Friday, February 8, 2008

PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Untuk mendapatkan file Peraturan Pemerintah, Penjelasan, dan Lampiran (PENTING MEMBACA LAMPIRAN SEPENUHNYA!) , kita harus mengunjungi situs resmi dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Langkah-langkahnya:

1. Silakan klik http://www.depdagri.go.id

2. Lihat kolom sebelah kiri, dan klik “Produk Hukum

3. Pilih dalam kotak Kategori “Peraturan Pemerintah” dan Tahun “2007

4. File yang bisa di-download di halaman ini adalah:

- Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 (word file 132kb)

- Penjelasan PP 38/2007 (word file 66kb)

- Lampiran (zip file 1.286kb)

Adakah Konsepsi Otonomi Daerah dalam PP 38/2007?

oleh: Amelia Day

Untuk menyikapi keluarnya PP yang ditandatangani Presiden tanggal 9 Juli 2007 ini, selayaknya kita belajar dari masa lalu; kemudian kita kaji semua aspek guna membuat konsepsi otonomi daerah bagi kemaslahatan dan masa depan masyarakat di daerah.

Ada 2 (dua) urusan yang hingga akhir tahun lalu masih menjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (diskusi APPSI di Hotel Grand Cempaka), yaitu untuk Urusan Pemerintah [Pusat], Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan dan Komunikasi/Informatika.

Di dalam PP 38/007 ini, untuk Bidang Pertanahan, masalah perizinan MASIH menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Satu hal yang pasti adalah “izin lokasi” Bidang Pertanahan, misalnya, masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Lihat Lampiran Urusan/Bidang Pertanahan, Nomor 1:

[nomor] 1. Sub Bidang “Izin Lokasi”

[dalam matriks; kolom Pemerintah (Pusat):]

[huruf] h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi

Betapa panjang rantai birokrasi untuk sebuah daerah yang tak memiliki infrastruktur transportasi. Betapa tinggi biaya untuk memproses perizinan di negeri ini. Transaction cost theory (Williamson, 1996) menekankan bahwa ada 5 faktor yang menjadi penentu tinggi atau rendahnya biaya transaksi yang mempengaruhi ekonomi moneter sebuah negara, yaitu:

1. Frequency/Kekerapan: berapa sering interaksi dengan birokrasi terjadi? Memang biaya transaksi tak hanya uang transportasi, tapi berbagai pungutan di luar ini juga menjadi perhitungan signifikan yang akan membuat sebuah kegiatan usaha tidak efisien.

2. Specificity/Kekhususan: setiap daerah memiliki kekhususan baik budaya daerah ataupun aset fisik; jika tidak “handle with care” akan terjadi kelimbungan budaya ataupun aset akan menjadi aset tidur dalam jangka waktu lama. Hal ini akan menciptakan opportunity loss atau bahkan kerugian struktural bagi masyarakat di daerah yang memiliki pelbagai kekhususan ini.

3. Uncertainty/Ketidakpastian: manajemen risiko untuk setiap usaha/bisnis di daerah harus memperhitungkan faktor ini. Semakin tinggi tingkat ketidakpastian hukum, aparat hukum atau kemungkinan berusaha di satu daerah, semakin tinggi biaya transaksinya.

4. Limited Rationality/Rasionalitas yang Terbatas: pemerintah di pusat tak selalu memiliki data atau informasi termutakhir dan paling detail tentang daerah-daerah di pelosok. Informasi asimetri akan menimbulkan tingginya biaya transaksi, dimulai dari ongkos telepon atau biaya tiket pergi-pulang pejabat dari pusat untuk mengkaji keunggulan dan kelemahan satu daerah (yang tentunya biaya ini diambil dari APBN).

5. Opportunistic Behaviour/Perilaku Oportunis: siapapun yang diberi kekuasan untuk mengatur (dan memberi izin orang lain untuk berusaha) pasti memiliki perilaku oportunis (aji mumpung).

Dengan rantai birokrasi yang tetap panjang dan biaya yang menjadi tinggi, peluang daerah “tertinggal” untuk bersaing dengan daerah yang lebih maju semakin kecil. Mampukah Maluku Utara meningkatkan produktivitas hasil laut (mulai dari penangkapan/penangkaran ikan hingga ke proses pengalengan) jika semua izin lokasi [tanah untuk berusaha] harus diurus di Jakarta?

Selain itu, untuk Bidang Komunikasi/Informatika, terkait alokasi frekuensi, izin spektrum frekuensi tetap harus diurus di Jakarta. Sebagai catatan, pembuatan Master Plan Alokasi Spektrum Frekuensi Radio FM (Kepdirjen Postel Nomor 15A/2004) dibuat waktu itu didasari pada pertimbangan tanah di seluruh Indonesia adalah rata (tak ada lembah ataupun gunung), sehingga pembagian alokasi frekuensi setiap daerah adalah sama rata. Tak ada pemikiran tentang kekuatan ekonomi setiap daerah, tak ada pula pemikiran kepadatan populasi setiap pojok desa.

Siapa yang diuntungkan dengan keluarnya PP 38/2007 ini? Pertanyaan yang sama (dan jawaban yang bisa menjadi pertimbangan konsepsi otonomi daerah yang memihak pada publik) juga bisa ditujukan kepada paket 7 (tujuh) Peraturan Pemerintah Nomor 11, 12, 13, 49, 50, 51, dan Nomor 52 Tahun 2005 sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Apakah semangat otonomi daerah yang digaungkan di akhir milenium sudah mulai meredup?

Di bawah ini saya kutip matriks pembahasan PP Penyiaran yang digarap bersama komisioner KPI dari Sumatera Utara, Arya Mahendra Sinulingga. Saya sedang mengkaji hal yang sama untuk PP 38/2007 untuk setiap bidang; tentunya kajian ini harus dikembalikan ke Amandemen Keempat Undang-undang Dasar 1945, selain juga dikembalikan ke Asas, Fungsi, Tujuan dan Arah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 (Penyiaran) dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (Pemerintah Daerah).

Selamat merayakan Hari Proklamasi!

PP No. 50 Tahun 2005 Pasal 71 ayat 2:Lembaga Penyiaran Swasta yang telah memiliki Izin Stasiun Radio dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi dan/atau izin siaran nasional untuk televisi dari Departermen Penerangan sebelum ditetapkannya PP ini diakui keberadaannya dan harus melaporkan secara tertulis tentang keberadaannya kepada Menteri untuk menyesuaikan izinnya menjadi Izin Penyelenggaraan Penyiaran sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002. Pasal 17 ayat 2:Durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran melalui sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 40% untuk jasa penyiaran radio dan paling banyak 90% untuk jasa penyiaran televisi dari seluruh waktu siaran per hari.Pasal 17 ayat 1:Durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran televisi yang tidak berjaringan dibatasi paling banyak 20% dari seluruh waktu siaran per hari. Pasal 36:Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e memungkinkan terjangkaunya wilayah siaran paling banyak 90% dari jumlah provinsi di Indonesia, hanya untuk sistem stasiun jaringan yang telah mengoperasikan sejumlah stasiun relai yang dimilikinya melebihi 75% dari jumlah provinsi sebelumnya ditetapkannya PP ini.

Pihak diuntungkan

Pihak diuntungkan yang tertinggal dengan diterapkannya pasal ini: Pihak diuntungkan yang tertinggal dengan diterapkannya pasal ini: Pihak diuntungkan yang tertinggal dengan diterapkannya pasal ini:

Masyarakat (lokal)

Tidak lagi diuntungkan

Tidak lagi diuntungkan

Siapakah di antara televisi swasta

Radio Lokal

Radio Lokal Eksisting

Tidak lagi diuntungkan

“nasional” yang sudah mencapai

Radio Berjaringan

Radio Berjaringan Eksisting

Radio Berjaringan

relai 90% dari jumlah provinsi

TV Lokal

Tidak lagi diuntungkan

Tidak lagi diuntungkan

yang ada di Indonesia?

TV “Nasional”

TV Nasional: RCTI, TPI, Indosiar, TransTV, Antv, SCTV, Lativi, MetroTV, TV7, Global TV

TV Nasional: RCTI, TPI, Indosiar, TransTV, Antv, SCTV, Lativi, MetroTV, TV7, Global TV

KITA TENTUNYA BISA MENJAWAB

Seluruh Stake Holder lainnya

Tidak lagi diuntungkan


No comments: