Friday, February 8, 2008

Productividad, Produktivität, Productivité, Productiviteit

Januari 31, 2008

Sore ini, sepulang dari Rawamangun, saya memicingkan mata saat memerhatikan kehidupan di satu daerah kumuh (yang tak tahu nama pastinya) di sekitar Jl Letjen Suprapto Jakarta Pusat.

Waktu masih menunjukkan pukul 15.30 dan sepanjang 1 km jalan saya temui sekitar 300 orang segala usia duduk-duduk, lari-lari, tertawa, menonton, melamun di ujung gang, di pos jaga, atau di depan warung. Hanya sekitar 20% yang masih di bawah dan di atas usia produktif. Saya meneruskan perjalanan…

Setibanya saya di salah satu kantor pemerintah yang berdiri megah mewah 8 lantai, meja-meja kosong. Dari 20 meja yang ada, hanya ada 5 orang duduk. Satu menelepon tertawa-tawa, satu bermain game di komputer, dan satu berdandan memegang cermin. Hanya ada dua orang yang benar-benar bekerja: satu membereskan dokumen dan satu duduk mengetik membelakangi saya (sehingga saya bisa melihat layar monitornya). Jam di telepon genggam saya masih menunjukkan angka 15.45.

Keluar dari kantor itu, saya temui banyak tukang ojek di pojok jalan dan di seberang jalan. Lebih dari sepuluh orang duduk menunggu penumpang. Saya pernah kenal satu tukang ojek yang bermodalkan motor kredit (cicilan Rp 500 ribu per bulan). Bagaimana ia harus menunggu penumpang dari jam 6 pagi hingga 8 malam untuk bisa mengantongi uang Rp 50 ribu per harinya. Ia harus membayar uang “kamar” bersama anak dan istrinya seharga Rp 200 ribu per bulan. Makan sehari bisa Rp 10-20 ribu sehari. Belum uang rokok. Uang sekolah bisa jadi masuk daftar terakhir.

Di rumah, 3 dari “asisten rumah tangga” saya hanya bisa mengecap pendidikan SD. Dua orang lulus SD dan hanya 1 yang hanya bisa sampai kelas 2 SD. Usia mereka sekarang antara 18 tahun hingga 24 tahun. Yang berusia 24 tahun ini sudah memiliki anak 4 dan ditinggal di rumah bersama suami yang buruh pabrik rokok. Di RT sebelah bahkan ada yang “mempekerjakan” Siti, anak dari si Mbok tukang cuci yang masih berusia 10 tahun! Tak sekolah sejak dua tahun lalu, Siti sekarang momong anak bayi berusia 2 tahun. Ya ampun, dia sendiri masih bayi!

***

Melihat kondisi pendidikan (yang katanya 9 tahun wajib berlajar itu!) yang seakan jalan di tempat, tentulah terkait erat dengan lemahnya produktivitas nasional kita. Faktor-faktor produktivitas yang lemah tak boleh dibebankan kesalahannya pada “nasib”. Untuk menghitung produktivitas, semudah menghitung berapa banyak barang yang dihasilkan dibagi dengan waktu atau biaya untuk memproduksinya. Masuk dalam pertimbangan ini adalah kerusakan (defectives) yang juga dihasilkan. Para pekerja jasa, lebih spesifik lagi: pekerja informasi, juga dikaji dari hasil yang rusak (dokumen atau film yang dibuat dalam perhitungan satuan jam).

Thomas dan Barons (1994) menegaskan bahwa mengevaluasi produktivitas haruslah konsisten, bahkan ada sebagian yang tak akurat mengingat pokok utama produktivitas adalah untuk menemukan perubahan. Mereka menyarankan agar banyak faktor digunakan untuk menentukan, khususnya, pekerja jasa dalam menghasilkan produk barang dan jasa yang berkualitas. Pertanyaan selanjutnya bagaimana menilai kualitas. Salah satu pertimbangan utamanya adalah waktu: berapa lama satu orang melayani pelanggan agar pelanggan puas, atau berapa lama saya mengetik satu dokumen yang rapi.

Dari sekian sektor yang bisa digarap di sebuah kota besar bernama Jakarta ini, sungguh menyedihkan kuantitas penyerapan. Lebih menyedihkan lagi adalah kualitas manusia yang bekerja di sektor non-formal (pemilik warung, pedagang gerobak hingga asisten rumah tangga).

Kasat mata, jika dahulu Bi Nem yang menjaga saya tak bisa baca-tulis, sekarang memang Mbak Yati yang jaga anak-anak bisa sekolah sampai 2 SD. Tiga puluh tahun pergerakannya hanya “begitu”?

Bandingkan dengan negara-negara tetangga. Australia bahkan memiliki satu badan khusus menangani evaluasi regulasi yang terkait langsung produktivitas di semua sektor dan lapis produksi. (klik sini untuk laporan Australian Productivity Commission tahunan edisi terakhir, pdf 2 Mb). Di Indonesia, terkait hal yang sama sepertinya baru dilalui tahapan “transparansi dokumen regulasi” (klik di sini untuk beberapa rancangan undang-undang yang sedang digodok di DPR baik tingkat komisi, pansus ataupun baleg, html). Negeri ini belum tiba pada tahapan “evaluasi regulasi terhadap produktivitas nasional”.

Hari ini saya juga sedikit tidak produktif. Setengah hari melayat adik sepupu jauh yang meninggal karena komplikasi otak sepulang dari bekerja di Berau, Kalimantan. Usianya belumlah 30. Saya berpikir, seorang yang produktif dipanggil Tuhan, dan mereka yang sehat seperti saya dan 300 penduduk di daerah kumuh tadi; mengapa kita kurang menghasilkan? Regulasi mana yang harus ditegakkan segera?

Pilkada Conundrum by Nadhlatul Ulama

Januari 30, 2008

Lama tidak membahas otonomi daerah. Lama tidak diskusi di kelas. Lama tidak bergosip di kantin (sekali lagi gosip berat, orang uzur seperti saya sebaiknya bahas paper kuliah daripada habiskan waktu bicara tentang Mayangsari yang satu SMA dengan tetangga saya).

Hari ini mungkin hari perenungan “otonomi daerah” (otoda) yang telah saya pelajari dari banyak orang, termasuk “guru” online Pak Dadang Solihin. Tak pernah bertemu muka, tak pernah kenal sebelumnya IRL, tapi saya kagum dengan riset detail Pak Dadang. Tulisan-tulisan beliau bisa ditemui di www.slideshare.net atau bisa lewat situsnya www.dadangsolihin.com.

***

Itu tadi tentang Pak Dadang yang memang ahlinya otoda.

Sekarang soal otoda itu sendiri. Lebih spesifik lagi, langkah terawal mewujudkan otoda untuk kemaslahatan daerah: Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Hari ini saya berpikir otoda dan pilkada sedang berada di persimpangan jalan antara “diminishing return” dan “take-off”. Tak harus terjadi konsepsi yang menjadi aus atau melepuh di tengah jalan. Tak juga harus dihentikan sebelum evaluasi. Tak juga harus diarahkan untuk dihentikan…

***

Minggu lalu ada pernyataan dari Pak Hasyim Muzadi atas nama NU, sebuah instansi yang saya kagumi, bahkan sekali saya terlibat diskusi sebagai pembicara atau sesekali juga sebagai pendengar “selundupan”. Inti pernyataan Pak Hasyim pasca-pertemuan dengan Presiden SBY, secara singkat begini: “Pilkada mengkotak-kotakkan warga NU!”

Yang terjadi di beberapa media massa kita adalah berita yang diplintir (spin) seperti ini: “NU tolak Pilkada yang memboroskan uang negara.”

* tercenung *

Saya selalu berpikir bahwa bacaan setiap orang tidak sama. Selain bacaan, pengalaman empiris juga memberi porsi tersendiri bagi setiap orang; sehingga yakinlah argumen akan selalu muncul saat seseorang berdialog dengan orang lain. Istilah keren untuk payung semua ini adalah “asymmetric information”. Media massa di Jakarta, mari kita sikapi perihal pilkada ini lebih arif. Ada hal lebih besar daripada sekadar “menggoreng isu.”
***

Soal pengalaman keliling Indonesia, mungkin saya hanya 0,001% dibanding guru saya yang paling santun sedunia, Pak Bondan Winarno (selamat malam, Pak, watch out for carb and kecap). Saya memang tidak ekstensif keliling Indonesia, namun di setiap sudut kota yang saya kunjungi terasa sekali geliat demokrasi. Termasuk pula geliat pembangunan fisik yang positif pasca-1998.

Saya merasakan nikmatnya keliling Indonesia, bahkan ada rasa bangga bercampur sedih saat menjejakkan kaki di satu daerah. Bangga saat melihat indahnya langit, hijaunya hutan, beningnya air pantai. Sedih saat mendapatkan air minum susah dan listrik byar-pet di luar Pulau Jawa. Tak mudah menemui Kentucky Fried Chicken di setiap pojok pasar, mimpi saja jika mau mencari Macanudo Cigar Club. Isu “sentimentil” ini buat media massa di Jakarta adalah isu kurang seksi dibanding “tolak Pilkada karena boros!”

***

Pernahkah ada kajian berapa banyak sesungguhnya non-voters di negeri ini? Sensus penduduk yang hukumnya wajib bagi setiap sektor di negara ini saja masih tertatih-tatih. Salah satu penyebabnya memang biaya yang sangat besar jika ingin komprehensif.

Lalu apa kabar data non-voters yang cuma satu sektor saja (”sektor” demokratisasi?).

Jika pilkada di seluruh Indonesia adalah sebuah proses mahal, salah satu penyebabnya adalah laggard informasi yang cukup signifikan antar-daerah, karena usia, dan banyak alasan lain.

Saya ingat betul waktu itu Nenek saya jatuh cinta pada Amien Rais dan bahkan jauh-jauh hari mengurus kepindahan kartu pemilih dari Surabaya ke Jakarta; sayangnya beliau harus gigit jari saat hari-H ditolak mencoblos karena belum pernah mendaftar ulang ke TPS di rumah Jakarta. Informasi adalah segalanya.

Golput juga meraja di Amerika Serikat, sebesar 16% antara tahun 1997 hingga 2000. Masalahnya bukan “tidak terinformasikan”, tapi sebaliknya, mereka lebih paham dan matang untuk menentukan pilihan. “This year, the candidates sux.”

Lalu berapa banyak non-voters di Indonesia? Seberapa jauh information gap antara voters dan non-voters yang tercatat di setiap KPUD? Apa penyebab mereka tak memberikan suaranya?

Jika telah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara akurat, bagaimana solusi untuk merekatkan jurang informasi ini?

Pertanyaan selanjutnya, jika telah sukses memilih langsung kepala daerahnya, seberapa besar pertumbuhan satu daerah karena pemimpin baru ini? Sudahkah ditabulasi semua ini? Sudahkah diberitakan proses dan hasil ini?

***

Yap, awalnya adalah information gap atau asymmetric information. Di sini justru peran media massa mendapat porsi dan fungsi signifikan. Informasi asimetris antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa harus dituntaskan.

Saya kerap berdialog dengan kawan-kawan di daerah. Silaturrahim saya adalah, salah satunya, mengirim materi salah satu draf RUU, yang baru saya lakukan seminggu lalu. Tak semua daerah bisa mengakses www.indonesia.go.id untuk mendapatkan dokumen akurat. Kalaupun kawan-kawan saya terkoneksi dengan internet, mereka harus memiliki “seni tersendiri untuk meng-google” (meminjam istilah suami saya) untuk mendapatkan naskah atau berita yang diinginkan.

Di lain sisi, geliat demokratisasi di segala bidang melahirkan jiwa-jiwa baru untuk membangun daerahnya. Di saat Pak Hasyim menyatakan “jangan mengkotak-kotakkan NU dengan Pilkada”, beberapa media massa memlintir (spin) berita ini dengan judul “tolak Pilkada”.

Tak elok rasanya membuat sensasi dari apapun; apalagi jika bisa bergulir tak terkendali. Reformasi segala bidang memang sudah waktunya tutup buku? Ataukah media massa kita tak pernah merasakan “bangga dan sedih” bercampur jadi satu saat berkunjung ke daerah-daerah…

***

George W. Bush is seen crossing the Potomac river on foot.
The Washington Post : “President Bush crosses the Potomac River”.
The Washington Time : “Bush’s conservative approach saves taxpayers a boat”.
Mother Jones : “Bush can’t swim”.

Bill Needs Melinda

Januari 30, 2008

Some people just hate his guts. He’s shy actually.

Some say she complements him. She’s the train, he’s the wreck. Or the other way round.

They surely have made lots before and after the bind 14 years ago. Both are philanthropists of making the world a better place. Seriously? They just try to keep their empire floating. Everyone shall always remember how good their company at the end of the day. Surely, I do. I am stuck with Winsux today. Further on, I want to learn Chinux (from China) or Cirebonux (yeah right…)

The Bill & Melinda Gates Foundation has assets of $37.6 billion, making it the world’s largest.

Yes, they have earned ‘em. They subsequently need to focus and float ‘em. Keep ‘em alive for what?

Just A Thought

Already Jan. 30. Just now, after a quick napping I made some hot tea. Need to freshen up to start writing a loooong due presentation. Sipping my tea, I started reading J Kristiadi’s column (again) in Kompas Jan. 29. His writings always soft but sharp.

Thinking and putting thoughts into good writings required 3 things:

  • the thoughts (of course),
  • hard work (exercising in the brain is more than muscle-wise work), and
  • experience in writing (how many thousands of letters and rejections, this matters most).

I don’t like writing poem, btw. I used to. I don’t like writing journals. I used to, too. I just find it easier today to express thoughts in longer longer words. I hated the skyrocketting tempe price and kedelai v. corn; I wrote them. I searched long hours just to find out how agrobusiness really worked out. I wrote them in 10 minutes. I love the idea of sertifikasi guru, I wrote it. Many many more things I read and think in a day, I just wrote them. Thanks for sharing.

Pemilu 2009: Expecting Bloopers & Blunders

Januari 29, 2008

Sambil ngopi sore, di hadapan saya ada Lagak Jakarta edisi Huru-Hara [Hura-hura] Pemilu ‘99 karya adorable duo Benny & Mice. Ufh, sepuluh tahun ya? Satu coretan yang langsung membuat saya tertawa ada di halaman 59: Sebel Tapi Rindu. Di sana digambarkan seorang pemuda gondrong duduk merokok dan memikirkan “kayaknya ada yang kurang [di Pemilu 1999 kali ini].” Terus si pemuda berpikir keras dan jawabannya adalah “Harmoko!”.

Secara sumir saya mengingat sosok Pak Harmoko saat tampil di televisi dan koran; dan pastinya satu hal yang paling dikuasainya: most controlled public speaking. Susah memang menguasai audiens secara langsung atau tak langsung. Latihan adalah guru terbaik untuk menangani masalah jika tampil di depan umum. Penguasaan gesture tubuh dan mimik, kendali intonasi dan kecepatan berbicara hingga cara berpakaian harus dilatih. Bung Karno berlatih di depan ombak pantai, sahabat saya Lula Kamal selalu berlatih di depan cermin, tapi banyak yang melakukannya dalam hati saja.

Yang terakhir adalah mereka yang biasanya mendapatkan hasil that stupid look on your face. Kalau sudah begini, terjadi bloopers & blunders yang akan direkam media massa seumur hidup hingga anak cucu. Lebih buruk lagi, penampilan yang tidak meyakinkan audiens berarti hilangnya potensi orang yang akan memilih mereka ataupun partai mereka. The most fatal bloopers & blunders would be when they are unprepared; might as well they are not showing up at all! Anyhow, learn from the best.

Here’s some I could recollect: there were clothing blunders by Ibu Megawati before she became president; and there went mocking of “R” pronunciation difficulty by Pak Akbar Tanjung. Their appearances were perfected eventually, thus became minor attention in respect to total quality performance.

Indonesia on The Move, atau Baca Indonesia Baca!

Desember 29, 2007

Paul A. Samuelson (2002) mengangkat isu adanya akademisi seleb sebagai “Nobel Prize Disease”, jauh sebelum Al Gore mendapat Nobel Perdamaian. Ulrike Malmendier dan Geoffrey Tate (2005) menyebut “Sports Illustrated Jinx” untuk olahragawan seleb yang menurun prestasinya tapi kerap tampil modis, atau “Sophomore Jinx” untuk pemain film yang debutnya gagal.

Malmendier dan Tate juga mengkaji superstar CEO yang ternyata terbukti secara empiris tidak menghasilkan pemasukan berarti bagi perusahaan yang mereka pimpin. Harga saham perusahaan menurun, pemasukan juga tidak kunjung membaik selama mereka menjabat (baca tulisan Malmendier & Tate di sini).

***

CEO di perusahaan multinasional di Amerika seperti Michael Eisner (The Walt Disney Company) juga dianggap dibayar terlalu tinggi sementara kiprahnya membuat Disney nyaris bangkrut. Selama tahun 1998, satu orang bernama Eisner mendapat US$565 juta yang bernilai sama dengan honor 65.700 pegawai Disney setahun di seluruh dunia dengan angka pukul rata US$8,600 per kepala.

Eisner juga adalah sosok flamboyan. Ia menulis beberapa buku di antaranya Work in Progress dan Common Sense and Conflict: An Interview with Disney’s Michael Eisner. Lebih banyak lagi buku tentang Eisner ditulis orang lain. Eisner juga lebih banyak hadir di acara-acara gala dan menerima penghargaan mulai NAB Hall of Fame Awards hingga Exemplary Leadership in Management Award (ELMA). Ia juga senang berseteru dengan cucu dari Walt Disney yang menyebabkan dirinya mengundurkan diri tahun 2005.

Selama menjabat CEO Disney, Eisner sendiri tercatat banyak mengambil keputusan-keputusan yang merugikan korporasi. Memberi pesangon pimpinan studio Jeffrey Katzenberg yang seharusnya bernilai US$60 juta menjadi $280 juta. Dia juga membangun theme park di luar Paris sementara sentimen rakyat Perancis terhadap budaya asing sungguh amat tinggi; hal ini menyebabkan taman itu bangkrut.

Beberapa keputusan lain yang membawa korporasi Disney merugi, di antaranya adalah akuisisi saluran televisi berlangganan Bravo! dan Independent Film Channel dari Cablevision Systems Corp. Ia juga dianggap membayar terlalu mahal terhadap pembelian saluran TV ABC Family Channel. Yang terparah adalah saat Disney membeli ABC yang akhirnya merugi.

***

Tanah adalah obyek imperialisme masa lalu, dan Columbus adalah agennya. Hari ini, Corporate America adalah penguasa dunia yang tak lagi terlalu rakus dengan tanah. Selain tanah, ada hal lain yang tak bisa diperbaharui tapi lebih seksi bagi para penguasa dunia ini. Uranium dan minyak adalah obyek hari ini, dan Eisner adalah salah satu agennya. Bagaimana media televisi dan film layar lebar Amerika Serikat telah mendominasi global, lihatlah film tentang Perang Dingin hingga Perang Teluk ataupun peristiwa 9/11 (kecuali karya Michael Moore, tentu). Perhatikan setiap film layar lebar produksi Hollywood atau film seri berlatar-belakang New York, bendera (atau lagu kebangsaan) Amerika Serikat pasti muncul di latar depan atau belakang beberapa adegan. CNN juga tak harus selalu cover both sides. Dan seterusnya…

***

Belajar dari kegagalan Eisner ataupun progres Corporate America hingga ke Indonesia, ada baiknya kita berbenah di dalam. Salah satu yang mungkin bisa mengawali langkah bersama adalah “membaca” segala sesuatu yang menggunakan bahasa Inggris. India dengan puluhan dialek dan bahasa daerah aseli India mampu menjadi penerbit buku berbahasa Inggris terbesar ketiga di dunia setelah Inggris dan Amerika Serikat. Indonesia? Setelah mengisi perut dan mencuci mata, membaca bahasa Inggris masih jauh di bawahnya. Bayangkan, menulis dalam bahasa Indonesia saja masih di nomor urut kesekian, apalagi menulis dalam bahasa Inggris!

Apa yang dilakukan Presiden SBY hari ini–yaitu meluncurkan kompilasi pidato dan tulisan dalam buku berjudul Indonesia on The Move–selayaknya memiliki backward & forward effect bagi rakyat negeri ini. Seorang presiden adalah pengambil keputusan tertinggi di negeri ini, seperti halnya gereja di masa lalu–yang mampu menyuruh pemusnahan buku pasca-temuan mesin cetak Gutenberg.

Peluncuran buku Indonesia on The Move di sebuah toko buku komersial, merupakan titik koma dari industri buku di negeri ini. Ada sedikit catatan yang harus dipertimbangkan:

  • Sayang jika buku ini hanya sekadar “ditempel” dengan peluncuran toko buku pasca-renovasi gedung, yang notabene masih saudara dari Harian Kompas.
  • Sayang jika pajak buku dihapus per Oktober 2007 namun belum mendorong penurunan harga buku. Pokok biaya terbesar masih dipegang oleh harga kertas dan distribusi. Bayangkan hari ini 62% pasokan bubur kertas (pulp) di Indonesia masih disuplai oleh tersangka pembalakan liar PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper. Bayangkan juga bagaimana jalur distribusi buku bisa mencapai ke Pangkalan Bun (Kalimantan) atau Bungo (Jambi).
  • Sayang jika tak ada penulis diberi insentif internal (keringanan pajak penghasilan atau tambahan subsidi) atau insentif eksternal (dilindungi karya ciptanya atau dipasarkan karyanya ke seluruh Indonesia).
  • Sayang jika tak dibarengi dengan kebijakan pendidikan formal yang mewajibkan bacaan sastra ataupun biografi tokoh sejak kecil. Apalagi menuliskannya…

***

Presiden bukanlah CEO an sich. Peluncuran buku tak selayaknya jadi turnamen popularitas semata. George W. Bush meresmikan Indonesia Education Initiative senilai US$157 juta untuk mempromosikan Sesame Street Indonesia sebagai langkah yang lebih konkret untuk pamer Corporate America. Jika menonton film Hollywood tentang negara Iran atau China, posisikan diri sebagai orang Iran atau China agar tak terjebak sebagai korban propaganda semata. Masih banyak lagi hal lain yang bisa dipelajari, tentu jika kita mahir membaca (atau menonton) dalam bahasa Inggris.

Saya belum membaca Indonesia on The Move. Kalau ada resensinya, tolong email ke saya. Jika bagus, tentu saya akan membelinya. Yang pasti, malam ini ada satu pertanyaan yang menggelitik di kepala saya: “Jika benar Indonesia sedang bergerak, kira-kira ke arah mana ya Pak Presiden?”

Regulasi yang Memihak

Desember 27, 2007

Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom, Tbk memasang spanduk menarik di beberapa kantornya, bertuliskan: “Regulasi tak selalu harus memihak kapitalis”. Mungkin juga masalah interkoneksi yang memicu permasalahan ini, mungkin juga masalah lain. Dengan segala hormat terhadap seluruh karyawan PT Telkom, Tbk, saya ingin menelisik sedikit esensi dari sebuah regulasi telekomunikasi.

Berawal dari kebijakan yang dilandasi asas, manfaat, atau tujuan dari bernegara, sebuah regulasi dibuat tentunya untuk kemaslahatan masyarakat. Adam Smith (1776) menegaskan bahwa sebuah negara yang makmur adalah yang mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya. Sumber daya (resources) seperti tanah dan isinya tak dapat dikembangkan, sebaliknya manusia bisa tetap melahirkan sumber daya manusia baru (walau harus dibesarkan dan dilatih terus). Kapital (mesin, pabrik, pohon teh, sapi) pun bisa dibuat terus sejalan dengan bertambahnya SDM yang terampil.

Tanah dan isinya serta sumber daya yang terbatas lainnya, terus diperbaharui, diinovasi, ditingkatkan penggunaan alokasi yang ada, dan seterusnya. Jika tanah di bumi ini terbatas, manusia sebagai modal kapital yang diberi akal tentu harus mencari alternatif pemanfaatan sumber daya lain selain tanah dan isinya itu.

Satu contoh, orang kemudian mencari sumber daya energi alternatif menggantikan minyak dan batu bara di dalam bumi ini yang terus digunakan sementara cadangannya kian menipis. Jagung akhirnya bisa menimbulkan agflation (istilah baru terdiri dari dua kata agro- dan -flation). Harga jagung kemudian naik karena permintaan yang lebih banyak dari sekadar konsumsi pangan reguler.

Sumber daya alam yang terbatas lainnya adalah frekuensi. Sama halnya seperti tanah, frekuensi juga memiliki kapling-kapling terbatas. Alokasi frekuensi radio FM yang bisa digunakan hanya 89.60 MHz hingga 108.00 MHz. Di bawah dan di atas rentang alokasi itu, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan kesepakatan International Telecommunications Union, telah mengalokasikannya untuk penggunaan komunikasi alat transportasi udara, laut, hingga komunikasi pertahanan keamanan nasional.

Dari terbatasnya sumber daya frekuensi ini, pemain-pemain di industri telekomunikasi–tak terkecuali di Indonesia–harus mematuhi aturan main yang dibuat bersama antara wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah (diwakili Dirjen Postel Depkominfo) yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Di lain pihak, penetrasi perangkat telekomunikasi di Indonesia terkendala atas mahalnya investasi awal, yaitu membangun fasilitas menara di satu daerah terutama di daerah yang populasi penduduknya masih rendah.

Selain itu, sebagai satu entitas perusahaan monopoli sejak negara ini berdiri yang kemudian harus berubah untuk menghadapi kompetisi global, PT Telkom, Tbk juga harus bisa beradaptasi dengan tingginya permintaan masyarakat untuk bertelekomunikasi. Antisipasi terhadap kompetisi global menjadi salah satu alasan mengapa AT&T juga dipecah menjadi Baby Bells (Nynex di New York dan New England; Bell Atlantic, BellSouth dan Ameritech di kawasan tengah Amerika Serikat; serta Southwestern Bell, U.S. West dan Pacific Telesis di California dan Nevada).

Di luar masalah kompetisi global, atas nama masyarakat seluruh Indonesia, ada dua hal yang harus diperhatikan regulator negeri ini:

  1. antisipasi lonjakan permintaan seluruh daerah yang masih blank spot, dan
  2. antisipasi pengaturan pemain industri telekomunikasi yang kian membengkak: masalah interconnectivity dan bottleneck.

Untuk antisipasi pemain, salah satu masalahnya adalah interkonektivitas. Bayangkan jika pengguna Esia hanya bisa berbicara dengan sesama pengguna Esia, berapa banyak nomor telepon yang harus dimiliki oleh satu orang? Tidak praktis. Sehingga yang memang diperlukan adalah masalah interkonektivitas antar-operator telepon. Selain itu, Dirjen Postel juga harus memberikan insentif pemain industri agar tak terjadi dari bottleneck atau kemacetan di titik-titik tertentu.Bayangkan sebuah jalan tol yang telah dibangun oleh PT Telkom, Tbk (jangan lupa ada juga uang rakyat yang digunakan sebelum menjadi perusahaan terbuka seperti sekarang), kemudian Telkom harus berbagi jalan ini dengan operator lain.

Untuk antisipasi blank spot, Dirjen Postel pun harus mampu membangun infrastruktur (atau memberikan insentif terhadap pembangunan infrastruktur) telekomunikasi. Jika Dirjen Postel telah membuat aturan main yang jelas, serta implementasi pengaturan tengah berjalan hari ini, satu hal yang harus tetap diperkirakan untuk pengaturan masa depan adalah “tailor-made” infrastruktur hingga ke pelosok daerah. Sebuah perkampungan penduduk Indonesia di perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah, Malaysia tentu tak memerlukan sebuah menara senilai 20 milyar rupiah. Perkampungan dengan 10 kepala keluarga tak memerlukan jalan tol, cukup dengan jalan setapak yang rapi dan bisa dilalui pejalan kaki hingga sepeda motor. Dan masih ada jutaan titik di Indonesia seperti ini…