Friday, February 8, 2008

Dicari: Pemimpin Daerah yang Canggih

Nopember 28, 2007

Saya agak takjub dengan banyak orang di dunia ini yang mengkaji Indonesia luar dalam (secara akademis-alamiah, tentunya). Salah satunya adalah Center for Global Development (www.cgdev.org) yang khusus mengkaji proses desentralisasi di Indonesia lima tahun terakhir.

Adalah Christian von Luebke yang telah melakukan field experiment ke Jawa Tengah, Sumatera Barat, Bali dan NTB. Kajian untuk memperkukuh gelar doktornya di School of Economics and Governance, The Australian National University memfokuskan pada Akunting untuk Pemerintah Daerah di Indonesia (Accounting for Local Governance, silakan klik di sini untuk presentasinya dalam pdf, besar file 1 Mb).

Yang paling menarik dari kajian ini adalah bagaimana investor asing melihat desentralisasi di Indonesia sebagai “harga mahal” yang ditinjau dari empat sudut: institusi (peraturan perundangan), kepemimpinan (bupati atau gubernur), kebebasan bersuara (publik), dan iklim berinvestasi.

Luebke mencatat bahwa hambatan berusaha dan berinvestasi pasca-desentralisasi adalah bervariasinya pajak (retribusi) dan proses perizinan dari daerah ke daerah. Bahkan “bribe payment” masih masuk sebagai salah satu faktor hambatan berbisnis dan berinvestasi ini. Ada empat hal yang menjadi indikator (2005) menilai empat daerah yang dipantau: perizinan (pemahaman akan prosedur), perizinan (waktu adminstrasi), penyimpangan pajak, dan kualitas layanan. Dua daerah yang mendapatkan nilai baik adalah Solok, Sumatera Barat dan Kebumen, Jawa Tengah. Solok menerapkan kualitas layanan dengan sistem adminstrasi satu atap (samsat) dan Kebumen menjadikan media ajang transparansi kebijakan yang diambil pemimpin daerah.

Salah satu kesimpulan akhir Luebke adalah “Decentralization: Voice of Private-Decentralization : still uncertain; yet Leadership has become contestable across districts…” Dalam jangka pendek, pemimpin yang baik akan menjadi kompensasi bagi suara publik yang tak tersalurkan, penegakan hukum yang rendah, dan pemantauan perkembangan nasional yang kurang kuat.

Saya tak hendak mengkomentari panjang lebar penelitian Luebke ini, tapi secara empiris daerah-daerah yang terpantau di media (situs internet dan media cetak) seperti Kebumen, Sragen, Solok dan daerah-daerah lain menjadi bukti bahwa “kecanggihan” pemimpin daerah pastinya akan mengarahkan rakyatnya untuk meraih hidup lebih baik. Apalagi jika seluruh Indonesia terjadi concerted quality leadership, tentulah kita akan keluar dari natural resources curse yang ditudingkan Stiglitz (2004).

No comments: