Friday, February 8, 2008

Radio FM di Jakarta

Peta Prematur Penyiaran Radio DKI Jakarta DI AWAL 2007

oleh Amelia Day

Dari 42 alokasi frekuensi yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan [1] untuk wilayah layanan siaran DKI Jakarta, tak ada satu kavling frekuensi pun yang kosong. Lebih parah lagi, dengan rentang alokasi frekuensi yang diperkenankan yaitu 87,6 - 108 MHz semenjak 1994 [2], ternyata terdeteksi 52 sinyal jika kita menyalakan pesawat radio di Monas (Monumen Nasional) dan sekitarnya. Sinyal ini bisa diterima baik, tapi ada juga yang tumpang-tindih. Sinyal Ramako FM, misalnya, bisa ditangkap di alokasi frekuensi seharusnya (105,8 MHz) tapi juga bisa tertangkap di frekuensi tetangga (105,4 MHz yang ditetapkan [3] untuk PT Radio Chakti Bhudi Bhakti). Ada juga satu nama perusahaan yang tercantum di Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 15A Tahun 2004, namun sinyalnya sama sekali tak bisa diterima hingga 1 km arah barat dan timur dari Monas.

Kesemrawutan keberadaan lembaga penyiaran radio di Jakarta merupakan satu cerminan buruknya kebijakan Pemerintah. Selama nyaris empat dekade terakhir ini, Pemerintah seharusnya belajar dari kesalahan masa lalu: bahwa satu kegiatan hobi “break-break” ini bisa berkembang menjadi sebuah usaha bisnis yang prospektif lalu menukik tajam menjadi sebuah lapangan permainan yang tidak sehat. Pemain bertambah banyak. Lapangan bola menjadi sesak dan tidak bertambah besar. Peraturan ada tapi wasit tidak tegas. Belum lagi insentif (kue iklan) yang diperebutkan juga tak bertambah gemuk.

Segenap pemangku kepentingan (stakeholder) tentu mengharapkan penataan para pemain industri radio siaran FM ataupun AM di negeri ini; siapapun lembaga yang ditunjuk untuk menjadi wasit industri. Hari ini KPI, sebagai regulator penyiaran yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tentu harus bekerja dengan data dan fakta yang akurat dan terkini.

STUDI KELAYAKAN DAN FORMAT SIARAN

Hingga hari ini, KPI hanya menerima studi kelayakan dari sedikit lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio di DKI Jakarta atau daerah sekitar (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Peta analisis kekuatan penyelenggara penyiaran di DKI Jakarta tentu belum bisa dituntaskan di akhir 2006. Yang dimiliki oleh KPI hingga hari ini hanya data-data lama.

Akurasi dari data lama tentu dipertanyakan. Bayangkan, KPI mencoba menelepon satu radio yang mempunyai beberapa nomor, sayangnya semua nomor bernada “tulalit”. Selain itu, di data lama ini memang tercantum beberapa informasi administratif perizinan hingga format siaran. Sayangnya, segmentasi pasar yang dituju dari setiap radio tak ada. Lalu bagaimana menganalisis sebuah pasar di wilayah layanan siaran tertentu, jika tak jelas data yang terkait?

Untuk itu, KPI memantau segmen dan format siaran ini secara kasat telinga (bukan kasat mata); hanya berdasarkan perkiraan, yang mungkin bisa dibuktikan kebenarannya kemudian. Di bawah ini disampaikan beberapa kesimpulan awal dari peta prematur radio di wilayah layanan siaran DKI Jakarta. Sebagai data awal, ditemu-kenali ada 6 (enam) radio dengan format siaran musik dangdut seperti yang tercantum di bawah ini:

Nama Radio


Frekuensi


Bersiaran dari


KEPDIRJEN

15A / 2004

Wilayah Layanan Siaran

Pengguna frekuensi yang dimaksud

Radio CBB 105,4 MHz Kebon Jeruk Prov. DKI Jakarta PT Radio Chakti Bhudi Bhakti
El Gangga FM 99,1 MHz Bekasi Kab. Bekasi, Prov. Jawa Barat PT Radio El Gangga
Radio Dangdut TPI 97,1 MHz Taman Mini Indonesia Indah Provinsi DKI Jakarta PT Radio Suara Monalisa
Radio Mersi FM 93,9 MHz Ciledug Kab. Tangerang,Prov. Banten PT Radio Swara Mersidiona
Radio SPFM 90,8 MHz - Prov. DKI Jakarta PT Radio Suara Gema Pembangunan Utama


Format siaran yang diperuntukkan “niche market” di DKI Jakarta juga bisa ditemui. Siaran musik Perancis populer (Music City: 107,5 MHz) dan Mandarin (Cakrawala FM: 98,3 MHz) bisa didengar sepanjang waktu. Ekstrem lain, format musik jazz dan klasik juga ada (C&J: 99,9 MHz). Jenis musik rock dan metal kemudian bisa didengar nonstop di 98,7 MHz, atau di alokasi frekuensi yang secara sah tercatat untuk PT Radio Attahiriyah [4] (catatan: perusahaan ini dulu pernah menyajikan dakwah Islam dan musik religius non-stop).

Ternyata, format lain lebih mendominasi. Radio di DKI Jakarta ditengarai memilih satu atau gabungan beberapa format (musik barat populer, musik Indonesia populer, informasi/berita, dan dakwah). Total radio yang memilih format tersebut mencapai 80% dari total radio yang bersiaran.

Selain itu, dengan data yang dimiliki KPI seadanya, segmentasi pasar yang dituju juga beragam. KPI berasumsi menetapkan segmentasi pasar yang ditargetkan setiap radio dari monolog penyiar, atau dialog penyiar dan pengisi acara lain, gaya dan tutur bahasa yang digunakan.

Kesemua radio yang terpantau ini diperkirakan bersiaran setiap hari lebih dari 12 jam. Jumlah radio yang bersiaran non-stop 24 jam sehari tak lebih dari separuh total yang bersiaran reguler. Satu dua radio bahkan tidak bersiaran reguler: seminggu siaran, dua minggu off-air.

KESEMRAWUTAN RADIO DKI JAKARTA

Mengawali tahun 2007, pemantauan dilakukan KPI secara manual dan sederhana. Dilaporkan bahwa ada beberapa sinyal Radio Republik Indonesia (RRI) dari titik utama pengukuran frekuensi untuk DKI Jakarta: Monumen Nasional (Monas). Hari ini di Jakarta, RRI menempati empat alokasi frekuensi kanal radio [5].

* Frekuensi 91, 2 MHz untuk RRI Pro-1;
* Frekuensi 105,0 MHz untuk RRI Pro-2;
* Frekuensi 88,8 MHz untuk RRI Pro-3; dan
* Frekuensi 92,8 MHz untuk RRI yang sinyalnya diterima buruk sekali karena tertindih sinyal PAS FM (92,4 MHz)

Tumpang-tindih sinyal ini tak hanya dialami oleh RRI. Radio PAS FM (PT Radio Primaswara Adi Spirit Semesta) juga “melindas” frekuensi PT Radio Merpati Darmawangsa [6] (93,2 MHz) sehingga sinyal perusahaan yang terakhir disebut ini tak bisa ditangkap sama sekali di daerah Monas. PT Radio Ramako Jaya Raya (Ramako FM) juga menghalangi sinyal PT Radio Chakti Bhudi Bhakti (CBB Bandar Dangdut Jakarta di 105,4 MHz). Sekali lagi, dengan metodologi yang lebih baik yaitu mengevaluasi titik-titik pemantauan di seluruh DKI Jakarta menjadi keharusan untuk mendapatkan data dan alasan lebih komprehensif. Sebagai catatan, Ramako dan CBB sama-sama menempati kelas A [7].

Selain itu, permasalahan meluas tak hanya tumpang-tindih tapi juga keberadaan “sinyal ilegal” di wilayah layanan siaran DKI Jakarta. Sinyal yang disiarkan oleh radio dari wilayah layanan siaran lain juga bisa diterima baik di Jakarta. Sinyal radio dari Banten (Hardline HSN 100,6 MHz dan Star Radio 107,3 MHz) bisa diterima di sebelah barat Monas, dan sinyal radio dari Bekasi (El Gangga FM 100,3 MHz), juga bisa diterima baik di daerah timur Monas.

Satu catatan khusus adalah Radio Suara Metro yang hingga kini masih berada di frekuensi yang diperuntukkan bagi lembaga penyiaran komunitas. Pasal 5 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2003 menegaskan bahwa “Perencanaan kanal frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai berikut : a. Kanal 1 s/d 201 untuk radio penyiaran publik dan radio penyiaran swasta; b. Kanal 202, 203 dan 204 untuk radio penyiaran komunitas.” Kanal 202, 2003, dan 204 yang dimaksud adalah frekuensi 107,7 MHz; 107,8 MHz; dan 107,9 MHz. Semenjak lebih dari setahun lalu, Radio Suara Metro telah menempati alokasi 107,8 MHz. Hasilnya, studi kelayakan sebuah radio komunitas pedagang sate dan tukang pijat di Jakarta tak bisa diproses lebih lanjut.

PENUTUP

Struktur sistem penyiaran, baik untuk radio ataupun televisi, hampir mendekati akhir dari masa penyesuaian, yaitu 28 Desember 2007 (lihat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 60). Peraturan perundangan berlaku sama untuk semua, baik untuk pemain kelas “rookie” ataupun pemain yang sudah ada semenjak negeri ini belum merdeka. Jika ada pengecualian, tentulah harus dilihat dari kondisi nyata di lapangan. Untuk apa ada pengecualian jika nama perusahaan radio yang sah di izin lama, ternyata dia bukan pengelola radio hari ini. Untuk apa pengecualian diberikan kepada radio existing sejak 1971 jika ternyata format siarannya telah berubah puluhan kali, atau sahamnya berpindah tangan lebih dari satu kali.

Selain itu, proteksi ataupun pengecualian akan diberikan kepada pemain industri jika memang lapangan bermainnya menguntungkan bagi semua pemain. Kenyataannya, rasio perkembangan kue iklan dan kebutuhan operasional setiap radio setiap tahun semakin melebar. Daya beli masyarakat (yang mencerminkan kemampuan perusahaan beriklan) juga belum membaik benar. Upah minimum buruh untuk DKI Jakarta saja, misalnya, menurun beberapa tahun terakhir pasca-kenaikan drastis di tahun 1999.
Kelebihan penawaran radio berdampak besar terhadap permintaan iklan. Krisis iklan untuk radio berdampak pada penawaran isi siaran. Biaya untuk setiap jam produksi siaran harus dipangkas. Atau efisiensi lain: penggunaan tenaga kerja seminimum mungkin. Dampak lebih luas lagi, relai siaran radio dari Jakarta ke daerah-daerah tak perlu lagi tenaga kerja selain satu orang teknisi merawat tiang transmitter dan dua orang satpam. Betapa tak produktifnya industri penyiaran daerah, bukan? Tak usah pusing lagi memikirkan pemasukan asli daerah dari tenaga kerja lokal. Pemasangan tiang saja di daerah-daerah tak mempunyai backward dan forward effect bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Mengapa ini terjadi? Satu hal, selama ini perkembangan industri radio lebih terpusat di Jakarta. Satu faktor lain yaitu adanya proteksi sentralisme penyiaran semenjak awal tahun 1970-an peraturan yang hanya dirumuskan pakar dari Jakarta atau Pulau Jawa. Hari ini, sentralisme ini dikristalisasi dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Swasta. PP ini hanya mengenal sistem “lokal berjaringan” dengan istilah sistem “induk dan anak”, dan induknya hanya Jakarta atau Yogyakarta (karena alasan daerah istimewa?), bukan ibukota provinsi lain.

Jika mengingat semangat era otonomi daerah untuk 17.000 pulau di Indonesia, sentralisme ini tak akan membangun industri penyiaran di daerah. Pembusukan nilai (dari isi siaran yang buruk) hingga status quo pembangunan ekonomi daerah akan bergulir terus, jika tidak segera dituntaskan di satu titik. Titik itu adalah tanggal 28 Desember 2007, seperti yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, Pasal 60:

“Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian, masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.”

Sistem “lokal berjaringan” yang dimaksud tentu harus hati-hati dirumuskan. Membuat peta yang akurat dan terkini dari semua pemain di industri adalah satu keharusan. Sayangnya, Pemerintah tetap ngotot dengan “penyesuaian izin” padahal ada pemilik izin (atau izin-izin) penyiaran/frekuensi masa lalu sudah menggunakan akta perusahaannya untuk ekspor tekstil.

Penyesuaian izin ini adalah permasalah klasik, yang terus bergulir menjadi efek bola salju yang tak terhentikan dari satu era pemimpin negeri ke pemimpin lain. Pemerintah pusat hari ini belum memiliki urgensi terhadap permasalahan penyiaran negeri ini. Yang hanya diurus adalah proyek menara gading seperti kontrak kerja dengan Microsoft Indonesia senilai Rp 377,6 milyar. Uang rakyat sebesar ini ada baiknya digunakan untuk prioritas dalam negeri yang lebih mendesak hari ini.

Di tengah kesemrawutan industri radio di Jakarta, KPI tetap menyelenggarakan pelayanan publik yaitu prosedur administratif yang konsisten dan akuntabel. Hari ini KPI mengingatkan semua pemain industri radio di Indonesia untuk segera dan bersama menata sistem penyiaran di negeri ini. Kasus industri penyiaran radio wilayah layanan siaran DKI Jakarta di atas ini hanya segelintir permasalahan yang harus dituntaskan oleh kita semua. Silakan telepon Sekretariat KPI di setiap daerah yang memiliki KPI Daerah, atau telepon ke 021-6340713 dan 021-6340673 untuk informasi prosedur perizinan KPI Pusat.
ENDNOTES

[1] Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Radio Siaran FM (frequency modulation)

[2] Rentang ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor 73/PT.102/MPPT/94

[3] Setiap pemain lama di industri ini harus menyesuaikan diri dengan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 15A Tahun 2004 (lampirannya berupa daftar perusahaan yang harus mematuhi pengalihan kanal frekuensi radio siaran FM).

[4] Frekuensi PT Radio Attahiriyah ini ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 15A Tahun 2004 untuk wilayah layanan siaran DKI Jakarta.

[5] Hal ini juga sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 15A Tahun 2004.

[6] Frekuensi PT Radio Merpati Darmawangsa ini juga ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Nomor 15A Tahun 2004 untuk wilayah layanan siaran DKI Jakarta.

[7] Pasal 4 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2003 menegaskan pembagian 4 kelas siaran radio: A, B, C, dan D. Radio siaran kelas A diperuntukkan bagi radio siaran di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, radio siaran kelas B bagi radio siaran di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta atau di ibu kota propvinsi, radio siaran kelas C bagi radio siaran di kota selain Jakarta atau ibukota provinsi, dan radio siaran kelas D diperuntukan bagi radio siaran komunitas sepanjang secara teknis memungkinkan.

Januari 2007

No comments: