Friday, February 8, 2008

Kebijakan Kompetisi Antar-Daerah

oleh Amelia Day

Aspek ekonomi dan sosial adalah tujuan utama dari sebuah kebijakan kompetisi. Dari aspek ekonomi, kendali atas kekuatan pasar menjadi hal terutama. Pendekatan aspek ekonomi ini terbagi dua, yaitu (1) pengaturan struktur pasar, terutama pasar monopoli, serta (2) pengaturan ‘antitrust’ untuk pembangunan ekonomi yang seimbang dalam sektor-sektor yang kian kompleks (Kluwer, 2003:11). Pendekatan sosial adalah untuk keadilan peluang berusaha dan atas pemerataan kesejahteraan.

Saya akan memfokuskan pada pendekatan pertama. Secara umum, kendali atas kekuatan pasar terutama dilakukan terhadap pemain pasar monopoli, karena kecenderungan pemain ini adalah ‘memainkan harga’ atau price maker sehingga publik terpaksa membeli barang yang lebih mahal (karena tidak ada barang pengganti/substitusi). Selain berpengaruh terhadap harga, pemain ini akan cenderung mengurangi kualitas pelayanan untuk publik agar mendapatkan margin profit maksimum.

Ada sebuah jurang saat mengkaji antara pengaturan ‘melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat’ dengan peraturan untuk ‘menjaga efisiensi dunia usaha dan produktivitas setiap pemain usaha’. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) hari ini sedang dikaji dan diperbaiki. Terhadap proses revisi ini, saya ingin melihatnya dalam pendekatan ‘untuk mengantisipasi arus masuk dan derap langkah kapital global ke Indonesia’, daripada semata-mata memperbaiki problematika prosedural yang terjadi selama ini.

Meskipun begitu, saya ingin mengkritisi judul UU 5/1999; bahwa kata ‘melarang’ cenderung ‘menyesatkan’. Pengaturan yang ‘melarang’, tentu berbeda dengan pengaturan yang ‘mewajibkan’. Pilihan melarang seorang anak bermain kotor tentu berbeda dengan pilihan mewajibkan ia membereskan mainan dan dirinya setelah bermain. Dennis Fox (2001) mengkaji aspek psikologis dari ‘false consciousness about law’s legitimacy’ dengan catatan khusus: Primary components of false consciousness about law are the belief that procedural justice is more important than substantive justice, the acceptance of legal doctrines that support corporate capitalism, and the belief that the rule of law is superior to individualized justice.

Di luar itu, sesungguhnya isi dan struktur pengaturan UU 5/1999 masih dalam kerangka yang sama dengan peraturan perundangan lain di dunia. UU ini dibagi dalam 7 bagian utama:

1. Perjanjian yang dilarang (oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak luar negeri)

2. Kegiatan yang dilarang (monopoli, monopsoni, penguasaan pangsa pasar, persekongkolan)

3. Penyalahgunaan posisi dominan

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

5. Tata cara penanganan perkara

6. Sanksi-sanksi

7. Perkecualian-perkecualian

Selanjutnya, kontekstualitas pengaturan ini, sekali lagi, masih dalam lingkup nasional. Semangat dan konsepsi pengaturan persaingan usaha dalam UU 5/1999 ini belumlah mengadopsi sepenuhnya semangat otonomi daerah. Hal ini tercermin dengan adanya KPPU yang hanya berkedudukan di Jakarta. Diasumsikan bahwa pemain pasar yang dominan–dan memainkan kekuatannya secara semena-mena itu–hanya terpusat di Jakarta.

Pasar Indonesia adalah pasar besar yang terdiri atas banyak pasar-pasar kecil. Batas yurisdiksi antar-pasar kecil-kecil ini bisa geografis, bahasa hingga politis. Terutamanya perihal geografis, jalur transportasi dan komunikasi merupakan faktor paling menentukan pembatasan ini. Michael S. Gal (2003:2) menegaskan bahwa penyebaran populasi dalam sebuah area geografi yang luas mengharuskan terciptanya pasar yang tidak sentralistis. Untuk itu diperlukan sebuah peraturan perundangan yang ’specially tailored’ (Gal, 2003:4-5): “The need for different rules arises from the existence of one-size-fits-all formulations that are based on genereal presumptions about market conduct, which are informed, in turn, by the natural conditions of the market. Small size affects competition laws from their goals to their rules of thumb.”

Sebaliknya, Gal juga mengingatkan bahwa menerapkan kebijakan kompetisi di pasar kecil adalah mahal dan bisa menjadi beban anggaran daerah yang berujung pada pajak masyarakat daerah tersebut yang melambung tinggi.

Pengecualiannya adalah beban anggaran menjadi nomor dua di saat terjadi konsentrasi jenuh para pemain di satu pasar kecil itu. Misalnya, kompetisi angkutan kota Bogor sudah sangat tajam sehingga perilaku setiap pemain sudah tidak sehat dan telah banyak merugikan masyarakat pengguna angkutan tersebut. Tindakan pemerintah setempat adalah mengevaluasi semua pemain atau perusahaan angkutan ini. Beban anggaran hanya di awal evaluasi dan penerapan aturan baru. Untuk selanjutnya, titik ekuilibrium akan terjadi dan masalah angkutan di Bogor itu teratasi dalam jangka waktu lama (sustainable).

Evaluasi angkutan Bogor ini, misalnya, harus menjadi sebuah ‘assessment study’ yang menyangkut perilaku pemain di saat pemerintah daerah harus mengambil tindakan alternatif, seperti mengalihkan jalur beberapa pemain, mengurangi jumlah pemain, atau menetapkan harga tertinggi tarif angkutan. Prinsip memaksimasi ‘invisible hands of the market’ untuk efisiensi usaha dan berusaha merupakan prinsip utama dalam kebijakan dan pengaturan kompetisi ’small market economies’ ini.

Selanjutnya, Indonesia masih belum memiliki peraturan perundangan yang secara tegas menganut prinsip utama ‘untuk efisiensi dan produktivitas berusaha di Indonesia’ ini. UU 5/1999 memberikan penekanan bahwa seakan-akan ‘monopoli’ itu adalah per se illegal dan menjadi sebuah antitesis dari persaingan usaha yang sehat atau bahkan tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Monopoli alamiah bisa terjadi, sehingga dibutuhkan pengaturan khusus di saat satu pasar ternyata hanya mampu disuplai oleh satu pemain saja. Selain itu, di satu pasar oligopoli bisa saja terjadi dominansi satu pemain (single-firm dominance). Pengaturannya pun harus mewajibkan pemain ini berperilaku sehat (tidak mematikan usaha pemain-pemain kecil secara ilegal).

Selain mengatur sebuah pasar monopoli alamiah atau pasar dengan satu pemain dominan, pengambil kebijakan kompetisi di daerah harus juga memperhatikan kendali merger yang akan merugikan daerah. Hal ini bisa terjadi di saat, pemain di pasar yang sama namun berada di daerah yurisdiksi berbeda merger dengan pemain di daerahnya. Apakah kemudian akan mempengaruhi kondisi perekonomian di daerah tersebut, evaluasi dan penanganan di daerah tidak bisa dilakukan sendiri. Untuk itu diperlukan tata cara penyelesaian dengan ‘inter-departmental approach’.

Walau UU 5/1999 belum mengatur semua ini, ada peraturan perundangan lain yang merupakan payung hukum terhadap semua pengaturan baik di pusat maupun di daerah. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan (the law of lawmaking) telah memberikan panduan: bahwa di atas peraturan pemerintah daerah (perda) adalah peraturan pemerintah (di tingkat pusat, atau disingkat PP). Untuk itu menjadi penting koordinasi dan sinkronisasi antar-daerah di tingkat pusat, terutama tentang prinsip-prinsip kompetisi yang sehat dan efisien. Salah satunya terkait dengan kendali merger dan akuisisi para pemain pasar antar-daerah.

Pengaturan pasar majemuk seperti Indonesia ini selalu memerlukan koordinasi dan sinkronisasi pusat-daerah serta antar-daerah. Di atas semua ini, saya ingin menempatkan bahwa kebijakan kompetisi sebagai sebuah payung hukum untuk melindungi seluruh bagian masyarakat, dengan selalu melihat pada asas, tujuan, fungsi dan arah, terlepas bahwa ada celah hukum yang tidak bisa dijalankan atau tidak efektif saat dijalankan. Prinsip-prinsip utama dari kebijakan publik selalu tertera di pasal-pasal pertama setiap peraturan perundangan kita.

Jakarta, 27 Juni 2007

No comments: