Wednesday, January 3, 2007

Kerjasama ASEAN dan Jepang:
Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan
oleh :
Amelia Day

Desember 2006


Daftar isi:


ABSTRAKSI
1. Pembukaan
2. Tren politik di setiap negara
3. Tren ekonomi dan ASEAN Economic Community
4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: Sebuah Kajian Transfer Teknologi
5. REKOMENDASI: TRANSFER TEKNOLOGI DALAM PROSES PRODUKSI UNTUK MASA DEPAN ASEAN (SEBUAH PROSES INSIDE-OUTSIDE DAN OUTSIDE-INSIDE)
a. Inside-outside process of tech transfer
b. Outside-inside process of tech transfer
6. Penutup
7. Bibliografi
8. Lampiran
a. Japan’s export to ASEAN and China by commodity (2005)
b. Japan’s import from ASEAN and China by commodity (2005)
c. Discussion document: Technology transfer and national innovation (IIPI, University of Campinas, Sao Paolo, Brasil, 2004)
d. Technology Transfer and Commercialization (US Department of Commerce 2003 Report) – executive summary
e. Trends in Japanese Textile Technology (US Department of Commerce 1996 Report)


Abstraksi

ASEAN adalah perkumpulan negara-negara sedang berkembang yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Asia-Pasifik. Stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN beberapa tahun terakhir bisa membuktikan kekuatan ekonomi di masa depan.

Sayangnya, ASEAN hanya menjadi satu pasar besar yang belum belajar dari kesalahan masa lalu: tiadanya tranfer teknologi dari negara-negara maju di dunia. Pasca-Restorasi Meiji, Jepang adalah negara yang mengadopsi teknologi yang berkembang di Eropa. Percepatan adopsi teknologi di negara ini kemudian terlaksana setelah Perang Dunia Pertama. Perang Dunia Pertama juga mendorong Korea Selatan mengadopsi teknologi yang dikembangkan Jepang. Dalam tempo tiga puluh tahun terakhir ini, Cina juga mampu mangadopsi teknologi di segala lini dengan cepat. Motor Cina (mocin) sebagai satu contohnya.

Untuk itu, kerjasama ASEAN dengan India, Cina, Jepang, Korsel, Australia dan Selandia Baru dalam East Asia Summit, ataupun kerjasama ASEAN dengan 3 negara (ASEAN+3: Jepang, Korsel, dan Cina) harus menjadi satu ajang yang lebih dari sekadar proses perdagangan barang dan jasa. Seharusnya juga negara-negara tersebut di atas membantu ASEAN dalam proses transfer teknologi di semua sektor yang diperdagangkan. Di samping itu, kesiapan institusi ASEAN untuk memberikan insentif bagi warga negaranya juga harus diperjuangkan secara paralel.

Kerjasama ASEAN dan Jepang:
Sebuah Kajian Transfer Teknologi yang Komprehensif untuk Pengembangan Ekonomi Produksi Kawasan di Masa Depan

1. PEMBUKAAN

Jepang, Korea Selatan, dan Cina adalah tiga negara di Asia Pasifik yang hari ini menjadi barometer perkembangan ekonomi dunia. Pasca-restorasi Meiji, Jepang berkembang pesat mengadopsi teknologi yang terlebih dahulu dikembangkan di Eropa. Setelah Perang Dunia Kedua, Korea Selatan juga bangkit mengembangkan teknologinya: mobil hingga barang elektronik dan perangkat telepon seluler menjadi andalan negara ini. Cina negara berpenduduk terbesar di dunia kemudian juga lebih cepat lagi mengadopsi inovasi negara-negara yang telah terlebih dahulu berinovasi. Kurang dari 30 tahun, Cina kini siap industri otomotif tak kalah canggih.

Dari daftar negara-negara anggota ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brunei), hanya Malaysia yang membangun ibukota baru yang hi-tech (Cyberjaya untuk komersial, dan Puterajaya untuk pemerintahan). Singapura juga memposisikan dirinya sebagai hub atau pintu gerbang industri berteknologi tinggi yang menghubungkan titik-titik perkembangan dunia seperti India, Cina, Jepang, dan Australia. Thailand juga maju dengan perkembangan teknologi di sektor agrikultur. Melihat progres perkembangan teknologi dalam negerinya, Indonesia, Filipina dan Brunei mungkin termasuk sejajar dengan negara ASEAN-4 (Myanmar, Laos, Kamboja dan Viet Nam). Walau sesungguhnya perkembangan di Viet Nam beberapa tahun terakhir ini juga cukup mencengangkan.

Faktor “T” dalam proses produksi di Indonesia dan beberapa negara anggota ASEAN ini memang terhitung rendah. Keunggulan komparatif produk-produk dari negara-negara ini masih jauh di bawah produk Cina atau Jepang. Bahkan, Thailand yang mampu mengembangkan inovasi-inovasi pertaniannya mampu menciptakan buah-buahan yang memasok banyak negara.

Perdagangan lintas-negara anggota ASEAN memang tidak besar bahkan cenderung tersendat. Salah satu alasannya adalah bahwa di antara negara anggota ASEAN adalah produsen barang yang sama, atau pengguna bahan yang sama. Alasan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah pengembangan serta transfer pengetahuan/teknologi antar-negara anggota ASEAN tidak terlalu signifikan. Kalaupun ada, terkesan seakan ada keengganan para negara anggota untuk saling berbagi pengetahuan.

Daftar Produk Ekspor/Impor ASEAN dan GPD 2004

Brunei Darussalam
Major Industry: Oil and gas, textiles, food and beverages, building materials
Major Export: Oil and gas, ready-made garments
Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemimals
GDP: US$ 5,4626.6 million

Cambodia
Major Industry: Textiles and Garments, Beverages, Food, Wood Processing
Major Export: Garments, Textile Product Sawn, Wood Furniture, Rubber
Major Import: Transport equipment and machinery, manufactured goods, food chemical
GDP: US$ 4,215 million

Indonesia
Major Industry: Pulp and paper, cement, basic metals and fertilizer, power generation, telecommunication, transportation
Major Export: Textile, electronic goods, footwear, oil & gas, plywood, sawn timber
Major Import: Chemical and pharmaceutical, fertilizer, cotton yarns, textile fabric, machines, motor vehicles
GDP: US$ 208,625 million

Lao PDR
Major Industry: Garment industry, wood-based and processing industries, electricity
Major Export: Coffee, electricity, clothing, wood and forest product and Gypsum
Major Import: Industrial machinery, chemicals, iron, electrical machinery and parts, oil, construction material and consumption goods
GDP: US$ 12,043 thousands

Malaysia
Major Industry: Electronic & electrical goods, textiles, clothing & footwear, chemicals and metal products and rubber
Major Export: Electronic & electric machinery, petroleum & LNG, textiles, clothes, oil, sawn timber
Major Import: Manufacturing inputs, machinery & transport equipment
GDP: US$ 103,737 million

Myanmar
Major Industry:Agro-based industries, textiles industries, steel mills
Major Export: Rice, teak, beans & pulses, rubber, coffee, minerals, gems marine products
Major Import: Power tillers, hand tractor, fertilizer, diesel oil, cement, dumper, loader, spare parts, water pumps, hydraulic excavator
GDP: US$ 9,605 million

Singapore
Major Industry: Electronics, chemicals, banking and finance, real estate, tourism
Major Export: Petroleum products, industrial machines, radio & television receivers, electronic component & parts, clothing, beverages & tobacco
Major Import: Crude petroleum, iron & steel, industrial machines, electric generators, electronic component and parts
GDP: US$106,818 million

Thailand
Major Industry: Electronics, gems/jewelry, footwear, textiles, clothing
Major Export: Textiles, computer & components, integrated circuits and parts, gems and jewelry, footwear
Major Import: Industrial machinery, iron & steel electrical machinery & parts, chassis body
GDP: US$ 143,303 million

The Philippines
Major Industry:

Priority sectors: construction materials, electronics, food, giftware and holiday decor, home furnishings, IT & IT-enabled services, marine products, motor vehicle parts and components, organic and natural products, wearables
Major Export: Electronic products; garments; ignition wiring set and other wiring set in vehicles, aircrafts, and ships; coconut oil; woodcrafts and furniture; products manufactured from materials imported on consignment basis petroleum products; metal components; cathodes and sections of cathodes of refined copper; fresh bananas
Major Import: Electronic products; mineral fuels, lubricants, and related materials; industrial machinery and equipment; transport equipment; iron and steel, cereal and cereal preparations; textile yarn, fabrics, made-up articles, and related products; telecommunications equipment and electrical machines, plastics in primary and nonprimary forms; organic and inorganic chemicals
GDP: US$86,123 million (2004) at current market prices

Viet Nam
Major Industry: Agriculture, forestry, fishery, industrial construction
Major Export: Crude oil, coal, chromium, tin, cements, woolen carpet, jute carpet, rich cinnamon, marine products
Major Import: Motors, petroleum products, diesel oil, fertilizers
GDP: US$ 39,021 million
Data diambil dari www.ASEANSEC.org


2. Tren politik di setiap negara

Tahun 2006 ini, Thailand mengalami fase khusus: kudeta damai pasukan militer Thailand terhadap Perdana Menteri Thaksin Sinawatra. Selain itu, masalah selatan masyarakat Islam di selatan Thailand yang terus menjadi satu masalah lain.
Negara anggota ASEAN lain juga terus mencari format demokrasi yang terbaik bagi negara dan bangsanya. Menjalani perubahan demokrasi terstruktur, Gloria Macapagal-Arroyo, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Abdullah Badawi juga Lee Hsien Loong tetap harus menghadapi masalah terorisme. Salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama, yaitu counter-terrorism efforts, tiga negara Indonesia-Malaysia-Singapura menyelenggarakan patroli bersama di Selat Malaka. Hal ini juga untuk memberantas pembajak laut yang meresahkan pengguna jalur laut di sana.
[1]

Selain itu, ada beberapa catatan khusus selama setahun terakhir:
- Myanmar: Aung San Suu Kyi dan reformasi politik,
- Brunei Darussalam: Sultan Bolkiah dan “kehadiran” Badan Legislatif yang vakum semenjak 1962,
- Kamboja: pengesahan pemimpin baru, Raja Norodom Sihamoni yang masih muda dan kontroversi dia sebagai mantan penari balet

Kerjasama counter-terrorism ini juga didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, dan India. Tim Huxley (2005) menyatakan bahwa di bawah permukaan kerjasama keamanan ini adalah “keamanan suplai minyak” dari negara-negara di ASEAN. Untuk itu, kerjasama keamanan antara negara-negara ASEAN dan beberapa negara lain tersebut di atas kemudian meningkat menjadi kerjasama ekonomi di berbagai sektor.


3. Tren ekonomi DAN ASEAN Economic Community

Pasca-krisis 1998, negara-negara ASEAN berbenah diri di bidang politik. Di bidang ekonomi, tidak semua negara anggota cepat mengadopsi perubahan. Indonesia dan Filipina adalah dua di antara yang berjalan lamban dibanding Viet Nam, Malaysia, dan Singapura.

Membaiknya situasi politik dan ekonomi di negara-negara anggota ASEAN menjadi penentu utama dalam proses integrasi ekonomi ASEAN (yang akan diwujukan dalam ASEAN Charter 2020 dan diajukan menjadi 2015). Sesungguhnya tujuan dari ASEAN Economic Community (salah satu pilar ASEAN Charter 2020) adalah “common market minus”, yang disampaikan oleh Laporan ASEAN-ISIS 2003 “Towards an ASEAN Economic Community”.
Jika ASEAN-ISIS mengusung istilah “common market minus”, Kajian ISEAS 2003 tentang “Concept Paper on the ASEAN Economic Community” mengajukan konsep “FTA-plus”
[2]:

However, as it stands, ASEAN governments are not even prepared to create a customs union let alone a European-style common market... Given the different degrees of opennes and stages of economic development among ASEAN countries, forming a customs union would be extremely difficult to achieve by the given deadline... [it] would be more realistic to envisage the end-goal of the AEC as an “FTA-plus” arrangement that covers a zero-tariff ASEAN free trade area and some elements of a common market. An “FTA-plus” AEC by 2020 would have the following characteristics:

  • Free movement of goods, services, investments, and capital. This would include achieving a zero-tariff free trade area and the elimination of all non-tariff barriers;
  • An attractive regional production platform that would be a magnet for FDI;
  • Free movement of skilled labour and creative talent;
  • Free movement of tourists from all ASEAN countries;
  • Harmonization of customs procedures and minimization of customs requirements;
  • Harmonization of standards that are consistent with international standards, and;
  • A well-developed innstitutional and legal infrastructure to facilitate the economic integration of ASEAN.


Menggarisbawahi “different degrees of opennes and stages of economic development”, saya juga melihat bahwa fondasi hukum dan politik setiap negara yang terlampau beragam. Untuk itu, diperlukan sebuah alternatif kerjasama ASEAN yang lebih feasible. Hubungan ASEAN dan negara-negara lain di Asia-Pasifik seperti Korea Selatan, India, Cina, Jepang, Australia dan Selandia Baru bisa jadi sebuah alternatif yang menguatkan perdagangan internasional ASEAN tanpa harus “membabat” struktur hukum dan politik setiap negara anggota.
Kerjasama ASEAN+3 atau negara-negara ASEAN dan Cina, Jepang, Korea Selatan kemudian menjadi keharusan. Hal ini mengingat bahwa beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi ketiga negara tersebut terakhir naik pesat.

Beberapa tahun ini, investasi Jepang dan Korsel di Cina meroket, Cina menjadi trading partner terbesar bagi Jepang, dan Korsel menjadi eksportir besar dunia. Jika tidak sigap, ASEAN akan berada di titik kritis perekonomian dunia, atau setidaknya di kawasan Asia-Pasifik.

Konsep ASEAN+3 berasal dari proposal Mahathir Mohamad “East Asia Economic Group” di saat kunjungan pemimpin Cina Li Peng akhir tahun1990 ke Malaysia. Baru pada tahun 1997, Malaysia sebagai konseptor ini dan tuan rumah informal pertemuan ASEAN+3 mempertemukan pemimpin Jepang, Korsel dan Cina dengan petinggi negara anggota ASEAN.

Pertemuan terakhir di Malaysia tahun 2005 adalah meningkatkan ASEAN+3 kemudian ditingkatkan menjadi pertemuan tingkat tinggi East Asia Summit yang juga mengikutsertakan Australia, Selandia Baru, dan India.

Secara bertahap, negara-negara ini mendalami kerjasama Asia Timur. Di tahun 1998, Presiden Korea Kim Dae Jung mengusulkan pembentukan East Asia Vision Group untuk mengkaji “concrete ways to nurture East Asia into a single community of cooperation, serving as the basis for the countries of the region to start the discussion on the related issues in earnest.”[3]

Perkembangan politis dalam kerangka peningkatan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN harus disikapi lebih kritis lagi. Salah satu kasus yang akan saya ambil sebagai contoh awal kritisi kerjasama ini adalah melihat kerjasama ASEAN dan Jepang secara khusus.

4. KRITISI ATAS KERJASAMA ASEAN DAN JEPANG: sebuah kajian transfer teknologi

Saya akan memfokuskan pada kerjasama ASEAN-Jepang. Beberapa alasannya adalah:

  • Jepang merupakan negara pengadopsi teknologi Eropa paling awal di Asia-Pasifik.
  • Jepang merupakan negara pertama yang mempunyai standar transfer teknologi universitas dan dunia industrinya.
  • Informasi yang tersedia tentang transaksi perdagangan Jepang-ASEAN terbuka untuk publik, melalui situs www.ASEAN.or.jp.

Kritisi atas kerjasama ASEAN dan Jepang ini tidak harus sebatas statistik inflows dan outflows dari setiap negara anggota ASEAN. Transfer teknologi—satu frasa yang telah diterapkan di negara Eropa dan Amerika semenjak 1995—harus ditemukenali dalam diplomasi kerjasama kedua pihak. Syarat “perkembangan teknologi” mutlak menjadi faktor pembangunan sebuah kawasan ASEAN yang bisa berkembang secara berkelanjutan di tengah kompetisi global yang kian tajam. Be hi-tech, or be left behind.

Namun, melihat sifat umum orang Jepang yang “pelit berbagi ilmu dan teknologi”, saya pesimis kerjasama ASEAN-Jepang ini akan berbuah menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan bagi negara anggota ASEAN. Jepang hanya melihat ASEAN sebagai sumber dari migas, pasar ekspor, relokasi industri manufaktur.

Sumber daya alam dan manusia yang melimpah akan habis dikuras oleh industrialis seperti Jepang, namun pertumbuhan ekonomi yang diraih negara-negara ASEAN mungkin tidak akan meningkat secara signifikan.
Sebagian besar negara anggota ASEAN seakan melupakan faktor “T” atau teknologi dalam segenap proses produksi di dalam negerinya. Oleh karenanya, produk-produk dari negara ASEAN belum bisa berkompetisi dengan produk berkualitas yang dihasilkan Jepang, misalnya produk elektronik dan tekstil.

Produk tekstil Jepang, misalnya, bahkan dikaji secara khusus oleh negara adidaya Amerika Serikat. Tahun 1996 Pemerintah Amerika Serikat menegaskan:
[report of] Trends in Japanese Textile Technology shows that the emergence of a worldclass textile technology in Japan resulted from close cooperation among all segments of the industry, including producers of fibers and yarns, fabrics, apparel, and processing equipment. All the producers are driven by a relentless attention to product quality. Japan is working hard to maintain its technical leadership by increasing the pace of process innovation and expanding longer-range fundamental research in both materials and manufacturing.
[4]

Proses produksi dengan menekankan pada efisiensi dan efektivitas ditunjang dari berbagai penjuru:

Practically every facet of the industry is covered from technological advances in fiber and yarn manufacturing, fabric making, apparel design and production, and the development of related equipment to the economics of offshore production and the role of government.[5]

Penekanan pada inovasi teknologi ini juga ditegaskan oleh ilmuwan Jepang yang meneliti tentang produksi dan pasar ASEAN. Ushiyama (2005) meneliti keunggulan kompetitif dari produk tekstil dan aparel Cina dan Jepang dibanding dengan produk tekstil/aparel ASEAN.

The quotas [of Multilateral Fiber Agreement], however, are to be eliminated entirely by January 1, 2005 according to the rules established by World Trade Organization (WTO). With this, trade in textiles and apparels will be completely liberalized, and China and India is likely to further increase their presence in the US and European markets, which combinedly account for some 40 percent of world textile product imports, as the two countries have higher overall competitiveness including manufacturing cost, scale and product quality than other exporters. There is even a forecast for an increase in US import market share of China to 50 percent, compared with 16 percent in 2002.[6]

Tekstil dan produk-produk unggulan lain dari Cina dan Jepang memang telah masuk ke Indonesia dan negara-negara ASEAN tanpa kecuali.

Sedangkan ekspor Jepang ke ASEAN adalah ekspor produk-produk hi-tech (lihat lampiran), seperti:

  1. Machinery other than electric - power generating machinery - computer and units - parts of computer - metalworking machinery - pumps and centrifuges - construction and mining machinery - mechanical handling equipment - heating and cooling equipment - textile machines
  2. Electrical machinery, apparatus and appliances - thermionic, valves, tubes, semiconductor devices, IC, etc. - visual apparatus (VCR, TV broadcast receivers) - audio apparatus - parts of audio and visual apparatus - electric power machinery - telecommunication apparatus - electrical measuring and controlling instruments - batteries and accumulators
  3. Transport equipment - road motor vehicles excl. cycles, - passenger motor cars, - buses, trucks and special purpose lorries, - parts of road motor, vehicles.
  4. Others - scientific, medical, optical instruments - photographic and cinematographic supplies - blank/recorded media

Selain keempat kategori besar di atas, ada empat kategori lain yaitu food stuff, raw materials, mineral fuels, chemicals manufactured goods classified. Hanya saja, produk-produk hi-tech dari Jepang ke ASEAN ini menempati porsi besar: 72,4%!

Produk-produk yang diekspor oleh ASEAN ke Jepang atau negara lain akan kalah bersaing mengingat kualitas yang kian tertinggal, seperti yang ditegaskan oleh Ushiyama. Selain hambatan perdagangan yang diciptakan WTO (MFA atau Multilateral Fiber Agreement) yang memberi kuota terhadap tekstil dari negara-negara berkembang ke Eropa dan Amerika, pasar yang kian sempit ini akhirnya harus memberi jalan ke tekstil Cina yang lebih murah atau tekstil Jepang yang lebih berkualitas. Satu contoh yang mengalami kerugian dari keadaan ini adalah Kamboja. Ekspor aparel (baju dan celana) dari Kamboja adalah sebesar 80% dari total nilai ekspornya[7].

Hantaman terhadap Kamboja ini, sebagai contoh, bisa dipertimbangkan untuk pencarian/pencapaian solusi negara anggota ASEAN secara keseluruhan dalam pertemuan East Asia Summit yang akan datang.

Saya merekomendasikan juga, bahwa sesungguhnya ada solusi lebih konkret yang harus menjadi pertimbangan institusional ASEAN secara internal. Negara-negara ASEAN yang belum mempertimbangkan faktor “T” secara serius dalam proses produksinya wajib menekankan hal ini ke dalam negeri masing-masing (inside-outside process).

Kemudian saya juga mengusulkan negosiasi dengan negara-negara non-anggota ASEAN yang terkait dalam East Asian Summit nanti untuk dapat membantu proses transfer teknologi ke ASEAN.

5. REKOMENDASI: Transfer teknologi dalam Proses Produksi untuk Masa Depan ASEAN (sebuah proses inside-outside dan outside-inside)

Ada dua hal yang bisa dikaji. Proses inside-outside serta outside-inside. Penguatan institusi ASEAN dengan perangkat transfer teknologi antar-negara anggota adalah proses inside-outside. Sedangkan, kerjasama East Asia Summit harus menjadi satu ajang untuk mempertimbangkan proses outside-inside (dari negara maju untuk ASEAN) agar kerjasama antar-pihak ini adalah kerjasama mutualisma dan berkelanjutan.

a. Inside-outside process of tech transfer
Telah lama negara-negara Eropa dan Amerika Serikat merintis proses transfer teknologinya secara internal. Transfer teknologi yang dimaksud adalah proses riset teknologi segala sektor di universitas, yang bisa dipakai langsung untuk pengembangan dunia industri mereka. Khususnya Amerika Serikat, universitas sebagai pusat riset teknologi adalah keharusan setiap negara bagian.
Semenjak tahun 1995, mekanisme donor/fund dan insentif untuk universitas telah menjadi aturan hukum federal di sana. Board of Regents Policy dari Universitas Minnesota telah menetapkan paket insentif terhadap peneliti di sana.

Paket insentif ini diambil dari pemasukan dari intelellectual property yang dibayarkan oleh industri yang menggunakan penemuan atau inovasi milik universitas tersebut. Perhitungannya adalah[8]:
- 33,3% untuk kreator
- 33,3% untuk Office of the Vice President of Research untuk mendukung riset yang lain
- 8% untuk administrasi sekolah tempat riset dilakukan, dan
- 25,3% untuk administrasi fakultas atau pusat kajian tempat riset dilakukan.

b. Outside-inside process of tech transfer
Jepang dengan ketergantungan pasokan minyak, gas, dan kandungan mineral lain yang cukup tinggi terhadap negara ASEAN harus bisa memahami kerjasama mutualisma ini. Sebaliknya, ASEAN juga harus bisa memposisikan diri sama tinggi dengan Jepang, atau negara lain yang tergabung dalam East Asia Summit ini. Untuk itu, diplomasi ASEAN adalah menjamin adanya transfer teknologi. Kekuatan hukum “transfer teknologi” menjadi penting, karena Pemerintah Cina dipermasalahkan oleh industri elektronik di Eropa karena copycat standar digital DVB (digital video broadcasting) tanpa membayar royalti atas paten
[9] DVB.


6. PENUTUP: Insentif terhadap Transfer Teknologi

Di saat perusahaan melakukan “merging, acquiring, leaving, dying, entering, growing, downsizing, outsourcing, and spinning off”, transfer teknologi menjadi satu obat mujarab.

ASEAN memang belajar dari kesalahan kerjasama perdagangan yang ada di dunia. Di lain pihak, proses pembelajaran atas produksi yang lebih efisien dan efektif di tengah persaingan global ini, menjadi keharusan pembenahan institusi. Payung hukum dan paket insentif yang jelas untuk pengembangan teknologi dan transfer teknologi di internal ASEAN harus segera dituntaskan.

Ada satu contoh konkret insentif atas riset yang berguna langsung terhadap industri: seorang peneliti warga negara Indonesia mengajar dan melakukan riset di Universitas Chiba, tempatnya menyelesaikan program S2 hingga S3.

Sayangnya, temuan Josaphat Tetuko Sri Sumantyo PhD, sang peneliti ini, yang berupa antena satelit ringan dan tembus pandang, telah dipatenkan atas nama almamaternya:

Antena ini bisa dipasang pada setiap laptop sehingga langsung bisa berkomunikasi dengan satelit atau diselipkan di balik atap mobil sehingga ke manapun mobil itu pergi, ia akan bisa berkomunikasi. Tiada lagi blank spot. “Sebuah produsen mobil di Jepang sudah membayar hak paten untuk memproduksi antena itu sebagai perangkat komunikasi standar di setiap mobil buatannya.” (Kompas, 2 Januari 2007, halaman 16)

Artinya kemudian, penemuan Josaphat tidak menjadi milik negeri kelahiran peneliti ini, yaitu Indonesia. Sistem insentif yang tidak jelas, atau penghargaan/perlindungan terhadap intellectual property yang dihasilkan oleh peneliti seperti Josaphat ini yang juga belum jelas di negeri kelahirannya menjadi satu kendala pengembangan teknologi di Indonesia.

Untuk langkah-langkah pembelajaran selanjutnya di Indonesia atau negara-negara anggota ASEAN sebagai developing countries, harus dikembangkan faktor “T” dalam proses produksi segala lini, horizontal ataupun vertikal. Teknologi dan pengembangannya—untuk langsung digunakan dan dikembangkan oleh industri dalam negeri—harus segera menjadi paket kebijakan khusus, baik dalam institusi ASEAN itu sendiri, ataupun dalam pertimbangan kontrak kerjasama ASEAN+3 hingga kerjasama East Asian Summit di masa mendatang.

7. Bibliografi

a. Buku
Aaron Chaze. India: An investor’s Guide to The Next Economic Superpower. John Wiley & Sons. Singapore, 2006.
Denis Hew (ed.). Roadmap to an ASEAN Economic Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
John E. Berkowitch. Trends in Japanese Textile Technology. Laporan untuk U.S. Department of Commerce, Office of Technology Policy, Asia-Pacific Technology Program. Washington DC, 1996.
K. Kesavapany, Chin Kin Wah, Daljit Singh, dan Dayaneetha De Silva (ed.). Southeast Asian Affairs 2005. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2005.
Rudolfo C. Severino. Southeast Asia in Search of An ASEAN Community. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.
Ryuichi Ushiyama. Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations. Japan Center for Economic Research. Kyoto, 2005.
Samuel Bassey Okposin, Abdul Halim Abdul Hamid, dan Ong Hway Boon. The Changing Phases of Malaysian Economy. Pelanduk Publications Sd Bhd. Selangor Darul Ehsan, 2005.
Saw Swee-Hock dan K. Kesavapany. Singapore-Malaysia Relations. Institute of Southeast Studies (ISEAS) Publication. Singapore, 2006.

b. Situs dan media cetak
Kliping harian Kompas, 2 Januari 2007
The Economist, The World in 2007
www.abu.org.my
www.asean.or.jp
www.umn.edu
www.wikipedia.org


Footnote

[1] Tim Huxley, Southeast Asia in 2004, Stable but Facinf Major Security Challenges, ISEAS, Singapore, 2005:3.
[2] Denis Hew, Southeast Asian Economies: Towards Recovery and Deeper Integration, Southeast Asian Affairs 2005, ISEAS, Singapore, 2005:57.
[3] Rodolfo C. Severino, Southeast Asia in Search of An ASEAN Community, ISEAS, Singapore, 2006:267.
[4] John E. Berkowitch, Trends in Japanese Textile Technology, U.S. Department of Commerce, Office of Technology Polic, Asia-Pacific Technology Program, 1996:5.
[5] Ibid, halaman 7.
[6] Ryuichi Ushiyama, Textile Trade Liberalization: Concerns about Widening Gaps among ASEAN Nations
Japan Center for Economic Research, 2005:1.
[7] Ibid,, halaman 7.
[8] www.umn.edu
[9] www.abu.org.my, posting tertanggal 12 Desember 2006

No comments: