.

* Pertanyaan utamanya adalah pengadilan mendefinisikan pasar yang relevan. Jika snack berkompetisi dengan snack lain atau pastri, maka merger kedua perusahaan snack itu tidak signifikan karena perusahaan baru hanya memiliki porsi kecil di pasar yang relevan. Jika hanya disebut: kue snack dan pie, maka keinginan merger itu menaikkan konsentrasi di industri itu. Sebagai tambahan, area geografis yang relevan menjadi penting karena setiap perusahaan memiliki market share yang berbeda di setiap kota utara-timur Amerika Serikat. Pengadilan menetapkan bahwa pasar snack cake bisa didefinisikan dan dampat pasar kota metropolitan bisa dikaji. Pengadilan meminta perusahaan untuk menunda merger.

Amerika Serikat v. ALCOA (1945)

* Monopolisasi dan Perusahaan Dominan (Monopolization and Dominant Firm).

* Alcoa memproduksi 90% aluminum dari seluruh Amerika Serikat, karena di awalnya Alcoa memiliki hak paten untuk memproses biji bauksit menjadi aluminum asli (virgin aluminum). Tahun 1912 Alcoa terbukti bersalah karena konspirasi untuk memonopoli industri ini. Alcoa berhenti beraktivitas selama 25 tahun ke depan.

* Pengadilan memiliki beberapa argumen. Pertama, Pengadilan memperhatikan apakah aluminum daur-ulang bisa dibuat menjadi substitusi aluminum asli, yang akan mereduksi market share Alcoa dari 90% (yang menobatkannya menjadi pemain monopoli) ke 60% (yang bisa membuatnya tetap monopoli, atau tidak) atau bahkan ke 33% (yang melepaskan label monopoli). Selanjutnya, pengadilan menyadari adanya perbedaan antara Alcoa yang yang secara aktif berusaha untuk mempertahankan monopolinya denga Alcoa yang berakhir dengan manajemen dan R&D yang baik. Pengadilan memutuskan bahwa walaupun Alcoa tidak secara aktif memonopoli industri, mereka terbukti menerapkan perilaku monopolistik. Alcoa juga terbukti bersalah melanggar Sherman Act.

Amerika Serikat v. United Shoe Machinery (1953)

* Monopolisasi dan Perusahaan Dominan (Monopolization and Dominant Firm).

* Meski industri manufaktur sepatu adalah industri yang sangat kompetitif, pemasok peralatan manufaktur 85-90% berada di tangan satu perusahaan saja: United Shoe Machinery. United Shoe melakukan monopoli dengan hanya menyewakan mesin dan tak pernah menjualnya.

* Sekali lagi, seperti dalam putusan Alcoa, meskipun United Shoe tidak melakukan praktek monopoli terhadap pasar, pengadilan menetapkan United Shoe bersalah mengekang perdagangan dengan kekuatan pasarnya. Pengadilan juga menetapkan agar United Shoe dengan kebijakan menyewakannya diubah menjadi kebijakan menyewakan dan menjual alat dengan harga yang kompetitif.

Amerika Serikat v. Du Pont (1956)

* Monopolisasi dan Perusahaan Dominan (Monopolization and Dominant Firm).

* Selama periode relevan, Du Pont mengendalikan 75% pasar kertas kaca, tapi kurang dari 20% dari pasar materi pembungkus fleksibel.

* Pengadilan mengkaji elastisitas silang (cross elasticity of demand) dari permintaan kertas kaca, dan menetapkan bahwa terjadi substitusi yang cukup untuk kertas kaca, sehingga Du Pont tidak memonopoli pasar kertas kaca. Hakim yang berbeda pendapat menyatakan bahwa perubahan besar dari harga kertas kaca tidak berdampak pada barang kompetitor. (Jelas bahwa tak perlu didiskusikan lebih lanjut bagaimana penurunan harga berdampak pada permintaan terhadap barang kompetitor)

Berkey Photo v. Eastman Kodak (1979)

* Monopolisasi dan perusahaan dominan.

* Sebelum 1954 Kodak memasukkan biaya proses film di dalam harga film yang dijual ke pelanggan. Tie-in (penggabungan) antara biaya film dan biaya proses digugat ilegal. Market share dari Kodak turun dari 96% (1954) ke 19% (1976). Di pasar kertas cetak, turun dari 94% ke 60% Di pasar kamera instan mengendalikan 65% dan pasar film berwarna 85%. Jika kodak memperkenalkan Pocket Instamatic sejalan dengan kamera desain khusus, maka kompetitor seperti Berkey Photo elah diberikan peringatan awal tentang produk baru Kodak, dan Kodak diberikan waktu cukup untuk menjual kamera, film dan proses filmnya.

* Pengadilan menetapkan bahwa Kodak tak memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi terhadap produknya. Perusahaan yang melakukan R&D dan kajian risiko, saat memperkenalkan produk barunya memiliki hak mendapatkan keuntungan dan segala penemuannya. Penemuan dan perkembangan sesungguhnya cara legal untuk memonopoli.

Amerika Serikat v. Du Pont (1957)

* Integrasi Vertikal (Vertical Integration).

* Tahun 1919 Du Pont membeli 23% saham General Motors. Selama ini Du Pont adalah pemasok cat dan kain ke General Motors, menyelesaikan dua pertiga kebutuhan GM untuk cat dan setengah untuk kain. Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana Du Pont memegang bisnis GM sebagai basis atau hasil dari pertaruhan finansial di perusahaan itu.

* Pengadilan memutuskan bahwa jelas Du Pont menggunakan kekuatan finansialnya untuk membuka pasar GM khususnya kain dan cat, untuk menjadi pemasok utama. Hal ini melanggar Clayton Act. Hakim yang berbeda pendapat dan mempertanyakan mengapa hanya fokus di dua pasar (cat dan kain) sementara produk Du Pont lain tak dipilih oleh GM. Banyak contoh menunjukkan bahwa selain pertaruhan finansial, Du Pont juga menghadapi pertaruhan kontrak dengan GM. Mereka berargumen bahwa sebagai investor substansial di GM, Du Pont tidak akan menyuruh GM memasok produk jelek. Akhirnya, para hakim ini menunjukkan bahwa bahkan jika perjanjian vertikal Du Pont dan GM mengendalikan divisi pembelian di GM, total marker share GM terhadap pembelian produk ini adalah kecil.

Brown Shoe v. Amerika Serikat (1962)

* Integrasi Vertikal (Vertical Integration).

* Brown, manufaktur sepatu besar, mengajukan diri untuk mengakuisis Kinney, peritel sepatu besar.

* Pengadilan menetapkan bahwa pembelian ini akan menempatkan manufaktur sepatu lain pada posisi merugi, mengingat akan terjadinya pengekangan proses pembelian Kinney. Mereduksi kompetisi ini melanggar Clayton Act.

Ford Motor v. Amerika Serikat (1972)

* Integrasi Vertikal (Vertical Integration).

* Ford Motor, hingga tahun 1961, memproduksi busi tidak berapi, kemudian mengakuisisi Autolite yang memproduksi busi berapi. Pemain di pasar busi berapi adalah Champion 50% pasar, AC Delco 35%, dan Autolite 15%.

* Pengadilan memutuskan bahwa merger ini berakibat pada reduksi kompetisi di pasar, dan untuk itu melanggar Pasal 7 dari Celler-Kefauver Antimerger Act. Peran Ford sebagai kompetitor utama melayani harga dalam pasar oligopolistik.

* “Kebodohan” dari keputusan pengadilan ini menyatakan bahwa analisis biaya-keuntungan tak bisa digunakan dalam kasus persaingan usaha karena metode ini di luar pemahaman pengadilan. Untuk itu, merger antikompetitif bahkan jika mereka menghasilkan dampak baik baik ekonomi keseluruhan, tetap dinyatakan ilegal.

Standard Fashion v. Magrane-Houston Company (1922)

* Perjanjian eksklusif (Exclusive Dealing)

* Standard Fashions memproduksi pakaian anak dan wanita dengan corak tertentu dan dijual di outlet ritel seperti departemen store Magrane-Houston. Kontrak dengan Magrane menyebutkan bahwa Magrane tak boleh menjual merek lain yang bercorak sama di tokonya. Sementara di pasar ada 52 ribu perusahaan independen yang memproduksi pakaian serupa, dan 40% pasar itu dikuasai Standard Fashion.

* Pengadilan menetapkan bahwa sebagai hasil dari kontrak ini adalah mereduksi komeptisi, terutama di kota kecil di mana hanya ada satu toko yang menjual baju bercorak tersebut. Tambahan lagi, perjanjian seperti ini menimbulkan halangan masuk bagi pemain kecil yang tak mampu memasok beragam corak tak seperti Standard Fashion.

Tampa Electric Company v. Nashfield Coal (1961)

* Perjanjian eksklusif (Exclusive Dealing)

* Tampa Electric menandatangani kontrak 20 tahun dengan Nashfield Coal untuk memasok bahan bakar generator Tampa. Nashfield menuduh kontrak Tampa melanggar peraturan persaingan usaha, dan memutus kontrak sepihak. Tampa harus memasok batubara dari pihak lain dalam biaya yang lebih mahal.

* Pengadilan menyatakan bahwa kontrak Tampa-Nashfield ini membuat Tampa membeli semua batubara dari Nashfield, sebuah perjanjian eksklusif, namun kontrak ini menjadi ilegal jika telah mencapai porsi signifikan dalam pasar kompetitif. Sementara itu, generator Tampa menghidupkan listrik setengah dari konsumsi listrik di Florida, pengadilan memutuskan bahwa pasar relevan bagi batubara yang akan dibeli Tampa adalah pasar seluruh Appalachian dan Amerika Serikat bagian timur. Sehingga porsi Tampa di pasar itu hanya 1%. Karena baik penjual atau pembeli tidak memiliki posisi dominan di pasar, kontrak eksklusif ini terbukti tidak memiliki dampak anti-kompetitif.

Henry v. A. B. Dick (1912)

* Mengikat (Tying).

* A.B. Dick, manufaktur mesin duplikasi mimeograph, mengharuskan pembeli mesinnya juga membeli kertas dan tinta yang biasa digunakan dalam mesin A.B. Dick.

* Pengadilan memutuskan dengan bijak bahwa tak ada bedanya apakah seorang monopolist menghasilkan uang melalui penjualan produk patennya atau melalui produk non-paten yang digunakan bersama produk paten. Mereka mengetahui bahwa menghalangi pengikatan produk ini adalah semata-mata kekuatan monopoli di pasar kertas/tinta yang ditransfer ke pasar mesin yang berdampak kecil ke publik. Hakim yang berbeda pendapat menolak bahwa praktek dengan reductio ad absurdum tanpa memperhitungkan bahwa tak ada seorangpun yang bisa membeli produk paten jika dibatasi secara tak jelas..

* Keputusan ini, walaupun benar secara ekonomi, tetap dianggap tidak populer, dan diarahkan sebagian ke pasal-pasal Clayton Act 1914 yang mengatur penjualan mengikat yang dilarang.

International Salt v. Amerika Serikat (1947)

* Mengikat (Tying).

* International Salt memproduksi alat pembuatan garam yang biasa digunakan (lease) untuk memproses makanan. Sebagai persyaratan leasing, International mengharuskan penyewanya membeli seluruh garam dan tablet garam dari International.

* Pengadilan menegaskan bahwa paten International atas perangkat pembuatan garam tidak serta-merta menjadikannya menghambat kompetisi di pasar garam. International membela bahwa mesinnya hanya bisa memproses garam kualitas tertentu untuk menghindari kerusakan mesin. Pengadilan menjawab bahwa International bisa saja menetapkan standar, tanpa harus memaksakan kehendak merek garam tertentu ke pelanggannya.

* Lihat Heaton Peninsular v. Eureka Specialty untuk masalah khusus-yang membuktikan bahwa kontras dengan keputusan pengadilan bahwa hampir setiap perjanjian tying/mengikat adalah merugikan-tapi perjanjian tying di kasus Peninsular v Eureka ini bisa digunakan untuk menaikkan kesejahteraan masyarakat.

Northern Pacific Railway v. Amerika Serikat (1958)

* Mengikat (Tying).

* Sebagai bagian dari tanah yang diberikan pemerintah untuk menangani jalur kereta api tahun 1870, Northern Pacific diberikan kepemilikan tanah 20-40 mil lebar sepanjang jalur kereta api di daerah utara-barat Amerika. Northern Pacific kemudian menawarkan penjualan tanah ini dengan persyaratan bahwa pemilik tanah yang baru harus menggunakan Northern Pacific untuk kebutuhan transportasi dan pengiriman barangnya.

* Pengadilan beralasan bahwa perjanjian mengikat produk (tying) hanya ilegal jika perusahaan memiliki kekuatan pasar signifikan terhadap barang yang dijual terika titu, karena jika tidak ia tak bisa memaksa pelanggan membeli. Oleh karenanya, perusahaan itu bisa mengancam kompetisi. Beberapa hakim yang berbeda pendapat menekankan bahwa Northern Pacific tak pernah bisa mengatur pasar real-estat keseluruhan, sehingga tidak akan mereduksi kompetisi.

Amerika Serikat v. Loew’s (1962)

* Mengikat (Tying).

* Loew adalah distributor film besar yang memasok ke stasiun TV. Loew mengharuskan proses pemesanan film dalam jumlah besar (block booking) sehingga setiap stasiun TV harus membeli film bagus sekaligus film jelek dalam satu paket.

* Pengadilan menetapkan bahwa Loew memiliki kekuatan pasar terhadap distribusi film, dan untuk itu, perjanjian ini mereduksi kompetisi di dalam pasar.

* Pertanyaan sederhanannya adalah mengapa pemesanan seperti ini merupakan usaha untuk menghasilkan pendapatan Loew lebih besar daripada hanya menjual setiap film secara eceran.

Siegel v. Chicken Delight (1971)

* Mengikat (Tying).

* Chicken Delight, sebuah perusahaan sajicepat, memberikan resep, merek dan trademark tanpa biaya ke pemegang lisensinya dengan persyaratan bahwa pemegang lisensi itu wajib membeli produk kertas, alat masak hingga bahan siap masak dari Chicken Delight.

* Chicken Delight menolak tuduhan bahwa pengaturan tying ini sebaiknya tidak dinilai sebagai usaha anti-kompetitif mengingat perjanjiannya adalah (selain menghasilkan pendapatan bagi Chicken Delight) menetapkan standar terhadap pemegang lisensinya. Pengadilan menetapkan bahwa banyak cara untuk meraih pendapatan dan menjamin kualitas yang tidak melanggar hukum persaingan usaha. Untuk itu pengadilan menolak argumen Chicken Delight.

* Argumen Chicken Delight memiliki nilai kuat, dan merupakan satu contoh bahwa satu kasus di mana masyarakat diuntungkan dari penerapan penjualan mengikat/tying.

Jefferson Parish Hospital District #2 v. Hyde (1984)

* Mengikat (Tying).

* Jefferson mengharuskan semua pasien bedah yang menginap di rumah sakit itu juga menggunakan ahli anestesi yang dipekerjakan di rumah sakit itu. Tak ada ahli anestesi yang ditugaskan secara resmi untuk menangani proses anestesi di rumah sakit itu.

* Pengadilan memulai dari pengertian bahwa Jefferson memiliki tingkat kekuatan pasar tinggi di pasar relevan, sehingga mengumumkan perjanjian tying adalah ilegal. Kemudian mereka juga mendefinisikan bahwa penjualan tying ini mengharuskan pelanggannya bisa membeli secara ecer atau paket tying. (Sekaligus menegaskan bahwa Ford dalam persyaratannya mengharuskan pembelinya juga membeli badan mobil bersama mesinnya). Sehingga pasien yang ingin hanya layanan anestesi bisa datang ke rumah sakit lain. Kedua barang ini tak bisa dipisahkan, sehingga Jefferson tidak menggunakan kekuatan pasarnya di satu pasar yang tidak relevan. Pengadilan kemudian juga mempertimbangkan bahwa memiliki layanan tunggal tidak menghasilkan keuntungan dari efisiensi (dalam kamus rumah sakit adalah biaya adminsitrasi yang lebih rendah). Untuk itu kasus tying seperti ini ditetapkan legal.

Fashion Originators’ Guild of America v. FTC (1941)

* Boikot dan Penolakan untuk Kerjasama (Boycotts and Refusals to Deal).

* The Fashion Originator’s Guild mewakili sejumlah desainer dan pabrik fashion untuk memberantas pembajakan gaya (style piracy). Kelompok ini jika digabung membentuk kendali pasar sebesar 38% hingga 60% dari pasar relevan. Kelompok ini meregistrasi semua desain dan meminta seluruh anggotanya untuk memboikot dan melarang menjual produknya ke toko ratail yang menjual imitasi dari desain yang diregistrasi.

* Pengadilan dengan mudah menetapkan Guild bersalah karena hukum paten di Amerika Serikat tidak melindungi desain garmen seperti halnya buku atau produk temuan teknologi.

Lorain Journal Company v. Amerika Serikat (1951)

* Boikot dan penolakan untuk kerjasama (Boycotts and refusals to deal).

* Lorain Journal, satu-satunya harian terbit di Lorain, Ohio, menolak untuk menerima iklan dari pelanggan yang juga menggunakan iklan radio di stasiun lokal sana.

* Pengadilan menerjemahkan perilaku Journal sebagai perilaku yang “berani, tak mau kalah, dan komersial predatori” yang bisa terjadi untuk menghalau kompetitornya keluar dari pasar yang sama. Koran ini memilih pengiklan potensial atas perilaku yang tak lain hanya untuk mengusir kompetitor potensial keluar dari pasar.

Klor’s v. Broadway-Hale (1959)

* Boikot dan Penolakan untuk Kerjasama (Boycotts and Refusals to Deal).

* Klor, peritel peralatan skala kecil, menuduh Broadway-Hale berkonspirasi dengan pemasoknya untuk membatasi jumlah produk yang dipasok ke Klor, atau hanya beberapa jenis barang saja yang boleh dipasok ke Klor.

* Pengadilan memihak Klor menegaskan bahwa boikot jelas mereduksi kompetisi dengan menghalangi Klor berkompetisi dengan Broadway-Hale dalam persyaratannya. Secara khusus, pengadilan menegaskan bahwa kekuatan pasar yang dimiliki Klor itu kecil, faktanya bahwa kebangkrutkan Klor tidak akan berdampak terhadap pasar, dan penolakan untuk kerjasama (refusal to deal) adalah ilegal, agar pengadilan bisa membela negara dari monopoli perlahan seperti halnya monopoli dalam waktu sekejap.

Aspen Skiing Company v. Aspen Highlands Skiing Corporation (1985)

* Boikot dan Penolakan untuk Kerjasama (Boycotts and Refusals to Deal).

* Daerah Pegunungan Aspen memiliki 4 buah resor dengan jarak dekat ke pusat kota. Selama ini pembangunan resor itu dilakukan oleh 3 perusahaan independen, namun tahun 1977 seluruh gunung dimiliki oleh Aspen Skiing Company dengan hanya Aspen Highlands yang tetap independen. Secara tradisional, pemain ski bisa membayar bea masuk ke pegunungan dalam paket beberapa hari, namun karena konsolidasi kepemilikan oleh Aspen Skiing Company, Aspen Skiing menolak Aspen Highlands berpartisipasi dalam paket tiket beberapa hari ini dengan Aspen Skiing.

* Pengadilan memang memutuskan bahwa Aspen Skiing tak bisa dilarang untuk bekerjasama dengan kompetitor, tapi pengadilan menemukan bahwa Aspen Highlands telah membuat proposal legal untuk ikut serta dalam paket tiket bersama Aspen Skiing, Untuk itu Aspen Skiing tak punya alasan untuk menolak permintaan kalau bukan karena alasan predatori. Hak untuk menyeleksi mitra bisnis tidaklah menjadi alasan kuat untuk persyaratan kompetisi. Untuk itu pengadilan menetapkan Aspen Skiing melakukan tindakan anti-kompetitif.

FTC v. Indiana Federation of Dentists (1986)

* Boikot dan penolakan untuk kerjasama (Boycotts and refusals to deal).

* The Indiana Federation of Dentist adalah kelompok kecil dokter gigi yang memiliki jumlah anggota yang signifikan di daerah Fort Wayne dan Lafayette. Kelompok ini mewajibkan keanggotaan untuk tidak menyerahkan hasil X-ray gigi jika diminta perusahaan asuransi untuk maksud memblokir usaha perusahaan asuransi menarik keuntungan.

* Jelas terbuktu bahwa setiap orang memilih dokter gigi yang satu dibanding yang lain karena masalah asuransi. Untuk itu pengadilan menetapkan bahwa kebijakan Federation ini telah menghalangi dokter gigi bersaing dengan dokter gigi lain dari penanganan asuransinya.

Northeastern Telephone v. AT&T (1981)

* Harga predatori dan Diskriminasi Harga (Predatory Pricing and Price Discrimination).

* Northeastern Telephone, sebuah pemasok perangkat terminal telepon, menuduh AT&T, raksasa yang memiliki pasar 20 kali lipat Northeastern, melakukan predatory pricing.

* Pengadilan mendefinisikan predatory pricing sebagai “sacrificing current revenue in order to drive a competitor from the market to gain increase market power in the future.” Pengadilan juga memberikan batas sebuah angka itu predatori jika lebih kecil dari biaya marginal (marginal cost). Karena marginal cost itu susah didapat datanya di dunia nyata, rata-rata variable cost bisa dianggap sebagai proksi marginal cost oleh pengadilan. Pengadilan menyatakan bahwa Northeaster tidak memberikan bukti harga AT&T di bawah marginal cost/average variable cost. Untuk itu AT&T dinyatakan tidak bersalah terhadap tuduhan predatory pricing. Northeastern menemukan bahwa ukuran besar AT&T bisa menyedot kerugian di satu sektor sementara memiliki profit tinggi di sektor lain. Untuk itu pengadilan menyatakan bahwa AT&T dengan ukuran besarnya bisa terlibat dalam upaya predatory pricing tanpa takut bangkrut. Intinya, harus ada bukti bahwa suatu perusahaan melakukan predatory pricing.

Barry Wright Corporation v. ITT Grinnell (1983)

* Harga predatori dan Diskriminasi Harga (Predatory Pricing and Price Discrimination).

* Grinnel adalah manufaktur tunggal dari mechanical shock absorbers (snubbers) untuk digunakand di pabrik pembangkit listrik tenaga nuklir. Barry Wright ingin masuk ke pasar ini dengan bantuan Pacific Scientific, pembeli terbesar snubbers. Setelah tahu Barry Wright hendak masuk ke pasar, Grinnell menawarkan Pacific diskon besardalam kontrak jangka panjang. Saat Barry Wright tak bisa memenuhi permintaan jadwal Pacific untuk memproduksi snubbers, Pacific menyetujui kontrak dengan Grinnel yang menyebabkan Barry Wright hengkang dari pasar itu.

* Adalah benar bahwa Barry Wright masuk mengakibatkan Grinnell memberikan diskon yang kemudian mengakibatkan Barry Wright gulung tikar, pengadilan menemukan bahwa harga diskon Grinnell masih di atas variable cost dan untuk itu tetap legal. Pengadilan kemudian menetapkan bahwa dalam banyak contoh, pemotongan harga bisa merugikan kompetitor. Pengadilan juga tidak ingin meredam pemotongan harga yang pro-kompetitif dengan mengumumkan pemotongan harga melanggar hukum persaingan usaha.

Matsushita Electric v. Zenith Radio (1986)

* Harga predatori dan Diskriminasi Harga (Predatory Pricing and Price Discrimination).

* Zenith menegaskan bahwa sejak tahun 1960 hingga 1985 kartel Jepang berupa perkumpulan manufaktur elektronik (consumer goods) berkonspirasi untuk menjual produknya ke Amerika Serikat dengan harga di bawah ongkos untuk mengusir manufaktur Amerika keluar dari pasar. Skema harga predatori ini dibiayai dari profit besar yang dibuat oleh kartel Jepang di mana-mana.

* Walau menyetujui bahwa perusahaan Jepang menghasilkan profit besar dari penjualan domestik (dan terlibat dalam aktivitas di Jepang yang tak mungkin dikaji hukum persaingan usaha Amerika Serikat), pengadilan menemukan bahwa tak masuk akan jika kartel Jepang itu harus menahan kerugian selama 25 tahun berusaha hanya untuk meraih posisi monopoli. Seperti halnya Northeastern v. AT&T, kemampuan untuk menerapkan harga predatori tak selalu berarti salah.

Utah Pie v. Continental Baking (1967)

* Diskriminasi Harga (Price Discrimination).

* Utah Pie, sebuah toko roti kecil di Salt Lake City, mengajukan gugatan terhadap tiga kompetitor besar yang secara aktif memperluas pasar kue pie beku (frozen pie), yaitu Continental Baking, Pet Milk, dan Carnation. Sementara Utah Pie hanya beroperasi di Salt Lake City, ketiganya beroperasi secara nasional. Ketiganya menjual harga distributor sangat rendah di Salt Lake City dibanding daerah lain di negara itu.

* Pengadilan menetapkan bahwa jenis diskriminasi harga ini adalah anti-kompetitif dengan maksud mengusir Utah Pie keluar dari pasar. Hakim yang berbeda pendapat menyatakan bahwa struktur pasar di Salt Lake City setelah tindakan ketiga perusahaan ini membuktikan bahwa terjadi kompetisi harga yang lebih baik.

* Kasus ini membuktikan bahwa keputusan pengadilan sangat buruk. Model oligopoli paling dasar menunjukkan bahwa empat kompetitor utama berkompetisi harusnya bisa menurunkan harga daripada pasar dengan 3 kompetitor saja. Perbedaan harga antara Salt Lake City dan pasar lain adalah hasil dari kompetisi yang lebih efektif. Pengadilan seharusnya menanyakan mengapa harga di kota lain tinggi dibanding harga di Utah yang rendah.

FTC v. Morton Salt (1948)

* Diskriminasi Harga (Price Discrimination).

* Morton menjanjikan diskon penjualan terhadap pembeli yang membeli garam dalam jumlah besar, US$1,6 per bungkus untuk pembelian terkecil dan turun hingga US$1,35 per bungkus untuk jumlah 50 ribu bungkus.

* Pengadilan memutuskan bahwa diskon yang tersedia untuk pelanggan manapun, secara nyata tak banyak pelanggan yang mampu membeli sekian banyak garam dalam satu waktu. Pengadilan kemudian menekankan bahwa diskon hanya legal jika jumlah penjualan menurunkan biaya penjualnya. Pengadilan juga menegaskan maksud putusan adalah untuk melindungi usaha kecil dari perusahaan besar.

* Bisa dipertanyakan mengapa diskon kuantitas bisa secara nyata mereduksi kompetisi.

Standard Oil Company v. FTC (1951)

* Pembelaan Khusus untuk Pembeli dan Penjual (Special Defenses for Buyers and Sellers).

* Standard Oil menjual bensin untuk empat perusahaan besar di Detroit di harga rendah, yang lain dengan harga peritel biasa di daerah sama.

* Standard berargumen bahwa harga tersebut diberikan untuk menghadapi kompetisi dari perusahaan bahan bakar lain. Pengadilan mengabulkan perusahaan yang membuat perbedaan harga ke pelanggan besar untuk menghadapi kompetisi, tanpa harus memotong harga kepada pelanggan lain.

Amerika Serikat v. Borden Company (1962)

* Pembelaan Khusus untuk Pembeli dan Penjual (Special Defenses for Buyers and Sellers).

* Borden terlibat dalam diskriminasi harga penualan susu antara dua perusahaan besar di Chicago: Jewel dan A&P, serta antara beberapa toko pangan independen di daerah itu.

* Borden membela diri bahwa kajian harga diskriminatif (analisis jumlah dan biaya) untuk menyediakan susu ke toko biasa dengan toko besar. Pengadilan menetapkan bahwa bukti biasa itu tak dapat membuktikan contoh mengapa menyediakan susu ke toko independen lebih murah dari toko besar. Diskriminasi ukuran toko bisa diterima, tapi diskriminasi ukuran jaringan toko tidak.

Great Atlantic & Pacific Tea v. FTC (1979)

* Pembelaan Khusus untuk Pembeli dan Penjual (Special Defenses for Buyers and Sellers).

* Great Atlantic mengajukan permohonan lelang dari produsen susu untuk pasokan susu bermerek di toko A&P. Borden memenangkan lelang untuk menyediakan susu dengan diskon khusus terhadap harga yang diberikan ke perusahaan lain. Great Atlantic menerima proposal ini. Kemudian Great Atlantic digugat karena melanggar Clayton Act yang menegaskan tindakan ilegal jika sebuah perusahaan menggunakan kekuatan pasarnya untuk mengunci harga diskriminatif dari pemasok.

* Karena Borden hanya memenangkan kontrak lelang, dia dinyatakan tak bersalah karena harga diskriminatif. Borden hanya berusaha untuk berkompetisi. Sayangnya Great Atlantic tetap dinyatakan bersalah karena menetapkan harga diskriminatif.

Dr. Miles Medical Company v. John D. Park and Sons (1911)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Dr Miles menjual paten obat ke distributor utama dan peritel dengan penetapan harga minimum yang bisa dijual oleh distributor/peritel.

* Pengadilan menetapkan bahwa menjaga harga jual kembali (resale price maintenance) bisa mereduksi kompetisi antar-peritel dan antar-distributor, dan untuk itu ditetapkan ilegal.

* Untuk keputusan pengadilan yang benar secara ekonomi, seseorang harus mengasumsikan bahwa kompetisi harus ada di antara distributor dan peritel. Jika tidak ia akan terjebak dalam masalah double-marginalization klasik seperti yang terjadi dengan Albrecht v. Herald.

Amerika Serikat v. Colgate & Company (1919)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Colgate, manufaktur sabun dan perlengkapan kamar mandi, mengharuskan dealernya menjaga harga penjualan minimum (minimum resale prices) atau akan dibatalkan kontraknya oleh Colgate.

* Lemah dalam keputusan delapan tahun lalu (Miles v Park), pengadilan menekankan bahwa perusahaan tak boleh memaksakan minimum resale prices terhadap dealernya. Namun demikian, pengadilan menekankan bahwa perusahaan secara legal dapat menolak berbisnis dengan dealer yang tak setuju dengan kesepakatan minimum resale prices.

* Dalam semangat penegakan hukum persaingan usaha lain seperti Aspen Skiing v. Aspen Highlands, adalah masuk akan jika pengadilan kemudian memutuskan hak sebuah perusahaan untuk menjalankan bisnis juga termasuk tanggungjawab untuk tidak terlibat praktek merusak persaingan. Untuk itu, kemudian pengadilan sepakat dengan Pemerintah dan memutuskan bahwa Colgate telah memiliki kekuatan pasar signifikan sementara dealer beroperasi di pasar kompetitif.

Amerika Serikat v. Park, Davis & Company (1960)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Park-Davis mengharuskan distributor dan peritelnya menjaga harga ritel dan distributor untuk obat-obatnya. Saat beberapa peritel dan distributornya melanggar kesepakatan harga ini, Park-Davis mengumumkan bahwa ia akan menahan penjualan obatnya ke beberpa perusahaan yang melanggar penetapan harga ini, dan sebagai tambahan, ia akan menahan penjualan obat jika ada peritel atau distributor lain yang melanggar perjanjian ini.

* Pengadilan menetapkan bahwa kontrak Park-Davis ini lebih dari kasus Amerika Serikat v. Colgate, dan untuk itu menetapkan bahwa sjkema price maintenance Park-Davis ini adalah ilegal. Hakim Stewart dalam pendapatnya bahwa kasus Colgate tak sah, dan tiga hakim berbeda pendapat tentang hal ini. Pengadilan harus menjaga preseden pengadilan di atas segalanya. Kasus Colgate yang berlarut-larut adalah wewenang Kongres, bukan masalah Mahkamah Agung lagi.

Kiefer-Stuart Company v. Seagrams (1951)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Perusahaan Seagrams dan Calbert berkonspirasi untuk menetapkan harga jual kembali di titik maksimum (maximum resale price) terhadap distrsibutor minuman utama di Indiana, termasuk Kiefer-Stuart Company. Seagram dan Calvert setuju untuk menolak kerjasa dengan distributor yang tidak menerapkan ketentuan harga ini.

* Karena Seagrams dan Calbert telah berkonspirasi untuk menetapkan harga, mereka telah melanggar Sherman Act. Perusahan berargumentasi bahwa Kiefer-Stuart dan distributor minuman lain di aera itu telah membentuk kartel untuk menaikkan harga distributor, dan skema harga Calbert-Seagrams ini adalah upaya untuk melawan kartelisasi itu. Pengadilan menetapkan bahwa kolusipun tidak boleh dilakukan bahkan atas alasam melawan kartelisasi pihak lain.

* Tak jelas bagaimana pengadilan menetapkan pembentukan maximum resale prices terhadap kolusi antara Calbert dan Seagrams.

Amerika Serikat v. Arnold, Schwinn & Company (1967)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Schwinn, pabrik sepeda terbesar di Amerika Serikat di era 1950an, telah menjual dan menkonsinyasi sepeda melalui distributor utama dan toko ritel terlisensi. Dalam kontrak dengan Schwinn, distributor utama dibatas penjualannya berdasarkan pembagian teritori, dan hanya boleh menjual lagi ke toko ritel yang memiliki lisensi Schwinn. Sedangkan ritel ini hanya boleh menjual merek sepeda lain tapi harus menyediakan porsi pajangan lebih banyak untuk sepeda Schwinn.

* Pengadilan menetapkan bahwa jika Schwinn menjualnya ke distributor utama, yang berbeda kepemilikan dan pertimbanan risiko, ia tak boleh menuntut distributor ini untuk menerapkan pengekangan penjualan, seperti pembatasan pembagian teritori penjualan hingga ke toko ritel. Dalam faktanya, pengadilan telah menetapkan bahwa pembatasan franchise adalah ilegal per se jika merek itu memang diturunkan dari pemegang lisensi (franchiser) ke penerima lisensi (franchisee). Namun demikian, jika Scwhinn terlibat dalam pengekangan sama sementara juga menjaga kepemilikan barangnya, yaitu menjual barang dengan perjanjian konsinyasi dan mengizinkan distributor/toko ritel mengembalikan produk yang tak terjual, pengekangan yang dimaksud adalah diperbolehkan. Adalah berbeda antara pembatasan vertikal dan integrasi vertikal. Hakim Stewart dalam pendapat berbeda berargumen bahwa sangat tidak jelas bagaimana penjualan melalui franchise lebih antikompetitif dibanding dengan penjualan melalui konsinyasi. Dia menekankan perlunya aturan longgar terhadap franchise oleh perusahaan besar.

Continental TV v. GTE Sylvania (1977)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Sylvania menjual seluruh pesawat televisinya melalui dealer dengan sistem franchise, yang hanya boleh menjual produk dalam lokasi yang ditentukan. Tidak menjamin eksklusivitas teritori jika ada dealer baru berlisensi Sylvania. Continental, sebagai pemegang lisensi Sylvania, memasukkan gugatan terhadap kebijakan Sylvania ini.

* Pertama, pengadilan menemukan bahwa perjanjian franchise adalah pelanggaran hukum persaingan per se, sesuai dengan kasus Amerika Serikat v. Arnold, Schwinn & Company (1967). Walau demikian, pengadilan menetapkan bahwa putusan terhadap Schwinn bahwa perilaku yang dilarang adalah yang jelas-jelas antikompetitif tanpa persyaratan uang kembali. Dalam kasus franchise / lisensi, jika kompetisi antar-merek akan tereduksi karena perilaku Sylvania, selain itu juga kompetisi antar-merek akan bergerak. Dengan pertimbangan ini, pengadilan akhirnya menetapkan bahwa “putusan per se ilegal” harus diubah menjadi “putusan rule of reason”. Dalam pendapat legalnya, Hakim Byron White menasihatkan agar tidak menggunakan aturan per se khusus untuk perjanjian harga vertikal.

Monsanto v. Spray-Rite Service Co. (1984)

* Penetapan Harga Vertikal dan Pembagian Pasar (Vertical Price Fixing and Market Division).

* Monsanto menjual herbisida melalui distributor utama yang diwajibkan menjaga harga jual kembali (resale price maintenance) dan diwajibkan melalui pelatihan di Monsanto tentang produknya. Spray-Rite, toko diskon, diterminasi dalam jajaran distributor setelah masuk keluhan dari distributor lain tentang harga diskonnya.

* Pengadilan kemudian mengulang kebijakan pengadilan tengan hubungan manufaktur-distributor. Pertama, kasus Colgate yang biasanya memberikan kebebasan kepada manufakturnya memilih siapa mitra bisnisnya, membolehkan mereka menolak kerjasama dengan distributor yang tidak menjual produknya di harga yang ditetapkan. Kasus Dr Miles yang meminta perilaku bersama (concerted action) terhadap produsennya dalam rangka untuk penetapan harga, adalah per se ilegal. Kasus Sylvania yang juga menerapkan concerted action terhadap perodusuennya atas keputusan non-harga adalah evaluasi rule of reason. Pengadilan kemudian menetapkan bahwa Spray-Rite dikucilkan Monsanto karena desakan distributor (kompetitor Spray-Rite) lain. Untuk itu bukan keputusan Monsanto semata. Karena tindakan ini bukan dalam porsi Colgate ataupun Dr Miles, pengadilan kemudian memutus Monsanto bersalah dan melakukan tindakan ilegal yang menyebabkan kerugian.

FTC v. Consolidated Foods (1965)

* Merger konglomerat (Conglomerate Mergers).

* Consolidated Foods, sebuah perusahaan dan distributor pengolah pangan (food processor) membeli Gentry, sebuah pabrik yang memroses bawang putih dan merah dikeringkan (dehydrated). Gentry menguasai 35% market share di industrinya, dan kompetitornya sebesar 55%.

* Pengadilan menetapkan Consolidated bisa jadi akan menggunakan kekuatan pasarnya terhadap produk lain dalam rangka untuk menarik perhatian pelanggan dalam paket pembeliannya. Potensi resiprokal ini, walau belum terbukti terjadi, sudah cukup menjadi bukti bagi pengadilan untuk memutuskan bahwa merger ini memiliki dampak anti-kompetitif.

Amerika Serikat v. International Telephone and Telegraph (1969)

* Merger konglomerat (Conglomerate Mergers).

* ITT adalah konglomerat besar yang mengajukan proposal membeli Asuransi Hartford, salah satu perusahaan asuransi swasta terbesar.

* Pemerintah berargumen bahwa akuisisi ITT terhadap Hartford dapat mengarah pada perjanjian resiprokal antara Hartford dan konsumen produk ITT lain. ITT menolak tuduhan ini denga alasan bahwa asuransi adalah produk yang kompleks yang bisa dijalani sebagai asas resiprokal kerjasama ITT dan Hartford ini. Selanjutnya pemerintah menuduh uang tabungan (capital reserve) adalah dana untuk membiayai subsider ITT lain dengan tingkat suku bunga rendah yang tak diberikan ke kompetitor lain. ITT menolak dengan alasan bahwa menyedot dana dari Hartford adalah tindakan tidak menguntungkan bagi bisnis asuransi, dan subsider ITT telah memiliki akses cukup ke pasar modal untuk membiayai dirinya. Pengadilan kemudian memihak pada ITT dan mengijinkan untuk merger, mengingat bahwa dalam Sherman Act meminta pengadilan untuk mencegah erosi dari kompetisi tidak untuk mencegah konsentrasi kekuatan pasar.

Eastern Railroad Presidents Conference v. Noerr Motor Freight (1961)

* Monopolisasi Melalui Prosedur Pemerintah (Monopolization Through Abuse Of Government Procedures).

* Sekelompok perusahaan kereta api bergabung untuk melobi negara bagian dan federal untuk mengesahkan hukum pembatasan perusahaan truk berkompetisi di pasar jasa transportasi dan distribusi barang.

* Pengadilan menetapkan bahwa Sherman Act tidak mengatur pembatasan kebebasan berbicara dan komitmen politis agar kelompok ini berkumpul dan memberikan pendapat. Di luar itu, mereduksi kompetisi sebagai hasil dari tindakan pemerintah adalah tindakan ilegal. Pengadilan juga memperingatkan mereka bahwa pengadilan tidak mentoleransi kebebasan berbicara sebagai tameng perilaku anti-kompetitif.

California Motor Transportation v. Trucking Unlimited (1972)

* Monopolisasi Melalui Prosedur Pemerintah (Monopolization Through Abuse Of Government Procedures).

* California Motor menuduh Trucking Unlimited menggunakan pengaruhnya terhadap Pemerintah California terkait dengan jasa truk antar-negara bagian, khususnya tentang penolakan California Motor sebagai lembaga pengambil keputusan.

* Dengan mengingatkan tentang kasus Eastern Railroad Presidents Conference v. Noerr Motor Freight (1961) yang digunakan Trucking Unlimited, khususnya tentang pengaruh terhadap perilaku politik, Trucking Unlimited dianggap telah menggunakan argumen Noerr untuk menutupi perilaku anti-kompetitif yang sebenarnya. Trucking Unlimited tak boleh menggunakan pengaruhnya untuk membatasi California Motor dari akses ke pengadilan dan lembaga administratif lain di bidang transportasi truk. Untuk itu, pengadilan menetapkan Trucking Unlimited untuk mengikuti proses hukum atas tuduhan California Motor yang substansial.

Otter Tail Power v. Amerika Serikat (1973)

* Monopolisasi Melalui Prosedur Pemerintah (Monopolization Through Abuse Of Government Procedures).

* Menghadapi kontrak suplai listrik sebuah kota yang tak bisa diperbaharui, Otter Tail-sebuah perusahaan listrik yang melayani Minnesota, Dakota Selatan dan Dakota Utara-mengajukan gugatan dengan tujuan untuk menghentikan pembangunan sebuah pabrik energi listrik baru. Keterlambatan dan biaya untuk litigasi biasanya dijalankan di kota-kota kecil ini untuk membatalkan rencana kota membangun sistem listrik milik sendiri.

* Untuk memproses gugatan Otter Tail, Mahkamah Agung menegaskan bahwa aktivitas ini dirancang khusus untuk mencegah sebuah kota membangun instalasi produksi listrik independen. Otterl Tail kemudian dilarang terlibat dalam perilaku yang anti-kompetitif ini.

Situs 33 Provinsi

Data per 20 September 2007 (tata urut provinsi secara alfabetis)

1. Bali - Drs Dewa Made Beratha - 2003-2008

http://www.baliprov.go.id/

2. Bangka Belitung - Drs Hudarni Rani, SH - 2002-2007

http://www.bangka.go.id/ Situs Pemprov tak ada, hanya ada situs Kabupaten Bangka

3. Banten - Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE - 2007-2012

http://www.banten.go.id/

4. Bengkulu - Agusrin Maryono Najamuddin, ST - 2005-2010

http://www.bengkulu.go.id/ Situs tak bisa diakses

5. DI Jogjakarta - Sri Sultan Hamengku Buwono X - 2003-2008

http://www.pemda-diy.go.id/

6. DKI Jakarta - Dr Ing. Fauzi Bowo - 2007-2012

http://www.jakarta.go.id/

7. Gorontalo - Ir Fadel Muhammad - 2007-2012

http://www.gorontaloprov.go.id/

8. Jambi - Drs. H. Zulkifli Nurdin - 2005-2010

http://www.pempropjambi.go.id/

9. Jawa Barat - Drs. H. Danny Setiawan, M.Si - 2003-2008

http://www.jabar.go.id/

10. Jawa Tengah - Drs Ali Mufiz, MPA - 2003-2008

http://www.jawatengah.go.id/

11. Jawa Timur - Mayjen TNI (Purn) Imam Oetomo - 2003-2008

http://www.jatim.go.id/

12. Kalimantan Barat - H. Usman Ja’far - 2003-2008

http://www.kalbar.go.id/

13. Kalimantan Selatan - Drs. H. Rudy Arifin, MM - 2005-2010

http://www.kalselprov.go.id/

14. Kalimantan Tengah - Agustin Teras Narang, SH - 2005-2010

http://www.kalteng.go.id/

15. Kalimantan Timur - Brigjen TNI (Purn) H. Suwarna Abdul Fatah - 2003-2008

http://www.kaltimprov.go.id/

16. Kepulauan Riau - Drs. H. Ismeth Abdullah - 2005-2010

http://www.kepriprov.go.id/

17. Lampung - Komjen (Purn) Drs. Sjahroeddin ZP, SH - 2004-2009

http://www.lampung.go.id/

18. Maluku - Karel Albert Ralahalu - 2003-2008

http://www.maluku.go.id/ Situs tak bisa diakses

19. Maluku Utara - Drs. Hi. Thaib Armaiyn - 2002-2007

http://www.malukuutaraprov.go.id/

20. Nanggroe Aceh Darussalam - Irwandi Yusuf - 2007-2012

http://www.nad.go.id/

21. Nusa Tenggara Barat - Drs. H. Lalu Serinata - 2003-2008

http://www.ntb.go.id/

22. Nusa Tenggara Timur - Piet Alexander Tallo, SH - 2003-2008 - (gubernur masuk RS di Surabaya)

http://www.nttprov.go.id/

23. Papua - Barnabas Suebu - 2006-2011

http://www.papua.go.id/

24. Papua Barat - Brigjen (Purn) TNI-AL Abraham Octavianus Atururi - 2006-2011

http://www.dprd-irjabarprov.go.id/ Situs Pemprov tak ada, hanya situs DPRD

25. Riau - H.M. Rusli Zainal, SE. - 2003-2008

http://www.riau.go.id/

26. Sulawesi Barat - Drs H. Syamsul Arieif Rivai, MSi - 2006-2011

http://www.mamasakab.go.id/

http://www.polewalimandarkab.go.id/ Situs Pemprov tak bisa diaksses, hanya situs kabupaten/kota

27. Sulawesi Selatan - Mayjen TNI (Purn) H.M.Muhammad Amin Syam - 2003-2008

http://www.sulsel.go.id/

28. Sulawesi Tengah - Mayjen TNI (Purn). H.Bandjela Paliudju - 2006-2011

http://www.sulteng.go.id/

29. Sulawesi Tenggara - Ali Mazi, SH - 2002-2007

http://www.sultra.go.id/

30. Sulawesi Utara - Drs Sinyo Harry Sarundajang - 2005-2010

http://www.sulut.go.id/

31. Sumatera Barat - Drs. H. Gamawan Fauzi, SH, MM - 2005-2010

http://www.sumbarprov.go.id/

32. Sumatera Selatan - Ir Syarial Oesman, MM - 2003-2008

http://www.sumselprov.go.id/

33. Sumatera Utara - Drs Rudolf M. Pardede - 2003-2008

http://www.pempropsu.go.id/

ASEAN (media landscape and tech transfer)

Kerjasama ASEAN dan Jepang: Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan

oleh : Amelia DayDesember 2006
Daftar isi:

ABSTRAKSI
1. Pembukaan
2. Tren politik di setiap negara
3. Tren ekonomi dan ASEAN Economic Community
4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: Sebuah Kajian Transfer Teknologi
5. REKOMENDASI: TRANSFER TEKNOLOGI DALAM PROSES PRODUKSI UNTUK MASA DEPAN ASEAN (SEBUAH PROSES INSIDE-OUTSIDE DAN OUTSIDE-INSIDE)
a. Inside-outside process of tech transfer
b. Outside-inside process of tech transfer
6. Penutup
7. Bibliografi
8. Lampiran
a. Japan’s export to ASEAN and China by commodity (2005)
b. Japan’s import from ASEAN and China by commodity (2005)
c. Discussion document: Technology transfer and national innovation (IIPI, University of Campinas, Sao Paolo, Brasil, 2004)
d. Technology Transfer and Commercialization (US Department of Commerce 2003 Report) - executive summary
e. Trends in Japanese Textile Technology (US Department of Commerce 1996 Report)

Abstraksi

ASEAN adalah perkumpulan negara-negara sedang berkembang yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN beberapa tahun terakhir bisa membuktikan kekuatan ekonomi di masa depan.

Sayangnya, ASEAN hanya menjadi satu pasar besar yang belum belajar dari kesalahan masa lalu: tiadanya tranfer teknologi dari negara-negara maju di dunia. Pasca-Restorasi Meiji, Jepang adalah negara yang mengadopsi teknologi yang berkembang di Eropa. Percepatan adopsi teknologi di negara ini kemudian terlaksana setelah Perang Dunia Pertama. Perang Dunia Pertama juga mendorong Korea Selatan mengadopsi teknologi yang dikembangkan Jepang. Dalam tempo tiga puluh tahun terakhir ini, Cina juga mampu mangadopsi teknologi di segala lini dengan cepat. Motor Cina (mocin) sebagai satu contohnya.

Untuk itu, kerjasama ASEAN dengan India, Cina, Jepang, Korsel, Australia dan Selandia Baru dalam East Asia Summit, ataupun kerjasama ASEAN dengan 3 negara (ASEAN+3: Jepang, Korsel, dan Cina) harus menjadi satu ajang yang lebih dari sekadar proses perdagangan barang dan jasa. Seharusnya juga negara-negara tersebut di atas membantu ASEAN dalam proses transfer teknologi di semua sektor yang diperdagangkan. Di samping itu, kesiapan institusi ASEAN untuk memberikan insentif bagi warga negaranya juga harus diperjuangkan secara paralel.

Kerjasama ASEAN dan Jepang:
Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan

1. PEMBUKAAN

Jepang, Korea Selatan, dan Cina adalah tiga negara di Asia Pasifik yang hari ini menjadi barometer perkembangan ekonomi dunia. Pasca-restorasi Meiji, Jepang berkembang pesat mengadopsi teknologi yang terlebih dahulu dikembangkan di Eropa. Setelah Perang Dunia Kedua, Korea Selatan juga bangkit mengembangkan teknologinya: mobil hingga barang elektronik dan perangkat telepon seluler menjadi andalan negara ini. Cina negara berpenduduk terbesar di dunia kemudian juga lebih cepat lagi mengadopsi inovasi negara-negara yang telah terlebih dahulu berinovasi. Kurang dari 30 tahun, Cina kini siap industri otomotif tak kalah canggih.

Dari daftar negara-negara anggota ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brunei), hanya Malaysia yang membangun ibukota baru yang hi-tech (Cyberjaya untuk komersial, dan Puterajaya untuk pemerintahan). Singapura juga memposisikan dirinya sebagai hub atau pintu gerbang industri berteknologi tinggi yang menghubungkan titik-titik perkembangan dunia seperti India, Cina, Jepang, dan Australia. Thailand juga maju dengan perkembangan teknologi di sektor agrikultur. Melihat progres perkembangan teknologi dalam negerinya, Indonesia, Filipina dan Brunei mungkin termasuk sejajar dengan negara ASEAN-4 (Myanmar, Laos, Kamboja dan Viet Nam). Walau sesungguhnya perkembangan di Viet Nam beberapa tahun terakhir ini juga cukup mencengangkan.

Faktor “T” dalam proses produksi di Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN ini memang terhitung rendah. Keunggulan komparatif produk-produk dari negara-negara ini masih jauh di bawah produk Cina atau Jepang. Bahkan, Thailand yang mampu mengembangkan inovasi-inovasi pertaniannya mampu menciptakan buah-buahan yang memasok banyak negara.

Perdagangan lintas-negara anggota ASEAN memang tidak besar bahkan cenderung tersendat. Salah satu alasannya adalah bahwa di antara negara anggota ASEAN adalah produsen barang yang sama, atau pengguna bahan yang sama. Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah pengembangan serta transfer pengetahuan/teknologi antar-negara anggota ASEAN tidak terlalu signifikan. Kalaupun ada, terkesan seakan ada keengganan para negara anggota untuk saling berbagi pengetahuan.

Daftar Produk Ekspor/Impor ASEAN dan GPD 2004

Brunei Darussalam
Major Industry: Oil and gas, textiles, food and beverages, building materials
Major Export: Oil and gas, ready-made garments
Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemimals
GDP: US$ 5,4626.6 million

Cambodia
Major Industry: Textiles and Garments, Beverages, Food, Wood Processing
Major Export: Garments, Textile Product Sawn, Wood Furniture, Rubber
Major Import: Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemical
GDP: US$ 4,215 million

Indonesia
Major Industry: Pulp and paper, cement, basic metals and fertilizer, power generation, telecommunication, transportation
Major Export: Textile, electronic goods, footwear, oil & gas, plywood, sawn timber
Major Import: Chemical and pharmaceutical, fertilizer, cotton yarns, textile fabric, machines, motor vehicles
GDP: US$ 208,625 million

Lao PDR
Major Industry: Garment industry, wood-based and processing industries, electricity
Major Export: Coffee, electricity, clothing, wood and forest product and Gypsum
Major Import: Industrial machinery, chemicals, iron, electrical machinery and parts, oil, construction material and consumption goods
GDP: US$ 12,043 thousands

Malaysia
Major Industry: Electronic & electrical goods, textiles, clothing & footwear, chemicals and metal products and rubber
Major Export: Electronic & electric machinery, petroleum & LNG, textiles, clothes, oil, sawn timber
Major Import: Manufacturing inputs, machinery & transport equipment
GDP: US$ 103,737 million

Myanmar
Major Industry:Agro-based industries, textiles industries, steel mills
Major Export: Rice, teak, beans & pulses, rubber, coffee, minerals, gems marine products
Major Import: Power tillers, hand tractor, fertilizer, diesel oil, cement, dumper, loader, spare parts, water pumps, hydraulic excavator
GDP: US$ 9,605 million

Singapore
Major Industry: Electronics, chemicals, banking and finance, real estate, tourism
Major Export: Petroleum products, industrial machines, radio & television receivers, electronic component & parts, clothing, beverages & tobacco
Major Import: Crude petroleum, iron & steel, industrial machines, electric generators, electronic component and parts
GDP: US$106,818 million

Thailand
Major Industry: Electronics, gems/jewelry, footwear, textiles, clothing
Major Export: Textiles, computer & components, integrated circuits and parts, gems and jewelry, footwear
Major Import: Industrial machinery, iron & steel electrical machinery & parts, chassis body
GDP: US$ 143,303 million

The Philippines
Major Industry:
Priority sectors: construction materials, electronics, food, giftware and holiday decor, home furnishings, IT & IT-enabled services, marine products, motor vehicle parts and components, organic and natural products, wearables
Major Export: Electronic products; garments; ignition wiring set and other wiring set in vehicles, aircrafts, and ships; coconut oil; woodcrafts and furniture; products manufactured from materials imported on consignment basis petroleum products; metal components; cathodes and sections of cathodes of refined copper; fresh bananas
Major Import: Electronic products; mineral fuels, lubricants, and related materials; industrial machinery and equipment; transport equipment; iron and steel, cereal and cereal preparations; textile yarn, fabrics, made-up articles, and related products; telecommunications equipment and electrical machines, plastics in primary and nonprimary forms; organic and inorganic chemicals
GDP: US$86,123 million (2004) at current market prices

Viet Nam
Major Industry: Agriculture, forestry, fishery, industrial construction
Major Export: Crude oil, coal, chromium, tin, cements, woolen carpet, jute carpet, rich cinnamon, marine products
Major Import: Motors, petroleum products, diesel oil, fertilizers
GDP: US$ 39,021 million
Data diambil dari www.ASEANSEC.org

2. Tren politik di setiap negara

Tahun 2006 ini, Thailand mengalami fase khusus: kudeta damai pasukan militer Thailand terhadap Perdana Menteri Thaksin Sinawatra. Selain itu, masalah selatan masyarakat Islam di selatan Thailand yang terus menjadi satu masalah lain.
Negara anggota ASEAN lain juga terus mencari format demokrasi yang terbaik bagi negara dan bangsanya. Menjalani perubahan demokrasi terstruktur, Gloria Macapagal-Arroyo, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Abdullah Badawi juga Lee Hsien Loong tetap harus menghadapi masalah terorisme. Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama, yaitu counter-terrorism efforts, tiga negara Indonesia-Malaysia-Singapura menyelenggarakan patroli bersama di Selat Malaka. Hal ini juga untuk memberantas pembajak laut yang meresahkan pengguna jalur laut di sana.[1]

Selain itu, ada beberapa catatan khusus selama setahun terakhir:
- Myanmar: Aung San Suu Kyi dan reformasi politik,
- Brunei Darussalam: Sultan Bolkiah dan “kehadiran” Badan Legislatif yang vakum semenjak 1962,
- Kamboja: pengesahan pemimpin baru, Raja Norodom Sihamoni yang masih muda dan kontroversi dia sebagai mantan penari balet

Kerjasama counter-terrorism ini juga didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, dan India. Tim Huxley (2005) menyatakan bahwa di bawah permukaan kerjasama keamanan ini adalah “keamanan suplai minyak” dari negara-negara di ASEAN. Untuk itu, kerjasama keamanan antara negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain tersebut di atas kemudian meningkat menjadi kerjasama ekonomi di berbagai sektor.

3. Tren ekonomi DAN ASEAN Economic Community

Pasca-krisis 1998, negara-negara ASEAN berbenah diri di bidang politik. Di bidang ekonomi, tidak semua negara anggota cepat mengadopsi perubahan. Indonesia dan Filipina adalah dua di antara yang berjalan lamban dibanding Viet Nam, Malaysia, dan Singapura.

Membaiknya situasi politik dan ekonomi di negara-negara anggota ASEAN menjadi penentu utama dalam proses integrasi ekonomi ASEAN (yang akan diwujukan dalam ASEAN Charter 2020 dan diajukan menjadi 2015). Sesungguhnya tujuan dari ASEAN Economic Community (salah satu pilar ASEAN Charter 2020) adalah “common market minus”, yang disampaikan oleh Laporan ASEAN-ISIS 2003 “Towards an ASEAN Economic Community”.
Jika ASEAN-ISIS mengusung istilah “common market minus”, Kajian ISEAS 2003 tentang “Concept Paper on the ASEAN Economic Community” mengajukan konsep “FTA-plus”[2]:

However, as it stands, ASEAN governments are not even prepared to create a customs union let alone a European-style common market… Given the different degrees of opennes and stages of economic development among ASEAN countries, forming a customs union would be extremely difficult to achieve by the given deadline… [it] would be more realistic to envisage the end-goal of the AEC as an “FTA-plus” arrangement that covers a zero-tariff ASEAN free trade area and some elements of a common market. An “FTA-plus” AEC by 2020 would have the following characteristics:

* Free movement of goods, services, investments, and capital. This would include achieving a zero-tariff free trade area and the elimination of all non-tariff barriers;
* An attractive regional production platform that would be a magnet for FDI;
* Free movement of skilled labour and creative talent;
* Free movement of tourists from all ASEAN countries;
* Harmonization of customs procedures and minimization of customs requirements;
* Harmonization of standards that are consistent with international standards, and;
* A well-developed innstitutional and legal infrastructure to facilitate the economic integration of ASEAN.

Menggarisbawahi “different degrees of opennes and stages of economic development”, saya juga melihat bahwa fondasi hukum dan politik setiap negara yang terlampau beragam. Untuk itu, diperlukan sebuah alternatif kerjasama ASEAN yang lebih feasible. Hubungan ASEAN dan negara-negara lain di Asia-Pasifik seperti Korea Selatan, India, Cina, Jepang, Australia dan Selandia Baru bisa jadi sebuah alternatif yang menguatkan perdagangan internasional ASEAN tanpa harus “membabat” struktur hukum dan politik setiap negara anggota.

Kerjasama ASEAN+3 atau negara-negara ASEAN dan Cina, Jepang, Korea Selatan kemudian menjadi keharusan. Hal ini mengingat bahwa beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut terakhir naik pesat.

Beberapa tahun ini, investasi Jepang dan Korsel di Cina meroket, Cina menjadi trading partner terbesar bagi Jepang, dan Korsel menjadi eksportir besar dunia. Jika tidak sigap, ASEAN akan berada di titik kritis perekonomian dunia, atau setidaknya di kawasan Asia-Pasifik.

Konsep ASEAN+3 berasal dari proposal Mahathir Mohamad “East Asia Economic Group” di saat kunjungan pemimpin Cina Li Peng akhir tahun1990 ke Malaysia. Baru pada tahun 1997, Malaysia sebagai konseptor ini dan tuan rumah informal pertemuan ASEAN+3 mempertemukan pemimpin Jepang, Korsel dan Cina dengan petinggi negara anggota ASEAN.

Pertemuan terakhir di Malaysia tahun 2005 adalah meningkatkan ASEAN+3 kemudian ditingkatkan menjadi pertemuan tingkat tinggi East Asia Summit yang juga mengikutsertakan Australia, Selandia Baru, dan India.

Secara bertahap, negara-negara ini mendalami kerjasama Asia Timur. Di tahun 1998, Presiden Korea Kim Dae Jung mengusulkan pembentukan East Asia Vision Group untuk mengkaji “concrete ways to nurture East Asia into a single community of cooperation, serving as the basis for the countries of the region to start the discussion on the related issues in earnest.”[3]

Perkembangan politis dalam kerangka peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN harus disikapi lebih kritis lagi. Salah satu kasus yang akan saya ambil sebagai contoh awal kritisi kerjasama ini adalah melihat kerjasama ASEAN dan Jepang secara khusus.

4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: Sebuah Kajian Transfer Teknologi

Saya akan memfokuskan pada kerjasama ASEAN-Jepang. Beberapa alasannya adalah:

* Jepang merupakan negara pengadopsi teknologi Eropa paling awal di Asia-Pasifik.
* Jepang merupakan negara pertama yang mempunyai standar transfer teknologi universitas dan dunia industrinya.
* Informasi yang tersedia tentang transaksi perdagangan Jepang-ASEAN terbuka untuk publik, melalui situs www.ASEAN.or.jp.

Kritisi atas kerjasama ASEAN dan Jepang ini tidak harus sebatas statistik inflows dan outflows dari setiap negara anggota ASEAN. Transfer teknologi-satu frasa yang telah diterapkan di negara Eropa dan Amerika semenjak 1995-harus ditemukenali dalam diplomasi kerjasama kedua pihak. Syarat “perkembangan teknologi” mutlak menjadi faktor pembangunan sebuah kawasan ASEAN yang bisa berkembang secara berkelanjutan di tengah kompetisi global yang kian tajam. Be hi-tech, or be left behind.

Namun, melihat sifat umum orang Jepang yang “pelit berbagi ilmu dan teknologi”, saya pesimis kerjasama ASEAN-Jepang ini akan berbuah menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bagi negara anggota ASEAN. Jepang hanya melihat ASEAN sebagai sumber dari migas, pasar ekspor, relokasi industri manufaktur.

Sumber daya alam dan manusia yang melimpah akan habis dikuras oleh industrialis seperti Jepang, namun pertumbuhan ekonomi yang diraih negara-negara ASEAN mungkin tidak akan meningkat secara signifikan.
Sebagian besar negara anggota ASEAN seakan melupakan faktor “T” atau teknologi dalam segenap proses produksi di dalam negerinya. Oleh karenanya, produk-produk dari negara ASEAN belum bisa berkompetisi dengan produk berkualitas yang dihasilkan Jepang, misalnya produk elektronik dan tekstil.

Produk tekstil Jepang, misalnya, bahkan dikaji secara khusus oleh negara adidaya Amerika Serikat. Tahun 1996 Pemerintah Amerika Serikat menegaskan:
[report of] Trends in Japanese Textile Technology shows that the emergence of a worldclass textile technology in Japan resulted from close cooperation among all segments of the industry, including producers of fibers and yarns, fabrics, apparel, and processing equipment. All the producers are driven by a relentless attention to product quality. Japan is working hard to maintain its technical leadership by increasing the pace of process innovation and expanding longer-range fundamental research in both materials and manufacturing.[4]

Proses produksi dengan menekankan pada efisiensi dan efektivitas ditunjang dari berbagai penjuru:

Practically every facet of the industry is covered from technological advances in fiber and yarn manufacturing, fabric making, apparel design and production, and the development of related equipment to the economics of offshore production and the role of government.[5]

Penekanan pada inovasi teknologi ini juga ditegaskan oleh ilmuwan Jepang yang meneliti tentang produksi dan pasar ASEAN. Ushiyama (2005) meneliti keunggulan kompetitif dari produk tekstil dan aparel Cina dan Jepang dibanding dengan produk tekstil/aparel ASEAN.

The quotas [of Multilateral Fiber Agreement], however, are to be eliminated entirely by January 1, 2005 according to the rules established by World Trade Organization (WTO). With this, trade in textiles and apparels will be completely liberalized, and China and India is likely to further increase their presence in the US and European markets, which combinedly account for some 40 percent of world textile product imports, as the two countries have higher overall competitiveness including manufacturing cost, scale and product quality than other exporters. There is even a forecast for an increase in US import market share of China to 50 percent, compared with 16 percent in 2002.[6]

Tekstil dan produk-produk unggulan lain dari Cina dan Jepang memang telah masuk ke Indonesia dan negara-negara ASEAN tanpa kecuali.

Sedangkan ekspor Jepang ke ASEAN adalah ekspor produk-produk hi-tech (lihat lampiran), seperti:

1. Machinery other than electric - power generating machinery - computer and units - parts of computer - metalworking machinery - pumps and centrifuges - construction and mining machinery - mechanical handling equipment - heating and cooling equipment - textile machines;

2. Electrical machinery, apparatus and appliances - thermionic, valves, tubes, semiconductor devices, IC, etc. - visual apparatus (VCR, TV broadcast receivers) - audio apparatus - parts of audio and visual apparatus - electric power machinery - telecommunication apparatus - electrical measuring and controlling instruments - batteries and accumulators;

3. Transport equipment - road motor vehicles excl. cycles, - passenger motor cars, - buses, trucks and special purpose lorries, - parts of road motor, vehicles.

4. Others - scientific, medical, optical instruments - photographic and cinematographic supplies - blank/recorded media

Selain keempat kategori besar di atas, ada empat kategori lain yaitu food stuff, raw materials, mineral fuels, chemicals manufactured goods classified. Hanya saja, produk-produk hi-tech dari Jepang ke ASEAN ini menempati porsi besar: 72,4%!

Produk-produk yang diekspor oleh ASEAN ke Jepang atau negara lain akan kalah bersaing mengingat kualitas yang kian tertinggal, seperti yang ditegaskan oleh Ushiyama. Selain hambatan perdagangan yang diciptakan WTO (MFA atau Multilateral Fiber Agreement) yang memberi kuota terhadap tekstil dari negara-negara berkembang ke Eropa dan Amerika, pasar yang kian sempit ini akhirnya harus memberi jalan ke tekstil Cina yang lebih murah atau tekstil Jepang yang lebih berkualitas. Satu contoh yang mengalami kerugian dari keadaan ini adalah Kamboja. Ekspor aparel (baju dan celana) dari Kamboja adalah sebesar 80% dari total nilai ekspornya[7].

Hantaman terhadap Kamboja ini, sebagai contoh, bisa dipertimbangkan untuk pencarian/pencapaian solusi negara anggota ASEAN secara keseluruhan dalam pertemuan East Asia Summit yang akan datang.

Saya merekomendasikan juga, bahwa sesungguhnya ada solusi lebih konkret yang harus menjadi pertimbangan institusional ASEAN secara internal. Negara-negara ASEAN yang belum mempertimbangkan faktor “T” secara serius dalam proses produksinya wajib menekankan hal ini ke dalam negeri masing-masing (inside-outside process).

Kemudian saya juga mengusulkan negosiasi dengan negara-negara non-anggota ASEAN yang terkait dalam East Asian Summit nanti untuk dapat membantu proses transfer teknologi ke ASEAN.

5. REKOMENDASI: Transfer teknologi dalam Proses Produksi untuk Masa Depan ASEAN (sebuah proses inside-outside dan outside-inside)

Ada dua hal yang bisa dikaji. Proses inside-outside serta outside-inside. Penguatan institusi ASEAN dengan perangkat transfer teknologi antar-negara anggota adalah proses inside-outside. Sedangkan, kerjasama East Asia Summit harus menjadi satu ajang untuk mempertimbangkan proses outside-inside (dari negara maju untuk ASEAN) agar kerjasama antar-pihak ini adalah kerjasama mutualisma dan berkelanjutan.

a. Inside-outside process of tech transfer
Telah lama negara-negara Eropa dan Amerika Serikat merintis proses transfer teknologinya secara internal. Transfer teknologi yang dimaksud adalah proses riset teknologi segala sektor di universitas, yang bisa dipakai langsung untuk pengembangan dunia industri mereka. Khususnya Amerika Serikat, universitas sebagai pusat riset teknologi adalah keharusan setiap negara bagian.
Semenjak tahun 1995, mekanisme donor/fund dan insentif untuk universitas telah menjadi aturan hukum federal di sana. Board of Regents Policy dari Universitas Minnesota telah menetapkan paket insentif terhadap peneliti di sana.

Paket insentif ini diambil dari pemasukan dari intelellectual property yang dibayarkan oleh industri yang menggunakan penemuan atau inovasi milik universitas tersebut. Perhitungannya adalah[8]:
- 33,3% untuk kreator
- 33,3% untuk Office of the Vice President of Research untuk mendukung riset yang lain
- 8% untuk administrasi sekolah tempat riset dilakukan, dan
- 25,3% untuk administrasi fakultas atau pusat kajian tempat riset dilakukan.

b. Outside-inside process of tech transfer
Jepang dengan ketergantungan pasokan minyak, gas, dan kandungan mineral lain yang cukup tinggi terhadap negara ASEAN harus bisa memahami kerjasama mutualisma ini. Sebaliknya, ASEAN juga harus bisa memposisikan diri sama tinggi dengan Jepang, atau negara lain yang tergabung dalam East Asia Summit ini. Untuk itu, diplomasi ASEAN adalah menjamin adanya transfer teknologi. Kekuatan hukum “transfer teknologi” menjadi penting, karena Pemerintah Cina dipermasalahkan oleh industri elektronik di Eropa karena copycat standar digital DVB (digital video broadcasting) tanpa membayar royalti atas paten[9] DVB.

6. PENUTUP: Insentif terhadap Transfer Teknologi

Di saat perusahaan melakukan “merging, acquiring, leaving, dying, entering, growing, downsizing, outsourcing, and spinning off”, transfer teknologi menjadi satu obat mujarab.

ASEAN memang belajar dari kesalahan kerjasama perdagangan yang ada di dunia. Di lain pihak, proses pembelajaran atas produksi yang lebih efisien dan efektif di tengah persaingan global ini, menjadi keharusan pembenahan institusi. Payung hukum dan paket insentif yang jelas untuk pengembangan teknologi dan transfer teknologi di internal ASEAN harus segera dituntaskan.

Ada satu contoh konkret insentif atas riset yang berguna langsung terhadap industri: seorang peneliti warga negara Indonesia mengajar dan melakukan riset di Universitas Chiba, tempatnya menyelesaikan program S2 hingga S3.

Sayangnya, temuan Josaphat Tetuko Sri Sumantyo PhD, sang peneliti ini, yang berupa antena satelit ringan dan tembus pandang, telah dipatenkan atas nama almamaternya:

Antena ini bisa dipasang pada setiap laptop sehingga langsung bisa berkomunikasi dengan satelit atau diselipkan di balik atap mobil sehingga ke manapun mobil itu pergi, ia akan bisa berkomunikasi. Tiada lagi blank spot. “Sebuah produsen mobil di Jepang sudah membayar hak paten untuk memproduksi antena itu sebagai perangkat komunikasi standar di setiap mobil buatannya.” (Kompas, 2 Januari 2007, halaman 16)

Artinya kemudian, penemuan Josaphat tidak menjadi milik negeri kelahiran peneliti ini, yaitu Indonesia. Sistem insentif yang tidak jelas, atau penghargaan/perlindungan terhadap intellectual property yang dihasilkan oleh peneliti seperti Josaphat ini yang juga belum jelas di negeri kelahirannya menjadi satu kendala pengembangan teknologi di Indonesia.

Untuk langkah-langkah pembelajaran selanjutnya di Indonesia atau negara-negara anggota ASEAN sebagai developing countries, harus dikembangkan faktor “T” dalam proses produksi segala lini, horizontal ataupun vertikal. Teknologi dan pengembangannya-untuk langsung digunakan dan dikembangkan oleh industri dalam negeri-harus segera menjadi paket kebijakan khusus, baik dalam institusi ASEAN itu sendiri, ataupun dalam pertimbangan kontrak kerjasama ASEAN+3 hingga kerjasama East Asian Summit di masa mendatang.

7. Bibliografi

a. Buku

  • Aaron Chaze. India: An investor’s Guide to The Next Economic Superpower. John Wiley & Sons. Singapore, 2006.
  • Denis Hew (ed.). Roadmap to an ASEAN Economic Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
  • John E. Berkowitch. Trends in Japanese Textile Technology. Laporan untuk U.S. Department of Commerce, Office of Technology Policy, Asia-Pacific Technology Program. Washington DC, 1996.
  • K. Kesavapany, Chin Kin Wah, Daljit Singh, dan Dayaneetha De Silva (ed.). Southeast Asian Affairs 2005. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
  • Rudolfo C. Severino. Southeast Asia in Search of An ASEAN Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.
  • Ryuichi Ushiyama. Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations. Japan Center for Economic Research. Kyoto, 2005.
  • Samuel Bassey Okposin, Abdul Halim Abdul Hamid, dan Ong Hway Boon. The Changing Phases of Malaysian Economy. Pelanduk Publications Sd Bhd. Selangor Darul Ehsan, 2005.
  • Saw Swee-Hock dan K. Kesavapany. Singapore-Malaysia Relations. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.

b. Situs dan media cetak

  • Kliping harian Kompas, 2 Januari 2007
  • The Economist, The World in 2007
  • www.abu.org.my
  • www.asean.or.jp
  • www.umn.edu
  • www.wikipedia.org

Footnote

[1] Tim Huxley, Southeast Asia in 2004, Stable but Facinf Major Security Challenges, ISEAS, Singapore, 2005:3.
[2] Denis Hew, Southeast Asian Economies: Towards Recovery and Deeper Integration, Southeast Asian Affairs 2005, ISEAS, Singapore, 2005:57.
[3] Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in Search of An ASEAN Community, ISEAS, Singapore, 2006:267.
[4] John E. Berkowitch, Trends in Japanese Textile Technology, U.S. Department of Commerce, Office of Technology Polic, Asia-Pacific Technology Program, 1996:5.
[5] Ibid, halaman 7.
[6] Ryuichi Ushiyama, Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations
Japan Center for Economic Research, 2005:1.
[7] Ibid,, halaman 7.
[8] www.umn.edu
[9] www.abu.org.my, posting tertanggal 12 Desember 2006

Data per January 4, 2007

ASEAN Broadcasting Landscape

Brunei

Negara Brunei Darussalam

Head of State: His Majesty Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah
Capital: Bandar Seri Begawan
Type of Government: Monarchy
Land area: 5,765 sq.km
Population: 357,800 (2004)
Language: Malay, English
Religion: Islam
Currency: B$ (Bruneian Dollar).
(on par with the Singapore dollar)
US$ exchange rate On 1 December 2005: US$ 1 = B$ 1.69
GDP: US$ 5,4626.6 million (2004) at current market prices
Major Industries: Oil and gas, textiles, food and beverages, building materials
Major Exports: Oil and gas, ready-made garments
Major Imports: Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemimals

Brunei is divided into four districts, called Daerah:
- Belait
- Brunei and Muara
- Temburong
- Tutong

A sub-division of a district, province, is called Mukim.

Brunei consists of two unconnected parts; 97% of the population lives in the larger western part, only about 10,000 live in the mountainous eastern part, the district of Temburong. Major towns are the capital Bandar Seri Begawan (about 46,000 inhabitants), the port town Muara and the oil producing districts of Seria and Kuala Belait.

TELEVISION in Brunei

TV adspend: no data

Total TV households: 216,223 (2000)

Total Radios: 362,712 (2000)

Free-TV penetration: no data

Satellite TV: no data

TV channels: 2

Terrestrial stations: National (or network) license: Radio Television Brunei (RTB) 1 and 2

Local license: no data

Total cable channels: no data

Cable operators: National (or network) license: no data

Local license: no data

DTH operators: no data

Satellite operators: none

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Communications
2. The Telecommunications Regulating Authority

Laws, Regulations: Law of Brunei Chapter 180 Broadcasting (Revised Edition 31 October 2000)

Special remarks: none specific

CAMBODIA

Preăh Réachéanachâkr Kâmpŭchea

Head of State: His Majesty King Norodom Sihamoni
Head of Government: Prime Minister Hun Sen
Capital: Phnom Penh
Type of Government: Parliamentary democracy with constitutional monarchy
Land area: 181,035 sq.km
Population: 14,131 thousands (2004)
Language: Khmer
Religion: Buddhism
Currency: Riel
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 4,290 riel
GDP: US$ 4,215 million (2003) at current market prices
Major Industries: Textiles and Garments, Beverages, Food, Wood Processing
Major Exports: Garments, Textile Product Sawn, Wood Furniture, Rubber
Major Imports: Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemical

Cambodia is divided into 20 provinces (khett, singular and plural) and 4 municipalities (krong, singular and plural). It is also divided by District (srok), Communion (khum), Great districts (khett), and also Islands (koh).
1. Municipalities (Krong): Phnom Penh, Sihanoukville (Kampong Som), Pailin, Kep
2. Province (Khett): Banteay Meanchey, Battambang, Kampong Cham, Kampong Chhnang, Kampong Speu, Kampong Thom, Kampot, Kandal, Koh Kong, Kratié, Mondulkiri, Oddar Meancheay, Pursat, Preah Vihear, Prey Veng, Ratanakiri, Siem Reap, Stung Treng, Svay Rieng and Takéo
3. Islands (Koh): Koh Sess, Koh Polaway, Koh Rong, Koh Thass, Koh Treas, Koh Traolach, Koh Tral, Koh Tang

Cambodia has an area of about 181,040 km2, sharing an 800 kilometer border with Thailand on the north and west, a 541 kilometer border with Laos on the northeast, and a 1,228 kilometer border with Vietnam on the east and southeast. It has 443 kilometers of coastline along the Gulf of Thailand.

TELEVISION in Cambodia

TV adspend: no data

Total TV households: no data

Free-TV penetration: 57%

Satellite TV:
1. Bayon TV,
2. CTN National,
3. CTN International,
4. TV 5 Cambodia,
5. KTV

TV channels: 7

Terrestrial stations: National (or network) license:
1. Bayon TV,
2. Cambodia TV (CTV 9),
3. Cambodian TV Project Channel 21 (CTN),
4. KTV,
5. Aspara TV,
6. TV 3,
7. TV 5 Cambodia

Local license: no data

Total cable channels: no data

Cable operators: National (or network) license: none

Local license: Cambodia Cable TV, Phnom Penh Municipal Cable TV

DTH operators: none

Satellite operators: none

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Posts and Telecommunication
2. Ministry of Information
3. Ministry of Interior

Laws, Regulations: Law on Copyright and Related Rights (Section 4: Rights of the Broadcasting Organizations)

Special remarks: none

INDONESIA

Republik Indonesia

Head of State: President Susilo Bambang Yudhoyono
Capital: Jakarta
Type of Government: Presidential; based on amended 1945 Constitution
Land area: 1,890,000 sq.km.
Population: 215,960 thousands (2004).
Language: Bahasa Indonesia
Religion: Islam, Christianity, Buddhism, Hinduism
Currency: Rupiah
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = Rp 10,040
GDP: US$ 208,625 million (2003) at current market prices
Major Industries: Pulp and paper, cement, basic metals and fertilizer, power generation, telecommunication, transportation
Major Exports: Textile, electronic goods, footwear, oil & gas, plywood, sawn timber
Major Imports: Chemical and pharmaceutical, fertilizer, cotton yarns, textile fabric, machines, motor vehicles

Indonesia borders Malaysia on the island of Kalimantan, Papua New Guinea on the island of Papua, and East Timor on the island of Timor. Singapore borders with Indonesia’s Batam Island.

In addition to the capital city of Jakarta, principal cities of high population include Surabaya, Bandung, Medan, Palembang, and Semarang.

Currently, Indonesia has 33 provinces (of those, 2 are special territories and 1 special capital region). The provinces are subdivided into regencies and cities, which are in turn split up in subdistricts.

The provinces are: Bali, Bangka-Belitung, Banten, Bengkulu, Central Java, Central Kalimantan, Central Sulawesi, East Java, East Kalimantan, East Nusa Tenggara, South Sumatra, Gorontalo, Jambi, Lampung, Maluku, North Maluku, North Sulawesi, North Sumatra, Papua, Riau, Riau Kepulauan, South East Sulawesi, South Kalimantan, South Sulawesi, West Irian Jaya, West Java, West Kalimantan, West Nusa Tenggara, West Sulawesi, West Sumatra.

TELEVISION in Indonesia

TV adspend: US$ 774 million

Total TV households: 56 million

Free-TV penetration: 84%

Cable households: 600,000

Free-TV channels: over 100 nationwide

Terrestrial stations: Free-to-air national (or network) license:
1. RCTI, (together with TPI and TVG) is owned by Bimantara Tbk, a public company owned by Bhakti Investama Tbk. Bimantara, through its SPV, MNC (Media Nusantara Citra), is progressively acquiring radio stations (with target 100 stations by 2007)
2. SCTV, is owned by Sariaatmadja family, in close relations with John Singleton of Australia.
3. TPI. See RCTI.
4. Indosiar, is owned by Salim Group, whose sister company is Elshinta Radio, a 24-hour news radio network all across Indonesia.
5. ANTV, recently its 20% share is purchased by Star TV Hongkong, is owned by Bakrie Group and managed by Anindya Bakrie, son of today’s Coordinating Minister of State Welfare.
6. Metro TV, owned by Surya Paloh, closely related to the late head of state, Soeharto, is the only one of 24-hour news station. Paloh also owns Media Indonesia, the national newspaper.
7. Trans TV, - Trans TV is owned by Chaerul Tanjung, who also owns Bank Mega. Today, Trans TV leads Jakarta with in house production.
8. TV7, - TV7 is closely related with Kompas-Gramedia Group, Indonesia’s top-ranked print media corporation.
9. Lativi, is owned by Abdul Latief, the former Minister of Human Resources (during Soeharto’s era), who also owns the department store Pasaraya.
10. TVG. See RCTI.
11. TVRI 1 National, a state-owned station, in prepation for being a public television station.
12. TVRI 2 Local, a state-owned station, in prepation for being a public television station.

Local license

Java
1. MQTV, is owned by moslem leader Abdullah Gymnastiar.
2. Bandung TV, is owned by local West Java businessmen.
3. JTV, is closely related with Jawa Pos newspaper, a leading newspaper mogul in East Java.
4. Daai TV, is closely related with religious Buddhist foundation, Tzu Chi. Also operated in Medan.
5. Space Toon, positions itself as children station, that is owned by Sukoyo, a former shrimp trader closely related to Kompas-Gramedia Group.
6. O Channel, is closely related to the radio network Hard Rock FM and MTV Sky who also owns franchised magazines (MRA Group).
7. Jak TV, is partly owned by Erick Tohir, owner of Republika the national newspaper (Mahaka-Masima Group).
8. Elshinta TV, Jakarta. See Indosiar.
9. Bogor TV, Bogor.
10. Cahaya Banten TV, Banten.
11. Ganesha TV, Bandung.
12. STV, Bandung.
13. BMS TV, Purwokerto.
14. Tegal TV, Tegal.
15. Karesidenan TV, Magelang.
16. TA-TV, Semarang.
17. Reksa Birama TV (RBTV), Yogya.
18. TV Borobudur, Semarang.
19. TV-E (Surabaya, Semarang, etc.)
20. TV Anak, Surabaya.

Bali
21. Bali TV, is owned by Bali Post, a local Bali newspaper.

Sumatera
22. Palembang TV, is owned by Sumatera Express, local Sumatra leading newspaper.
23. Riau TV, is closely related with Jawa Pos newspaper, a leading newspaper mogul in East Java.
24. Deli TV, is owned by local businessman.
25. Batam TV, is closely related with Jawa Pos newspaper, a leading newspaper mogul in East Java.
26. Sri Gemilang TV, Riau.
27. SAM TV, Riau.
28. Urban TV, Batam.
28. Semenanjung TV, Batam.

Sulawesi
29. Makassar TV, Makassar.
30. Bunaken TV, Manado.
31. Manado TV, Manado.

Kalimantan
32. Tarakan TV, Tarakan.
33. PK TV, Bontang.

Maluku
34. Ambon TV
35. Maluku TV

Total terrestrial-local channels: 89 (still growing)

Total cable channels: 58 (with 7 local channels and growing)

Cable operators: National (or network) license
1. Kabelvision, is owned by Lippo Group.
2. Telkomvision is a company under PT Telkom Indonesia, state-owned telecommunication company.
3. Indosat M2, is owned by PT Indosat Tbk, a listed telecommunication company who also owns and operates satellite Palapa-C2
4. Metra, is a company under PT Telkom Indonesia Tbk, state-owned telecommunication company, with PT Indosat Tbk, a satellite and telecommunication company.
5. Sky-Net, is a company broadcasting most channels from countries at northern part of Asia.

Local license
1. Astabel Samarinda (of total 47 small operators)
2. Astabel Balikpapan (of total 36 small operators)
3. Makassar operators (of total 300 small operators South Sulawesi)

DTH operators:
1. Indovision, is owned by PT Bimantara Tbk, who is using satellite Cakrawarta-1 (will be dysfunction in 2007)
2. Telkomvision, is a company under PT Telkom Indonesia, state-owned telecommunication company, who is using satellite Telkom-1 and Telkom-2.
3. Astro Nusantara, is half-owned by Kabelvision and half-owned by Astro Malaysia, whose license is still in dispute up till Q1 of 2006.

Satellite Bird operators:
1. Indosat/Satelindo (Palapa C 2)
2. Media Citra Indostar (Cakrawarta 1)
3. Telkom Indonesia (Telkom 1, Telkom 2)
4. Pasifik Satelit Nusantara (Garuda 1)

Regulatory Agencies:
1. Komisi Penyiaran Indonesia (Indonesian Broadcasting Commission) Principal Office and 33 Provincial Offices: to regulate broadcasting independently, content to the structure of nationwide broadcasting system.
2. Department of Communications and Informatics: to regulate technical issues regarding frequencies allocation.
3. Film Censorship Board: to execute censorship before airng the drama programmes, including advertising materials. It remains under the supervision of Department of Communications and Informatics.
4. Commission for Supervision of Business Competition: to regulate firms in any sector, also regarding broadcasting and cable competition.

Laws, Regulations:
1. Constitution 1945, Article (28) Letter (f)
2. Broadcasting Law 2002
3. Telecommunication Law 1999
4. Prevention of monopoly Law 2000
5. Provincial Government Law 2004

LAO PDR

Sathalanalat Pasathipatai Pasason Lao

Head of State: President Khamtai Siphandon
Head of Government: Prime Minister Bounnhang Vorachith
Capital: Vientiane
Type of Government: Socialist republic
Next election: Early 2007 (for the National Assembly)
Early 2006 (for the LPRP Congress)
Land area: 236,800 sq.km
Population: 5,758 million (2004)
Language: Lao
Religion: Buddhism
Currency: Kip
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 10,880 kip
GDP: US$ 12,043 thousands (2003) at current market prices
Major Industries: Garment industry, wood-based and processing industries, electricity
Major Exports: Coffee, electricity, clothing, wood and forest product and Gypsum
Major Imports: Industrial machinery, chemicals, iron, electrical machinery and parts, oil, construction material and consumption goods

Laos is a landlocked country in Southeast Asia and the thickly forested landscape consists mostly of rugged mountains, the highest of which is Phou Bia at 9,242 feet (2,817 m), with some plains and plateaus. The Mekong River forms a large part of the western boundary with Thailand, whereas the mountains of the Annamite Chain form most of the eastern border with Vietnam.

Laos is divided into 16 provinces (khoueng), 1 municipality* (kampheng nakhon), and 1 special zone** (khetphiset):
1. Attapu
2. Bokeo
3. Borikhamxay
4. Champassack
5. Houaphan
6. Khammouane
7. Louang Namtha
8. Louangphabang
9. Oudomxay
10. Phongsaly
11. Saravane
12. Savannakhet
13. Vientiane *
14. Vientiane Province
15. Sayaboury
16. Saysomboun **
17. Xekong
18. Xieng Khouang

China has recently allowed its citizens to travel more freely to Laos. As such, Chinese tourists are expected to account for 25% of the total number of visitors to Laos (up from only a few percent) in 2006. Pressures to modernize tourist infrastructure, particularly to cater to package tourism, are expected to significantly impact Luang Prabang and other culturally important Laotian cities.

TELEVISION in Lao

TV adspend: no data

Total TV households: 52,000 (1997)

Free-TV penetration: no data

Satellite TV: none

Terrestrial stations: National (or network) license:
1. Lao National Television (LNTV),
2. Lao Television Channel 2
3. Lao Television Channel 3
4. Lao Television Channel 4

Local license: none

Total cable channels: none

Cable operators: National (or network) license: none

Local license: none

DTH operators: none

Satellite operators: none

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Communications, Transport, Post, and Construction
2. Ministry of Information dan Culture
3. Ministry of Interior

Laws, Regulations: none specific

Special remarks: The Government controls all radio, television, and newspaper thus reacts harshly to expressions of political dissent. Content is therefore severly restricted. Satellite dishes are legal on payment of a fee to the Government.

MALAYSIA

رسكوتوان مليس-Persekutuan Malaysia

Head of State: DYMM Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Agung Tuanku Syah Almarhum Tuanku Syed Putra Jamalullail
Head of Government: Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi
Capital: Kuala Lumpur
Type of Government: Federated parliamentary democracy with constitutional monarch
Next election: March 2009
Land area: 330,257 sq.km
Population: 23,671 thousand (2004).
Language: Melayu, English, Chinese, Tamil
Religion: Islam, Buddhism, Taoism, Hinduism, Christianity
Currency: Malaysian Ringgit
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = RM 3.78
GDP: US$ 103,737 million (2003) at current market prices
Major Industries: Electronic & electrical goods, textiles, clothing & footwear, chemicals and metal products and rubber
Major Exports: Electronic & electric machinery, petroleum & LNG, textiles, clothes, oil, sawn timber
Major Imports: Manufacturing inputs, machinery & transport equipment

Malaysia is divided into two types of political divisions: states (negeri) and Federal Territories (Wilayah Persekutuan) that collectively have the status of a state.

Eleven states are situated on Peninsular Malaysia, two on Borneo Island.
Nine peninsular states are monarchies (hereditary sultanates unless otherwise mentioned): Johor, Kedah, Kelantan, Negeri Sembilan (which has an elected hereditary Yang di-Pertuan Besar), Pahang, Perak (like Malaysia itself, a system of revolving monarchy with three royal families), Perlis (the only Raja), Selangor, and Terengganu. Malacca and Penang, both on the peninsula and formerly part of the Straits Settlements under direct British control, as well as Sabah and Sarawak, both on Borneo, each have a federally appointed titular Governor or Yang di-Pertua Negeri.

Two federal territories Kuala Lumpur (the legislative capital; often called “KL”) and Putrajaya (the new administrative capital) are located on the Malay Peninsula, while the third, Labuan, is an island off the coast of Sabah.

TELEVISION in Malaysia

TV adspend: no data

Total TV Households: 4,093,000

Free-TV penetration: 97%

Free Satellite TV: TV3, 8TV

Satellite households: 1,400,000

Terrestrial stations: National (or network) license:
1. Radio Televisyen Malaysia 1 (RTM-1),
2. Radio Televisyen Malaysia 2 (RTM-2),
3. TV3 - Sistem Televisyen Malaysia Bhd, Sistem Televisyen Malaysia Berhad (STMB) or TV3 was incorporated in 1983 as Malaysia’s first commercial television station. It is part of Media Prima group of companies.
Also called ‘TV Tiga’ (its name in Malay), it began broadcasting in the Klang Valley, (the area surrounding Kuala Lumpur, Malaysia’s largest city) on June 1, 1984. It soon increased coverage nationwide, and today can be received in neighbouring countries, either as a terrestrial channel or via satellite. In Singapore, the channel ran into controversy because it broadcast programmes in Cantonese. The Singapore government prevented local newspapers and magazines from carrying listings for the channel, even though these were available for the other Malaysian channels, and TV3 is not available on StarHub, Singapore’s only cable TV operator.
4. Natseven TV (NTV7), After being in operation since 1998, ntv7 is proud of its achievement in building a strong following amongst Malaysian television audiences. So much so that the public’s perception is that the Station has been around for much longer than this.Broadcast signals go through a network of 10 transmitters dotted around the country. Daily transmission begins at 9.00 am until past midnight. In October 2005, Media Prima Berhad announced its acquisition of ntv7. Media Prima also owns 3 other private TV stations in Malaysia - TV3, 8TV & Channel 9 as well as a controlling stake in The New Straits Times Press (Malaysia) Bhd.
5. Metropolitan TV (8TV),
6. CH-9 media (Channel 9), Channel 9 was a Malaysian private-owned television station which started operations in 2003 and started taking a break since February 1, 2005. Test transmission started on April 1, 2006, airing music videos mostly in Malay.
On April 22, 2006, Channel 9 will be relaunch as TV9 after being sold to Media Prima, Malaysia’s largest media
company with the new slogan, ‘Dekat Di Hati’. TV9 will air programmes mainly in Malay.

Local license: (network-subsidiary license)

Television broadcast stations: 27 (plus 15 high-power repeaters) (1999)

Total cable channels: 58

Cable operators: National (or network) license: none specific

Local license: none specific

DTH operators: Astro Malaysia

Pay TV operators:
1. Astro Malaysia, Astro is a subscription-based multi-channel satellite TV service in Malaysia and also Brunei, the service is also available in some parts of Indonesia. It was launched in 1995, after the Malaysian government eased its ban on private ownership of satellite dishes.
The service uses a ku-Band satellite, which requires a smaller size dish to receive the signal - larger satellite dishes are still banned. The signal itself is in DVB-S form and is encrypted.
Channels carried on the Astro platform are still subject to editorial control or censorship, although Western news channels like BBC World have been able to secure carriage on it, in spite of previous disagreements with the Malaysian government. Astro’s own News Channel carries programming from the Arabic language news channel Al Jazeera, dubbed in Malay, as well as from Australia’s ABC Asia Pacific, which has not yet been able to secure carriage on Astro.
2. Fine TV
3. MiTV, MiTV Corporation Sdn Bhd is Malaysia’s second paid television operator. It was launched in September 2005 after having obtained all the necessary approvals from the censorship board on its broadcast contents. The company is offering over 40 channels from content providers worldwide.
MiTV Corporation broadcasts up-to-date 24-hour channels from around the world, including channels such as MGM (English Movies), MATV (Hong Kong Movies), Arirang (Korean) and ZOOM (Bollywood). The subscription fee is RM30 a month.
One of MiTV’s distinguishing traits from Astro (satellite TV), the only other paid television operator in Malaysia, is that it uses a standard UHF television antenna instead of a satellite dish to receive broadcasts. As a result, some of Astro’s major caveats, such as disruption of service under bad weather conditions, do not apply to MiTV users.
MiTV is largely owned by Tan Sri Vincent Tan, boss of Berjaya Group.

Satellite operators: Media Prima (Measat 1, Measat 2, Measat 3)

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Water, Energy, and Communications
2. Malaysian Communication and Multimedia Commission (MCMC)

Laws, Regulations: Communications and Multimedia Act 1998

Special remarks: The Act consists of 282 sections regulating from ministerial powers and procedures, licences, MCMC powers and procedures, economic and technical regulations to consumer and social protections.

MYANMAR

Pyi-daung-zu Myan-ma Naing-ngan-daw
Union of Myanmar

Head of State: Senior General Than Shwe
Head of Government: Prime Minister Lt. Gen. Soe Win
Capital: Yangon
Type of Government: Military
Next election: Currently suspended
Land area: 676,577 sq.km
Population: 54,745 thousands (2004)
Language: Myanmar
Religion: Buddhism, Christianity, Islam
Currency: Myanmar Kyat
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 1,180 kyat (parallel market rate)
US$ 1 = 6.72 kyat (official rate)
GDP: US$ 9,605 million (2003) at current market prices
Major Industries: Agro-based industries, textiles industries, steel mills
Major Exports: Rice, teak, beans & pulses, rubber, coffee, minerals, gems marine products
Major Imports: Power tillers, hand tractor, fertilizer, diesel oil, cement, dumper, loader, spare parts, water pumps, hydraulic excavator

Myanmar is located between Bangladesh and Thailand, with China to the north and India to the north-west, with coastline on the Bay of Bengal and Andaman Sea. The country has a total area of 678,500 square kilometres (261,970 mi²), of which almost half is forest or woodland.

In the north, the Hengduan Shan mountains form the border with China. The fertile plains of the Ayeyarwady and Thanlwin Rivers are in the central lowlands of Myanmar. Most of the country’s population lives in this central lowland. The Shan Plateau lies east of Mandalay. In the south, the Ayeyarwady River fans out into a wide and fertile delta. Many crops are grown in this region, which borders the Andaman Sea. The Gulf of Martaban also indents the southern coast of Myanmar. It drains into the Andaman Sea.

Myanmar is divided into states and divisions. Divisions are predominantly Bamar. States, in essence, are divisions in which particular ethnic minorities exist. There are 7 divisions and 7 states in the country. The administrative divisions are further subdivided into townships, wards, and villages.

Major cities such as Yangon and Mandalay have larger metropolitan areas.
Therefore, townships in the suburbs of such cities are designated as myo-thit (New Town). Upon reaching the government’s installed development markers, the New Towns become townships. Within the states, there are ethnic-based movements for self-autonomy and independence.

Divisions
- Ayeyarwady Division (Irrawaddy Division)
- Bago Division (Pegu Division)
- Magway Division
- Mandalay Division
- Sagaing Division
- Tanintharyi Division (Tenasserim Division)
- Yangon Division (Rangoon Division)

States
- Chin State
- Kachin State
- Kayin State (Karen State)
- Kayah State (Karenni State)
- Mon State
- Rakhine State (Arakan State)
- Shan State

TELEVISION in Myanmar

TV adspend: no data

Total TV households: 260,000 (1997)

Free-TV penetration: 82% (only out of 324 towns, total 266 tows are receiving telecast)

Total cable channels: none

Satellite TV: MRTV3 International

Terrestrial stations: National (or network) license:
1. TV Myanmar channel 6, state-run, operated by Myanmar TV and Radio Department - broadcasts in Burmese, Arakanese, Shan, Karen, Kachin, Kayah, Chin, Mon and English
2. MRTV-3, state-run international TV service
3. MRTV-4, pay TV service(only available in Yangon)
4. TV Myawady, army-run network

Local license: no data

Cable operators: National (or network) license: no data

Local license: no data

DTH operators: none

Satellite operators: none

Regulatory Agencies: MRTD (Myanmar Radio Television Department)
Myanmar Television & Radio Department

Laws, Regulations: none specific
Special remarks: none specific

SINGAPORE

Republic of Singapore - Republik Singapura - சிங்கப்பூர் குடியரசு

Head of State: President S R Nathan
Head of Government: Prime Minister Lee Hsien Loong
Capital: Singapore
Type of Government: Parliamentary democracy
Next election: 2007
Land area: 697.1 sq.km
Population: 4.198 million (2004)
Language: English, Malay, Mandarin, Tamil
Religion: Buddhism, Christianity, Islam, Taoism and Hinduism
Currency: Singapore Dollar (S$)
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = S$ 1.69
GDP: US$106,818 million (2004) at current market prices
Major Industries: Electronics, chemicals, banking and finance, real estate, tourism
Major Exports: Petroleum products, industrial machines, radio & television receivers, electronic component & parts, clothing, beverages & tobacco
Major Imports: Crude petroleum, iron & steel, industrial machines, electric generators, electronic component and parts

Singapore is a diamond-shaped island separated from the Peninsular Malaysia by the Tebrau Straits. (details)

Singapore is a diamond-shaped island with surrounding smaller islands. There are two connections from Singapore to the Malaysian state of Johor - a man-made causeway known as the Causeway to the north, crossing the Tebrau Straits, and Tuas Second Link, a bridge in the western part of Singapore that connects to Johor.

Jurong Island, Pulau Tekong, Pulau Ubin and Sentosa are the largest of Singapore’s many smaller islands. The highest point of Singapore is Bukit Timah Hill, with a height of 166 metres (538 ft).

TELEVISION in Singapore

TV adspend: no data

Total TV households: 1.33 million (1997)

Free-TV penetration: 99%

Free satellite TV: Channel NewsAsia (AsiaSat 3S)

Terrestrial stations: National (or network) license:

Television broadcast stations (as of March 2006): 6 free-to-air(analogue) + 1 digital channel (TV Mobile)
1. Channel 5, MediaCorp TV’s Channel 5 is a 24-hour, English-language television channel based in Singapore. Programmes on Channel 5 normally includes English dramas, variety shows, news, current affairs and game programmes and general adaption of overseas productions, such as Singapore Idol and Who Wants to be a Millionaire?.
2. Channel 8, MediaCorp TV’s Channel 8 (八频道, Bā Píndào) is a 24-hour, Chinese-language television channel. The highest-rated channel in Singapore, it has Chinese dramas, variety shows, news and current affairs programmes. Special events like “NKF Charity Show”, “Star Search” and “Star Awards” are broadcasted on this channel.
3. Central & Suria,
4. Channel NewsAsia, Channel NewsAsia (Simplified Chinese: 亚洲新闻台; Traditional Chinese: 亞洲新聞台; Hanyu Pinyin: Yàzhōu Xīnwén Tái; abbreviated CNA) is a pan-Asian news channel based in Singapore and owned by Mediacorp. Started in 1 March 1999, it has since grown into a major Asian news broadcaster with programmes telecast to 16.3 million homes and hotels in 20 Asian territories today. It is available on the Asiasat 3S satellite. Channel NewsAsia Singapore’s feed is available on the free to air network in Singapore as well as on MediaCorp’s TV Mobile service on SBS Transit public buses & selected locales.
5. Channel U, MediaCorp TV’s Channel U (U频道; pinyin: U Pīn Dào) is the second Chinese-language channel in Singapore which commenced broadcast on 1 January 2005 (although it had been broadcast since 6 May 2001 under SPH Mediaworks). Taking over the channel from SPH Mediaworks as a result of the media merger, it aims to target the younger generations of Singaporeans as an alternative to the more mainstream and established Channel 8 with its new tagline, Leading Asia’s Trends 带动亚洲流行.
6. Channel i

Local license: none

Remarks: MediaCorp TV: Channel 5, Channel 8, Channel U, TVMobile
MediaCorp TV12: Suria, Central, Arts Central, Kids Central, Vasantham Central,
MediaCorp News: Channel NewsAsia

Stations From Overseas: Due to Singapore’s close proximity to Malaysia and Indonesia, many Singaporeans are able to enjoy a variety of TV programmes from the following overseas stations which are broadcasting on VHF and UHF bands:
RTM 1 (http://www.rtm.net.my/) aka “TV1″ (Malaysia)
RTM 2 (http://www.rtm.net.my/) aka “TV2″ (Malaysia)
TV3 (http://www.tv3.com.my/) (Malaysia)
NTV7 (http://www.ntv7.com.my/) (Malaysia)
8TV (http://www.8tv.com.my/) (Malaysia)
TVRI (http://www.tvri.co.id/) (Indonesia)
Batam TV (Indonesia)
TPI (http://www.tpi.tv/) (Indonesia)
RCTI (http://www.rcti.tv/) (Indonesia)
SCTV (http://www.sctv.co.id/) (Indonesia)
ANTV (http://www.an.tv/) (Indonesia)
Total cable channels: 41
Cable/broadband operators:
National (or network) license: StarHub, SingTel, Anytime, Tivit
Local license: none
DTH operators: none
Satellite operators: AsiaSat 2, AsiaSat 3S AsiaSat 4

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Information, Communication, and The Arts (MITA)
2. Multimedia Development Authority (MDA) & Information Development Authority (IDA): to regulate the use of receiving satellite dishes, ensures public service broadcasting obligations by broadcasting licensees, establishes guidelines on programme quality and balance in subject matter and censorship, collects licence fees from households, vehicle owners and broadcasters, and liaises with foreign broadcasters to promote and market Singapore as a regional hub.

Laws, Regulations: Broadcasting Act 2003 (revised edition)

Special remarks: Radio and television stations are all government-owned entities. All seven television channels are owned by MediaCorp; its only other competitor, SPH Mediaworks closed its television channel on January 1, 2005. Due to the proximity of Singapore to Malaysia and Indonesia, almost all radios and television sets in Singapore can pick up broadcast signals from both countries. Private ownership of satellite dishes is banned, but most households have access to the StarHub cable TV network. As of 1997, there were 1.3 million televisions in Singapore.

All radio stations are operated either by MediaCorp, the Singapore Armed Forces Reservist Association (SAFRA) or UnionWorks. As of 1997, there were 2.5 million radios in Singapore.

The print media is dominated by Singapore Press Holdings which publishes The Straits Times. Daily newspapers are published in English, Chinese, Malay, and Tamil.

THAILAND

ราชอาณาจักรไทย
Racha-anachakra Thai
Kingdom of Thailand

Head of State: His Majesty King Bhumibol Adulyadej
Head of Government: Prime Minister Surayud Chulanont
Capital: Bangkok
Type of Government: Parliamentary democracy with constitutional monarch
Next election: Upper House (due in April 2006)
Lower House (due in February 2009)
Land area: 513,254 sq.km
Population: 64,470 thousands (2003)
Language: Thai
Religion: Buddhism, Islam
Currency: Baht
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 41.24 baht
GDP: US$ 143,303 million (2003) at current market prices
Major Industries: Electronics, gems/jewelry, footwear, textiles, clothing
Major Exports: Textiles, computer & components, integrated circuits and parts, gems and jewelry, footwear
Major Imports: Industrial machinery, iron & steel electrical machinery & parts, chassis body

Thailand is home to several distinct geographic regions, partly corresponding to the provincial groups. The north of the country is mountainous, with the highest point being Doi Inthanon at 2,576 m. The northeast consists of the Khorat Plateau, bordered to the east by the Mekong river. The centre of the country is dominated by the predominantly flat Chao Phraya river valley, which runs into the Gulf of Thailand. The south consists of the narrow Kra Isthmus that widens into the Malay Peninsula.

Thailand is divided into 75 provinces (จังหวัด, changwat), which are gathered into 5 groups of provinces by location.
There are also 2 special governed districts: the capital Bangkok (Krung Thep Maha Nakhon in Thai) and Pattaya. However Pattaya is still part of Chonburi Province.
Some Thai people still count Bangkok as one province, making Thailand a 76-province country. Each province is divided into smaller districts - as of 2000 there are 795 districts (อำเภอ, amphoe), 81 sub-districts (กิ่งอำเภอ, king amphoe) and 50 districts of Bangkok (เขต, khet). However, some parts of the provinces bordering Bangkok are referred to as Greater Bangkok (ปริมณฑล, pari monthon). These Provinces include Nonthaburi, Pathum Thani, Samut Prakan, Nakhon Pathom, Samut Sakhon. The name of each capital city (เมือง, mueang) is the same as that of the province: for example, the capital of Chiang Mai province (changwat Chiang Mai) is amphoe Mueang Chiang Mai. The 75 provinces are as follows:
North
Chiang Mai, Chiang Rai, Kamphaeng Phet, Lampang, Lamphun, Mae Hong Son, Nakhon Sawan, Nan, Phayao, Phetchabun, Phichit, Phitsanulok, Phrae, Sukhothai, Tak, Uthai Thani, Uttaradit
Northeast
Amnat Charoen, Buri Ram, Chaiyaphum, Kalasin, Khon Kaen, Loei, Maha Sarakham, Mukdahan, Nakhon Phanom, Nakhon Ratchasima, Nong Bua Lamphu, Nong Khai, Roi Et, Sakon Nakhon, Si Sa Ket, Surin, Ubon Ratchathani, Udon Thani, Yasothon
East
Chanthaburi, Chon Buri, Prachin Buri, Rayong, Sa Kaeo, Trat
Central
Ang Thong, Phra Nakhon Si Ayutthaya, Chachoengsao, Chai Nat, Kanchanaburi, Lop Buri, Nakhon Nayok, Nakhon Pathom, Nonthaburi, Pathum Thani, Phetchaburi, Prachuap Khiri Khan, Ratchaburi, Samut Prakan, Samut Sakhon, Samut Songkhram, Saraburi, Sing Buri, Suphan Buri
South
Chumphon, Krabi, Nakhon Si Thammarat, Narathiwat, Pattani, Phang Nga, Phatthalung, Phuket, Ranong, Satun, Songkhla, Surat Thani, Trang, Yala
Special Governed Districts
Krung Thep Maha Nakhon (Bangkok), Mueang Pattaya (Pattaya)

TELEVISION in Thailand

TV adspend: no data

Total TV households: 17,520,000

Free-TV penetration: 98%

Cable households: 427,000

DTH households: 436,193

Broadband households: 1 million

Terrestrial stations: National (or network) license:
Thailand’s six terrestrial TV stations are based in Bangkok and are relayed to all parts of the country through repeaters. Although Thailand has experimented with digital terrestrial television on a trial basis, the delays in establishing the NBC will likely slow the conversion from analogue to digital broadcasting technology.
1. ITV/Independent TV, public company limited, operated by concessionaire.
2. TV 3/Thai TV Color Channel 3, owned by MCOT and operated by concessionaire.
3. TV 5, owned by Royal Thai Army TV and operated by the Army itself.
4. BBTV/Bangkok Broadcasting Television TV7, owned by Royal Thai Army TV and operated by concessionaire.
5. TV 9/Thai TV Color Channel 9, owned by MCOT, became a public company listed in the Thailand Stock Market November 2004.
6. TVT/TV 11/Television of Thailand, owned by Public Relations Department, and it is non-commercial.

Local license: 28 rebroadcast of TV7, and 21 of TV 11

Total cable channels: 106

Cable operators: National (or network) license:
1. UBC
2. Thaistar TV

Local license: 86 companies

DTH operators: UBC (United Broadcasting Corporation)

Satellite operators: Thaicom 1, Thaicom 2, Thaicom 3

Free-to-air channels (via satellites) : 19

Regulatory Agencies:
1. National Public Relations Committee (NPRC)
2. National Broadcasting Commission (NBC) March 1992
- issue licenses for new commercial free-to-air and satellite stations
- permit to operate radio and TV broadcasting business both for cable and/or non-cable
- regulate and control according to technical license condition
3. Mass Communication Organisation of Thailand (MCOT)
- regulating and monitoring the pay TV business activities, e.g. pricing of progamming packages, ads on channels
- granting, renawal, termination of licenses known as BTO (build transfer operate) concessions to allow operation of pay TV business
- other decisions, e.g. change of the interpretation of existing regulations by courts or regulators

Laws, Regulations:
1. The Thailand Constitution 1997, Section 40
2. The Telecommunications Act 2001
3. The Broadcasting Act 2000
4. The Trade Competition Act 1999
5. The Foreign Business Act 1999

Special remarks:
- NPRC and NBC supervise the reception of foreign broadcasts and approve broadcasting policy.
- All of 6 terrestrial stations are government-owned. Only Channel 3, Channel 7, and ITV are allowed for concessions provided by private sectors

THE PHILIPPINES

Republika ng Pilipinas
Republic of the Philippines

Head of State: President Gloria Macapagal Arroyo
Capital: Manila
Type of Government: Presidential democracy
Next election: May 2010
Land area: 76,946 thousand in 2000 (actual); 85,237 thousand in 2005 (projected)
Population: 82,664 thousands (2004)
Language: Filipino, English, Spanish
Religion: Christianity (Catholicism, Protestantism, Philippine Independent Church, Iglesia ni Kristo); Islam
Currency: Peso
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 54.15 peso
GDP: US$86,123 million (2004) at current market prices
Major Industries: Priority sectors: construction materials, electronics, food, giftware and holiday decor, home furnishings, IT & IT-enabled services, marine products, motor vehicle parts and components, organic and natural products, wearables
Major Exports: Electronic products; garments; ignition wiring set and other wiring set in vehicles, aircrafts, and ships; coconut oil; woodcrafts and furniture; products manufactured from materials imported on consignment basis petroleum products; metal components; cathodes and sections of cathodes of refined copper; fresh bananas (August 2005)
Major Imports: Electronic products; mineral fuels, lubricants, and related materials; industrial machinery and equipment; transport equipment; iron and steel, cereal and cereal preparations; textile yarn, fabrics, made-up articles, and related products; telecommunications equipment and electrical machines, plastics in primary and nonprimary forms; organic and inorganic chemicals, (August 2005)

The Philippines constitutes an archipelago of 7,107 islands with a total land area of approximately 300,000 square kilometres. It borders the Philippine Sea on the east, on the South China Sea the west, and the Celebes Sea on the south.
The island of Borneo lies a few hundred kilometers southwest and Taiwan directly north. The Moluccas and Sulawesi are to the south, and Palau is to the east beyond the Philippine Sea.

The islands are commonly divided into three island groups: Luzon (Regions I to V, NCR & CAR), Visayas (VI to VIII), and Mindanao (IX to XIII & ARMM). The busy port of Manila, on Luzon, is the country’s capital and second largest city after it’s suburb Quezon City.
Regions
- Ilocos Region (Region I)
- Cagayan Valley (Region II)
- Central Luzon (Region III)
- CALABARZON (Region IV-A) ¹ ²
- MIMAROPA (Region IV-B) ¹ ² ³
- Bicol Region (Region V)
- Western Visayas (Region VI) ³
- Central Visayas (Region VII)
- Eastern Visayas (Region VIII)
- Zamboanga Peninsula (Region IX)
- Northern Mindanao (Region X)
- Davao Region (Region XI)
- SOCCSKSARGEN (Region XII) ¹
- Caraga (Region XIII)
- Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM)
- Cordillera Administrative Region (CAR)
- National Capital Region (NCR) (Metro Manila)

The Philippines is divided into a hierarchy of local government units (LGUs) with the 79 provinces as the primary unit. Provinces are further subdivided into cities and municipalities, which are in turn composed of barangays. The barangay is the smallest local government unit.

The Philippines is divided into 17 regions with all provinces grouped into one of 16 regions for administrative convenience. The National Capital Region however, is divided into four special districts.

Most government offices establish regional offices to serve the constituent provinces. The regions themselves do not possess a separate local government, with the exception of the Autonomous Region in Muslim Mindanao.

TELEVISION in The Philippines

TV adspend: US$ 562,54 with 59% shares of TV (2002)

Total TV households: 3,7 million (1997)

Free-TV penetration: 96%

Cable penetration: 20% of population

DTH households: 30,000

Cable TV channels: 100+

Terrestrial stations: National (or network) license:

VHF Stations
1. ABS-CBN on channel 2
2. NBN on channel 4
3. ABC on channel 5
4. GMA on channel 7
5. RPN on channel 9
6. QTV on channel 11
7. IBC on channel 13
UHF Stations
1. SBN on channel 21
2. Studio on channel 23
3. Net on channel 25
4. Citynet on channel 27
5. RJTV on channel 29
6. UNTV on channel 37
7. MTV on channel 41
8. 3ABN on channel 45

Local license: see below

NOTES:
1. ACQ Kingdom Broadcasting Network is the 24-hour service of broadcasting arm of a Philippine television evangelist, Pastor Apollo C. Quiboloy. Based in Davao, it is available via terrestrial broadcast, cable, and satellite. Its single television channel of a dozen self-produced religious programs in English and Tagalog (www.kingdomofjesuschrist.org/subcontents/kbn_acq_programs.htm).
ACQ-KBN also maintains a network of radio stations under the name “Sonshine Network”. Licensed in late 2003 by the Philippine government to operate thirty-eight broadcast channels, they now claim to operate thirty with plans to operate six more. However, on June 23, 2005 the Philippine National Telecommunications Commission ordered their Davao channel 43 shut down due to interference with another channel.
2. ABS-CBN Channel 2, launched at June 13, 1946 (parent company); October 23, 1953 (television network). The network’s main broadcast facilities are located at the ABS-CBN Broadcast Center in Mother Ignacia St., Diliman, Quezon City.
The network has also introduced its second terrestrial Channel, Studio 23 (UHF network), as well as cable channels MYX (a music channel), ABSCBN News Channel (a cable news channel), CinemaOne Global (movie channel), Cinema One (movie cable channel, Lifestyle Network (home and lifestyle channel), Pinoy Central TV (regionally produced shows) and Hero (the country’s first Tagalog-dubbed Anime Channel). The network’s radio stations include DWRR 101.9 (FMManila) and DZMM 630-khz (AM-Manila).
ABS-CBN has established regional stations and news bureaus to handle operations in different areas throughout the Philippines. It also broadcasts to locations all over the world via The Filipino Channel, managed by ABSCBN International. Shows are also available for live viewing and subscription via the Internet through ABS-CBN Interactive’s ABS-CBNNow! service.
The ABS-CBN Regional Network Group is the provincial network of ABS-CBN. It is responsible for live/pretaped relay of shows aired in Manila throughout the country. The ABS-CBN Regional Network Group has several stations in each region all over the country. This group also delivers news in each region and the fiestas in the cities. Through the group, ABS-CBN has the following regional stations in the Philippines:
Antipolo City (ABS-CBN Antipolo)
Bacolod City (ABS-CBN Bacolod)
Baguio City (ABS-CBN Baguio)
Baler, Aurora (ABS-CBN Baler)
Batangas City (ABS-CBN Batangas)
Botolan, Zambales (ABS-CBN Botolan)
Bukidnon (ABS-CBN Bukidnon)
Bulacan (ABS-CBN Bulacan)
Butuan City (ABS-CBN Butuan)
Cabanatuan City (ABS-CBN Cabanatuan)
Cagayan De Oro City (ABS-CBN Cagayan De Oro)
Cebu City (ABS-CBN Cebu)
Cotabato City (ABS-CBN Cotabato)
Daet, Camarines Norte (ABS-CBN Daet)
Dagupan City (ABS-CBN Dagupan)
Davao City (ABS-CBN Davao)
Dipolog City (ABS-CBN Dipolog)
Dumaguete City (ABS-CBN Dumaguete)
General Santos City (ABS-CBN General Santos)
Iligan City (ABS-CBN Iligan)
Iloilo City (ABS-CBN Iloilo)
Isabela (ABS-CBN Isabela)
Jagna, Bohol (ABS-CBN Jagna, Bohol)
Kalibo, Aklan (ABS-CBN Kalibo)
Koronadal City (ABS-CBN Koronadal)
Laoag City (ABS-CBN Laoag)
Legaspi City (ABS-CBN Legaspi)
Lipa City (ABS-CBN Lipa)
Lucena City (ABS-CBN Lucena)
Naga City (ABS-CBN Naga)
Olongapo City (ABS-CBN Olongapo)
Pagadian City (ABS-CBN Pagadian)
Pampanga (ABS-CBN Pampanga)
Puerto Princesa City (ABS-CBN Puerto Princesa)
Roxas City (ABS-CBN Roxas)
San Pablo City (ABS-CBN San Pablo)
Surigao City (ABS-CBN Surigao)
Tacloban City (ABS-CBN Tacloban)
Tarlac City (ABS-CBN Tarlac)
Tuguegarao City (ABS-CBN Tuguegarao)
Zamboanga City (ABS-CBN Zamboanga)

2. GMA Channel 7, (Global Media Arts)
Network, Incorporated) is one of the largest broadcast networks in the Philippines. Launched at June 14, 1950 (Radio Broadcasts) and October 29, 1961(Television Broadcasts), it provides news and entertainment programs through its 44 fully-owned television relay stations, 3 affiliate television stations and 34 radio stations throughout the Philippines.
The network also offers its shows outside the Philippines through GMA Pinoy TV. Its headquarters, the GMA Network Center, is located at EDSA corner Timog Ave., Diliman, Quezon City, Philippines. Atty.
The channels are: GMA Channel 7, GMA Pinoy TV (Worldwide), Quality TeleVision Channel 11, Citynet channel 27, and RGMA TV Nationwide.

3. ABC - Associated Broadcasting Corporation, was launched at June 19, 1960. ABC is a Philippine
television network, with main broadcast facilities in
Novaliches, Quezon City, Metro Manila. It is the third oldest television network in the country, and currently is the third largest television network.
It is currently owned by businessman Antonio Cojuangco, former Chairman of the Philippine Long Distance Telephone Company (PLDT) and owner of Dream Satellite Broadcasting and Bank of Commerce, among others.
Its main station is DWET-5 (ABC-5) in Metro Manila. It also operates a radio station, Dream 106 FM, in Metro Manila.
a. ABC-TV Stations Nationwide:
ABC-5 Manila
ABC-2 Laoag
ABC-28 Baguio
ABC-32 Bacolod
ABC-21 Cebu
ABC-29 Zamboanga
ABC-21 Cagayan De Oro
ABC-2 Davao
ABC-12 General Santos
b. ABC Cable Television Station:
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila on Channel 10
Global Destiny Cable Makati City on Channel 10
SunVision Cable Taguig City on Channel 10
c. Radio Stations Nationwide:
DWET 106.7 MHz-Manila
DWTE 106.7 MHz-Laoag
DXET 106.7 MHz-Davao
DXER 93.5 MHz-General Santos

4. National Broadcasting Network is the official government TV station in the Philippines launched in 1974. The country’s only government television network began operations in 1974 as GTV-4. It was renamed Maharlika Broadcasting System in 1980 and following the People Power Revolution in 1986, became People’s Television 4. On March 26, 1992, President Corazon C. Aquino signed Republic Act 7306 turning PTV Network into a government corporation known formally as People’s Television Network, Inc.
NBN studios and transmitter are located at Broadcast Complex, Visayas Avenue, Diliman, Quezon City with the power of 40,000 watts. As provided for in its charter, PTNI is mandated to give its viewers a balanced mix of news, public affairs, educational, cultural and sports programs.
a. NBN Stations Nationwide:
DWGT TV-4 Manila
DZZM TV-8 Baguio
DWAE TV-4 Vigan
DZZV TV-11 Laoag
DZZN TV-4 Ilagan, Isabela
DZNN TV-13 Tuguegarao
DYGS TV-4 Puerto Princesa
DYMM TV-13 Romblon
DWMA TV-8 Naga
DZPN TV-8 Legaspi
DZGA 4 Goa, Camarines Sur
DWLG TV-2 Sorsogon
DZZV TV-7 Caramoran, Catanduanes
DZVZ TV-9 Panganiban, Catanduanes
DZVV TV-2 San Miguel, Catanduanes
DYYB TV-2 Iloilo
DYDY TV-2 Guimaras
DYTL TV-2 Bacolod
DYPT TV-11 Cebu
DYMY TV-10 Dumaguete
DYCP TV-8 Tacloban
DYWP TV-12 Calbayog
DXAA TV-8 Kidapawan
DXMI TV-4 Marawi
DXBN TV-9 Butuan
DXBC TV-6 Cagayan De Oro
DXNP TV-11 Davao
DXVC TV-7 Zamboanga
DXPT TV-11 Pagadian
DXXM TV-11 Dipolog
DXGN TV-5 General Santos
b. NBN Cable Television Station:
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila on Channel 06
Global Destiny Cable Makati City on Channel 08
SunVision Cable Taguig City on Channel 06

5. IBC 13, Intercontinental Broadcasting Corporation is a VHF Television Station of the Government
Communications Group headed by the Press Secretary. It was launched in 1975 by a Marcos crony Roberto
Benedicto after sequestering the original channel 13 owned by the late Andres Soriano. After the 1986 EDSA Revolution, all of the stocks and assets of IBC-13, RPN-9 and BBC-2 were sequestered by the Philippine Commission on Good Government (PCGG). President Corazon Aquino awarded BBC-2 through an executive order to ABS-CBN Broadcasting Corporation. IBC-13 and RPN-9 and were turned over to the Government Communications Group. There were plans to auction the TV frequency rights currently in use by IBC-13 and RPN-9 in the future. In 1993, IBC became a 100% government owned station by virtue of a compromise agreement between PCGG and Mr. Roberto S. Benedicto, management and marketing were returned to the IBC Board of Directors.
Programming remained at a standstill in preparation for the launching of a new image. IBC 13 studios is located at Broadcast City Capitol Hills Diliman, Quezon City and transmitter at San Francisco Del Monte, Quezon City.
a. IBC TV Stations Nationwide:
DZTV TV-13 Manila (VHF Network)
DWCS TV-13 Laoag (VHF Network)
DWHB TV-6 Baguio (VHF Network)
TV-13 Naga (VHF Network)
TV-5 Daet, Camarines Norte (VHF Network)
DYXX TV-2 Roxas (VHF Network)
DYJB TV-12 Iloilo (VHF Network)
DYTV TV-13 Cebu (VHF Network)
TV-12 Tacloban (VHF Network)
TV-13 Puerto Princesa (VHF Network)
DXZB TV-13 Zamboanga
TV-13 Ozamis (VHF Network)
DXCC TV-10 Cagayan De Oro (VHF Network)
DXTV TV-13 Davao (VHF Network)
TV-10 General Santos (VHF Network)
TV-10 Agusan Del Sur (VHF Network)
TV-8 Surigao Del Sur (VHF Network)
TV-13 Butuan (VHF Network)
b. IBC Cable Television Station:
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila on Channel 15
Global Destiny Cable Makati City on Channel 11
SunVision Cable Taguig City on Channel 15
c. IBC Radio Stations Nationwide:
DWLW 675 kHz-Laoag
DWDW 1017 kHz-Dagupan
DWNW 756 kHz-Naga
DWGW 684 kHz-Legaspi
DYRG 1251 kHz-Kalibo, Aklan
DYJJ 1287 kHz-Roxas
DYBQ 981 kHz-Iloilo
DXAM 1278 kHz-Maramag, Bukidnon
DXWG 855 kHz-Iligan

6. New Era Television (commonly known as Net 25) is the UHF Television network of Eagle Broadcasting Corporation (EBC), the broadcast division of the Philippine religious group, Iglesia ni Cristo. Founded at July 27, 1999, it supplements EBC’s national network of five AM stations and an FM station (DZEC Radyo Agila 1062 & DWDM 95.5 Manila with Radyo Agila Stations on: DZEL 1053 Lucena, DWIN 1080 Dagupan, DYFX 1305 Cebu, and DXED 1224 Davao) located at 887 Maligaya Bldg. II, EDSA, Diliman, Quezon City.
NET 25 boasts of the Philippines’ first trilon TV tower that soars to 907 feet above sea level. NET 25 also has an all-digital production facility complete with studios and editing suites for in-house and post-productions.
It is on Channel 25 on terrestrial TV and is carried by major cable operators in the country led by Skycable Gold & Silver and Destiny Cable. NET 25 reaches TV audiences on the East Coast, United States and Hawaii and the whole of Asia including Japan, Hong Kong, Taiwan, China as well as Australia.

7. GMA New Media Inc.,(GMA-NMi) established in 2000 by the GMA Network, placed its bet on converging technologies and developed a business out of enabling different media such as Internet, mobile phones, radio and TV to speak to one another. It produces interactive brands in GMA shows and fully interactive TV show on free TV. The company also actively engages in web development and creative services.
GMA New Media, Inc. provides interactivity to all media assets of GMA Network, Inc. such as its television programs, radio stations, websites and possibly UHF and cable TV. Through its subsidiary Digital Kitchen, Inc., GMA-NMi offers end-to-end broadcast solutions and corporate software solutions, using converging technologies and innovative strategies that guarantee results.
GMA New Media also provided election updates and information through text messages, according to Abrogar, while Rufino said INQ7 would serve as the Internet arm that would provide updates to overseas Filipino workers.

8. SBN (Southern Broadcasting Network) began operations in 1970 as single proprietor with its first AM station in the southern city of Davao. SBN Manila is the first UHF TV Station in Manila began in May,1992. SBN Studios are located at 22nd floor, Strata 2000 Bldg, F. Ortigas Jr. Road (formerly Emerald Ave.), Ortigas Center, Pasig City, Philippines. SBN currently operates the following broadcast stations:
a. Television Stations:
DWCP-TV 21 Manila (UHF Network)
DWJP-TV 21 Legaspi (UHF Network)
DYLP-TV 5 Bacolod (VHF Network)
DYCP-TV 6 Cebu (VHF Network)
DYJP-TV 22 Tacloban (UHF Network)
DXJP-TV 27 Zamboanga (UHF Network)
DXSS-TV 7 Davao (VHF Network)
b. On Cable Television Station:
SkyCable Gold and Silver Metro Manila on Channel 16
Global Destiny Cable Makati City on Channel 95
SunVision Cable Taguig City on Channel 21
c. SBN Mom’s Radio Stations:
DWSN-FM 97.9 MHz-Laoag
DWIS-FM 98.9 MHz-Vigan
DZMC-FM 91.1 MHz-Tarlac
DYCP-FM 90.3 MHz-Bacolod
DYAP-FM 88.3 MHz-Cebu
DYJP-FM 101.5 MHz-Tacloban
DXJP-FM 101.9 MHz-Zamboanga
DXNY-FM 107.9 MHz-Cagayan De Oro

9. Quality TeleVision (QTV) is the VHF Television network owned by ZOE Broadcasting Network of Eddie Villanueva and currently operated by GMA Network. The station was formally known as ZOE-TV 11. It was renamed QTV-11 after GMA Network and ZOE-TV entered to an agreement for leasing the entire TV airtime block of the station. The station was relaunched on November 11, 2005 QTV Channel 11 airs a lineup geared mostly towards women and women’s concerns.
The TV station started way back 1960s. It was established by Manila Broadcasting Co. naming MBC-11. But in 1972, MBC-11 forced to close due to Martial Law. After 26 years, Channel 11 was revived with a joint venture of the influential religious groups El Shaddai headed by Mike Velarde and Jesus Is Lord Movement headed by Eddie Villanueva in mid 1990s.
QTV Stations Nationwide
a. On Free TV
DZOE TV-11 Manila
DWDB TV-27 Manila
DZLS TV-27 Laoag
DWRA TV-24 Baguio
DWNJ TV-28 Naga
DWCW TV-27 Legaspi
DYMK TV-28 Iloilo
DYLS TV-27 Cebu
DXMJ TV-21 Zamboanga
DXNL TV-27 Cagayan De Oro
DXRA TV-27 Davao
b. On Radio:
DZLV 1458 kHz CALABARZON (signal is very weak in most parts of Metro Manila)
c. On Cable
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila channel 11 (channel 19 in CAMANAVA area)
Global Destiny Cable Makati City on channel 16
SunVision Cable Taguig City on Channel 63

10. RPN, Radio Philippines Network (RPN 9) is a Philippines flagship VHF television network of the Government Communications Group headed by the Press Secretary.
RPN launched in the late 1960s as Kanlaon Broadcasting System, under Roberto S. Benedicto. Kanlaon is a volcano in the Philippine island of Negros, the home province of Mr. Benedicto. After the late President Ferdinand Marcos sequestered the rights of CBN-9 of the late Eugenio Lopez, Sr., he awarded the Channel 9 frequency through a Presidential Decree. After the 1986 EDSA People Power Revolution, all of the stocks and assets of RPN-9, IBC-13 and BBC-2 were sequestered by the Presidential Commission on Good Government (PCGG). President Corazon Aquino awarded BBC-2 through an executive order to ABS-CBN Broadcasting Corporation headed by the late Eugenio Lopez, Jr.. RPN-9 and IBC-13 assets and equipments were turned over to the Government Communications Group. There were plans to auction the TV frequency rights currently in use by RPN-9 and IBC-13 in the future.
a. RPN TV Stations Nationwide:
DZKB-TV 9 Manila
DZRB-TV 12 Baguio
DWKI-TV 10 Iriga
DYKB-TV 8 Bacolod
DYKC-TV 9 Cebu
DXXX-TV 5 Zamboanga
DXKO-TV 5 Cagayan De Oro
DXWW-TV 9 Davao
b. RPN Seen on CABLE TV Station Special:
SkyCable Gold and Silver Metro Manila Channel 14
Global Destiny Cable on Makati City Channel 14
Sun Cable Silver CAMANAVA Area on Channel 14
Sun Cable Silver RIZAL Antipolo City on Channel 14
SunVision Cable on Taguig City Channel 15
c. RPN TV Relay Stations:
TV-7 Bayombong
TV-2 Legaspi
DYKW-TV 6 San Jose, Antique
DYSC-TV 4 Bagacay, Iloilo
DYSC-TV 4 Caluya, Antique
TV-5 Puerto Princesa
TV-8 Dumaguete
TV-5 Tacloban
TV-5 Pagadian
TV-10 Cotabato
TV-7 General Santos
TV-12 Butuan
TV-4 Surigao
TV-9 Jolo, Sulu
d. Radyo Ronda Stations Nationwide:
DZRL 639 kHz-Batac, Ilocos Norte
DZBS 1368 kHz-Baguio
DZTG 621 kHz-Tuguegarao
DZKI 1332 kHz-Iriga
DYKB 1404 kHz-Bacolod
DYKW 936 kHz-Binalbagan, Negros Occidental
DYKC 675 kHz-Cebu
DXXX 1008 kHz-Zamboanga
DXKP 1377 kHz-Pagadian
DXKD 1053 kHz-Dipolog
DXKO 1368 kHz-Cagayan De Oro
DXKT 1071 kHz-Davao
DXDX 693 kHz-General Santos
DXKS 1080 kHz-Surigao

11. RJTV 29 is a UHF, free to air television channel, owned and operated by Rajah Broadcasting Network, inc. RJTV 29 broadcast in the greater Metro Manila area, and is on a ‘must carry basis’ on cable service providers. RJTV 29 began its test broadcast in June 1994, with station produced programming which was entertaining mix of music oriented shows, local news, talk show, and the very first local Home TV Shopping program.
In 1995, RJTV 29 went into niche programming and timeless television series, shopping and animation programs for children. At the time, the target market was kids during the day, and baby boomers at night. In 1997, due to the emergence of UHF competitors such as Studio 23 and CTV 31, RJTV 29 went form traditional TV programming to specialized programs such as direct response companies and Religious sectors. RJTV 29 recognized the advent of specialized television - niche markets that identify specific needs of focused sectors. RBN is located at Ventures I Bldg., Makati Ave. cor. Gen. Luna St. Makati City and at the 3/F Save-A-Lot Mall 2284 Pasong Tamo Ext., Makati City. With transmitter is located at Sitio Halang, Brgy. San Roque, Purok 19, San Lorenzo Ruiz St., Antipolo City. In addition, Rajah Broadcasting Network, Inc. also owns and operates 10 radio stations nationwide in the following cities. - Manila (2), Cebu, Davao, Baguio, Cagayan De Oro, Tuguegarao, Iloilo, Bacolod, and Iligan.
List of RJ stations
a. TV Stations:
DZRJ-TV 29 Manila
DWRJ-TV 9 Tuguegarao
DYNJ-TV 40 Iloilo
DYRJ-TV 33 Cebu
DXRJ-TV 31 Cagayan De Oro
DXDJ-TV 23 Davao
b. AM Stations:
DZRJ-AM 810 kHz-Manila
DXRJ-AM 1476 kHz-Iligan
c. FM Stations:
DZRJ-FM 100.3 MHz-Manila
DWRJ-FM 96.5 MHz-Tugegarao
DWDJ-FM 91.1 MHz-Baguio
DYNJ-FM 98.3 MHz-Iloilo
DYFJ-FM 99.9 MHz-Bacolod
DYRJ-FM 100.3 MHz-Cebu
DXRJ-FM 88.5 MHz-Cagayan De Oro
DXDJ-FM 100.3 MHz-Davao
d. Cable TV Special METRO MANILA, Camanava & Rizal Station:
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila Channel 19
Global Destiny Cable Makati City Channel 79
SUN CABLE Silver Channel 65
SUN CABLE Silver CAMANAVA Area Channel 53
SUN CABLE Silver RIZAL Antipolo City Channel 60
e. Cable TV Special Provincal Areas Station:
SkyCable Baguio City Channel 45
SkyCable Cebu Channel 6
SkyCable Leyte channel 23
Colorview Cable CATV Zambales Channel 40
Colorview Cable CATV La Union Channel 38
SkyCable Dagupan City Channel 44
SkyCable Camarines Sur Channel 06
SkyCable Albay Channel 6
SkyCable Isabela Channel 18

12. unTV Channel 37 is a UHF television channel in the Philippines operated by the Progressive Broadcasting Corporation (PBC), the same company that operates the NU 107 network of FM stations, with the standard for good taste in music amongst the youths. Owned and operated by the Progressive Broadcasting Corporation, DWNU 107.5FM was the brainchild of banker/ businessman Atom L. Henares, and radio veteran Mike N. Pedero.
It exposed a police rubout on November 7, 2005 when it became the only media company to cover a police rubout incident right in front of its broadcast building. UNTV’s footage became a vital evidence for a case filed on the Philippines’ Commission on Human Rights.
PBC Stations Nationwide
a. On free TV Station:
UNTV DWNU TV-37 Manila (UHF Network)
UNTV DYNY TV-40 Iloilo (UHF Network)
UNTV DYNU TV-41 Cebu (UHF Network)
UNTV DXNY TV-37 Cagayan De Oro (UHF Network)
UNTV DXNU TV-41 Davao (UHF Network)
b. On Radio Station:
DWNU 107.5 Manila
DYNY 107.9 Iloilo
DYNU 107.5 Cebu
DXNY 107.9 Cagayan De Oro
DXNU 107.5 Davao
DXUN 107.9 General Santos
c. On Cable Television Station Interactive:
SkyCable Gold and SkyCable Silver Metro Manila Channel 21
Global Destiny Cable on Makati City Channel 51
Cable Star
(UNTV 37 is Now Available Cable Cast through Cable Star - Iloilo Channel 67)

13. The Three Angels Broadcasting Network, or 3ABN for short, is an American television and radio network which primarily focuses on Christian programming.
The network’s sign on occurred on November 23, 1986, after two years of planning and construction of a satellite uplink site in Thompsonville, Illinois. Initially focusing on satellite broadcasting for the United States, 3ABN has since taken several affiliates on, which broadcast directly into television markets on VHF and UHF stations worldwide.
The network makes claim to a successful weekly program in Russia, begun in 1993. It also expanded into radio and satellite television in Europe, Asia, Africa, and the Middle East in approximately 1999-2000. The 3ABN radio network is growing rapidly in affiliates due to the FCC allowing for low power FM stations. The president of the network throughout its existence has been Danny Shelton, 54, who hosts the network’s flagship program, 3ABN Today. Shelton co-founded the ministry with his wife at the time, Linda Shelton. Danny and Linda Shelton were divorced in June 2004. Danny Shelton married Brandy Lynn Elswick, 33, on March 8, 2006 on the set of 3ABN Presents in a nonbroadcast ceremony.
Programming overall on the network is Christian and health oriented, and broadcasts 24 hours a day. The ministry is independently owned and operated.

14. Studio 23 is the UHF television network fully owned and managed by Amcara Broadcasting Network, Inc. an affiliate of ABS-CBN Broadcasting Corporation. Its main broadcast center is located at the Eugenio Lopez Communications Center (ABS-CBN Broadcast Center) located at Mother Ignacia St., Sgt. Esguerra Ave., Diliman, Quezon City, Philippines.
Launched at October 12. 1996, Studio 23 up with foreign broadcast companies yet maintaining to
be a wholly owned subsidiary of its mother network, ABS-CBN.
May 1996, Studio 23 again closed deals with suppliers and distributors in exhibitions held at Los Angeles, California. These deals closed at the L.A. Screenings were for new products intended for the launch of the station in October the same year.

15. MTV Philippines or (Music Television Network Philippines) is MTV Networks’ Asia franchise in the Philippines. Its first incarnation was a partnership with ABS-CBN and IBC, where MTV was seen at certain hours on their UHF channel Studio 23. It also the partner of the GMA Network in broadcasting, advertisements and exchanging celebrities. MTV has since tied up with the Nation Broadcasting Corporation which is located at NBC Tower, Jacinta Bldg. II, EDSA Guadelupe, Makati City and at the MTV Studios at Unit C, The Fort Entertainment Center, Bonifacio Global City, Taguig City and is now currently a 24-hour UHF channel , seen in:
DZRU TV-41 Metro Manila
DYBC TV-44 Bacolod City
Channel 29 Cebu
Channel 29 Cagayan De Oro
Channel 29 Davao
NBC Radio Stations Nationwide:
a. Sonshine Radio Stations:
DZAR 1026 kHz-Manila
DWRI 819 kHz-Laoag
DZRD 981 kHz-Dagupan
DZYI 711 kHz-Ilagan, Isabela
DZYT 765 kHz-Tuguegarao
DWSI 864 kHz-Santiago
DWYI 1332 kHz-Cabanatuan
DWTT 1368 kHz-Tarlac
DZSP 864 kHz-San Pablo
DYCB 765 kHz-Cebu
DXYZ 963 kHz-Zamboanga
DXCL 1098 kHz-Cagayan De Oro
DXRB 873 kHz-Butuan
DXRD 711 kHz-Davao
DXBL 801 kHz-Bislig, Surigao Del Sur
DXRE 837 kHz-General Santos
DXRO 945 kHz-Cotabato
DXRI 837 kHz-Iligan
b. Rhythms Stations Nationwide:
DWRU 92.3 Manila
DZYB 102.3 Baguio
DZMC 91.1 Tarlac
DWJY 94.3 San Pablo
DZRB 95.9 Naga
DWMR 97.9 Legaspi
DYBC 102.3 Bacolod
DYNC 101.9 Cebu
DXTY 101.1 Zamboanga
DXRL 101.5 Cagayan De Oro
DXFM 101.9 Davao
DXOO 97.5 General Santos
DXRI 98.3 Iligan
DXEY 96.7 Butuan
Soon in: Baguio, Naga, Legaspi, Ilo, Dumaguete, Tacloban
Zamboanga, Cagayan De Oro, Iligan, Butuan

16. Citynet, a subsidiary of GMA Network, Citynet Channel 27 is the UHF television station owned and operated by GMA Network, Inc. The station became the first UHF TV station operated by a major radiotelevision network. It attempted to broadcast programming from the old Martial Law GMA 7 days.
Transmitting on a 30,000-watt power capacity with an effective radiated power of up to 60,000 watts, Citynet’s telecast on channel 27 covers the Greater Manila Area and its neighboring provinces in Bulacan, Laguna, and Cavite.
Launched at August 27, 1995, the station was later reformatted to a video music channel and was renamed EMC 27 (Entertainment Music Channel). In 1999, GMA Network and STAR Network entered a joint venture to launch a local version of Channel [V] in the Philippines. EMC was later renamed Channel [V] Philippines and started operations on December 15, 1999. Sometime in July 2001, Channel [V] Philippines shut down operations. Rumors said that the fate of Channel [V] Philippines has been murky since the announcement of the acquisition of a controlling stake in GMA Network by telecom giant PLDT was made. While GMA operated Channel [V] Philippines, the PLDT company Nation Broadcasting Corporation (NBC) runs rival music video network MTV Philippines. This in turn is a joint venture between MTV Asia and NBC involving a 24-hour terrestrial broadcast of MTV Asia over UHF Channel 41 (and piped to Philippine cable networks) and the development of more Philippine-oriented programming.
In 2005, GMA Network Inc. used again Citynet 27 to broadcast their new VHF channel QTV11 also in UHF Band partnership with ZOE Broadcasting Network Incorporated. QTV Channel 11 can be watched through Channel 11 in VHF Band with 100kw transmitter and in UHF Band with a more clearer but darker reception.
Citynet Stations:
DWDB TV 27 Manila
DYMK TV 28 Iloilo
DXNL TV 27 Cagayan de oro

Cable operators:
1. Beyond Cable
2. Global Destiny Cable

Cable distributors: Accion, Cable Boss, Solar Entertainment

DTH operators:
1. Dream Broadcasting System (Dream)
2. SkyCABLE is a Direct-To-Home Cable TV Subscription Service, established by the Lopez Group of Companies. SkyCABLE is the Leading Cable TV Company in the Philippines, they are serving almost all Major Cities in Metro Mania and have affiliates almost all-around the Philippines.

Satellite operators: Agila 2

Regulatory Agencies:
1. Department of Transportation and Communications (DOTC): to developan integrated plan for a nationwide transmission system in accordance with national and international telecommunications services requirements, including-among others-relay of radio and television broadcasts, leased channel services, and data transmission.
2. National Telecommunication Commission (NTC): to exercise jurisdiction over the supervision, adjudication, and control over all telecommunications services throughout the country. It remains under the administrative supervision of th DOTC.
3. Movie and Television Review and Classification Board (MTRCB): to approve or disapprove, delete objectionable portions from and/or prohibit the importation, exportation, production, copying, distribution, sale, lease exhibition and/or television broadcast of the motion pictures, television programmes, and publicity materials.
3. KBP - Kapisanan ng mga Brodkaster ng Pilipinas (self-regulatory body of the industry)

Laws, Regulations:
1. 1987 Constitution Section 24, Article II: “The state recognizes the vital role of communication and information in nation-building.”
2. Republic Act (RA) August 10, 1963: 3846, An act providing for the regulation of radio stations and radio communications in the Philippine Islands, and for other purposes.
3. Presidential Decree (PD) Number 1986 (created the Movie and Television Review and Classification Board [MTRCB] on 05 October 1985)
4. Presidential Decree (PD) Number 1987 (created the Videogram Regulatory Board [VRB] on 05 October 1985)
5. RA No. 9239 or the Optical Media Act was passed. It changed the VRB into the Optical Media Board (OMB)
6. RA 9171 or Muslim Radio Act, issued on 22 July 2002.

Special remarks: Muslim Radio Act granted the Muslim Development Multipurpose Cooperative a franchise to construct, install, establish, operate, and maintain radio broadcasting stations in the Philippines.

VIET NAM

Cộng Hòa Xã Hội Chủ Nghĩa Việt Nam
Socialist Republic of Vietnam

Head of State: President Tran Duc Luong
Head of Government: Prime Minister Phan Van Khai
Chairman, National Assembly: Nguyen Van An
Capital: Ha Noi
Type of Government: Socialist republic; a one-party centralized state that increasingly decentralizes administration and devolves decision-making power to the provinces
Next election: By second quarter 2006 (Communist Party)
By mid-2007 (National Assembly)
Land area: 330,363 sq.km
Population: 82,222 thousand (2003)
Language: Vietnamese
Religion: Buddhism, Christianity
Currency: Dong
US$ exchange rate on 1 December 2005: US$ 1 = 15.910 dong
GDP: US$ 39,021 million (2003) at current market prices
Major Industries: Agriculture, forestry, fishery, industrial construction
Major Exports: Crude oil, coal, chromium, tin, cements, woolen carpet, jute carpet, rich cinnamon, marine products
Major Imports: Motors, petroleum products, diesel oil, fertilizers
Vietnam’s capital is Hanoi. There are also four municipalities existing at provincial level: Can Tho, Da Nang, Hai Phong, and Ho Chi Minh City (Thành phố Hồ Chí Minh). Ho Chi Minh City was formerly known as Saigon. The remainder of Vietnam consists of 59 provinces (see main article for more information).
Land boundaries: Total: 4,639 km. Border countries: Cambodia 1,228 km; China 1,281 km; AND Laos 2,130 km.

The country is approximately 331,688 square kilometres in area, which is slightly larger than New Mexico and slightly smaller than Germany. The topography consists of hills and densely forested mountains, with level land covering no more than 20 percent. Mountains account for 40 percent, hills 40 percent and forests 75 percent. The northern part of the country consists of highlands and the Red River Delta. Phan Xi Păng, located in Lào Cai province, is the highest mountain in Vietnam at 3,143 metres. The south is divided into coastal lowlands, Dai Truong Son (central mountains) with high plateaus, and the Mekong River Delta. The climate is tropical and monsoonal; humidity averages 84 percent throughout the year. Annual rainfall ranges from 120 to 300 centimetres (47 to 118 in), and annual temperatures vary between 5°C (41°F) and 37°C (99°F).

TELEVISION in Viet Nam

TV adspend: US$ 150 million (2005)
Total TV households: no data
TV penetration: 75%
Cable households: no data
Total Free-TV channels: 20
Terrestrial stations: National (or network) license:
In 1998, there were at least ten television broadcast stations plus 13 repeaters. In 1997, there were 3.57 million televisions.
1. VTV 1,
2. VTV 2,
3. VTV 3,
4. HTV-VN
Local/regional: VTV Khmer - Can Tho (a special channel in the Khmer language operating in Can Tho), and several regional services across Vietnam including Can Tho, Da Nang, Hanoi, Ho Chi Minh City and Hue.

Cable operators:
1. Saigontourist Cable TV Co. (SCTV)
2. Vietnam Cable TV

DTH operators: none

Satellite operators: none

Regulatory Agencies:
1. Ministry of Culture and Information
2. Hanoi Posts and Telecommunications

Laws, Regulations:
1. Law on Press and Mass Media
2. Decree 24/2000/ND-CP, July 31, 2000 (Item 1 Article 114 and Annex 1)
3. Decree 27/2003/ND-CP, March 19, 2003 (Item 26 Article 1 and Annex 1)

Special remarks:
- The Government shall not grant the licence to the Vietnamese broadcasting private sector, nor to foreign investors.
- The purpose of this policy is for social and cultural order, public safety, and national security.