Sore ini, sepulang dari Rawamangun, saya memicingkan mata saat memerhatikan kehidupan di satu daerah kumuh (yang tak tahu nama pastinya) di sekitar Jl Letjen Suprapto Jakarta Pusat.
Waktu masih menunjukkan pukul 15.30 dan sepanjang 1 km jalan saya temui sekitar 300 orang segala usia duduk-duduk, lari-lari, tertawa, menonton, melamun di ujung gang, di pos jaga, atau di depan warung. Hanya sekitar 20% yang masih di bawah dan di atas usia produktif. Saya meneruskan perjalanan…
Setibanya saya di salah satu kantor pemerintah yang berdiri megah mewah 8 lantai, meja-meja kosong. Dari 20 meja yang ada, hanya ada 5 orang duduk. Satu menelepon tertawa-tawa, satu bermain game di komputer, dan satu berdandan memegang cermin. Hanya ada dua orang yang benar-benar bekerja: satu membereskan dokumen dan satu duduk mengetik membelakangi saya (sehingga saya bisa melihat layar monitornya). Jam di telepon genggam saya masih menunjukkan angka 15.45.
Keluar dari kantor itu, saya temui banyak tukang ojek di pojok jalan dan di seberang jalan. Lebih dari sepuluh orang duduk menunggu penumpang. Saya pernah kenal satu tukang ojek yang bermodalkan motor kredit (cicilan Rp 500 ribu per bulan). Bagaimana ia harus menunggu penumpang dari jam 6 pagi hingga 8 malam untuk bisa mengantongi uang Rp 50 ribu per harinya. Ia harus membayar uang “kamar” bersama anak dan istrinya seharga Rp 200 ribu per bulan. Makan sehari bisa Rp 10-20 ribu sehari. Belum uang rokok. Uang sekolah bisa jadi masuk daftar terakhir.
Di rumah, 3 dari “asisten rumah tangga” saya hanya bisa mengecap pendidikan SD. Dua orang lulus SD dan hanya 1 yang hanya bisa sampai kelas 2 SD. Usia mereka sekarang antara 18 tahun hingga 24 tahun. Yang berusia 24 tahun ini sudah memiliki anak 4 dan ditinggal di rumah bersama suami yang buruh pabrik rokok. Di RT sebelah bahkan ada yang “mempekerjakan” Siti, anak dari si Mbok tukang cuci yang masih berusia 10 tahun! Tak sekolah sejak dua tahun lalu, Siti sekarang momong anak bayi berusia 2 tahun. Ya ampun, dia sendiri masih bayi!
***
Melihat kondisi pendidikan (yang katanya 9 tahun wajib berlajar itu!) yang seakan jalan di tempat, tentulah terkait erat dengan lemahnya produktivitas nasional kita. Faktor-faktor produktivitas yang lemah tak boleh dibebankan kesalahannya pada “nasib”. Untuk menghitung produktivitas, semudah menghitung berapa banyak barang yang dihasilkan dibagi dengan waktu atau biaya untuk memproduksinya. Masuk dalam pertimbangan ini adalah kerusakan (defectives) yang juga dihasilkan. Para pekerja jasa, lebih spesifik lagi: pekerja informasi, juga dikaji dari hasil yang rusak (dokumen atau film yang dibuat dalam perhitungan satuan jam).
Thomas dan Barons (1994) menegaskan bahwa mengevaluasi produktivitas haruslah konsisten, bahkan ada sebagian yang tak akurat mengingat pokok utama produktivitas adalah untuk menemukan perubahan. Mereka menyarankan agar banyak faktor digunakan untuk menentukan, khususnya, pekerja jasa dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang berkualitas. Pertanyaan selanjutnya bagaimana menilai kualitas. Salah satu pertimbangan utamanya adalah waktu: berapa lama satu orang melayani pelanggan agar pelanggan puas, atau berapa lama saya mengetik satu dokumen yang rapi.
Dari sekian sektor yang bisa digarap di sebuah kota besar bernama Jakarta ini, sungguh menyedihkan kuantitas penyerapan. Lebih menyedihkan lagi adalah kualitas manusia yang bekerja di sektor non-formal (pemilik warung, pedagang gerobak hingga asisten rumah tangga).
Kasat mata, jika dahulu Bi Nem yang menjaga saya tak bisa baca-tulis, sekarang memang Mbak Yati yang jaga anak-anak bisa sekolah sampai 2 SD. Tiga puluh tahun pergerakannya hanya “begitu”?
Bandingkan dengan negara-negara tetangga. Australia bahkan memiliki satu badan khusus menangani evaluasi regulasi yang terkait langsung produktivitas di semua sektor dan lapis produksi. (klik sini untuk laporan Australian Productivity Commission tahunan edisi terakhir, pdf 2 Mb). Di Indonesia, terkait hal yang sama sepertinya baru dilalui tahapan “transparansi dokumen regulasi” (klik di sini untuk beberapa rancangan undang-undang yang sedang digodok di DPR baik tingkat komisi, pansus ataupun baleg, html). Negeri ini belum tiba pada tahapan “evaluasi regulasi terhadap produktivitas nasional”.
Hari ini saya juga sedikit tidak produktif. Setengah hari melayat adik sepupu jauh yang meninggal karena komplikasi otak sepulang dari bekerja di Berau, Kalimantan. Usianya belumlah 30. Saya berpikir, seorang yang produktif dipanggil Tuhan, dan mereka yang sehat seperti saya dan 300 penduduk di daerah kumuh tadi; mengapa kita kurang menghasilkan? Regulasi mana yang harus ditegakkan segera?