Friday, February 8, 2008

Pilkada Conundrum by Nadhlatul Ulama

Januari 30, 2008

Lama tidak membahas otonomi daerah. Lama tidak diskusi di kelas. Lama tidak bergosip di kantin (sekali lagi gosip berat, orang uzur seperti saya sebaiknya bahas paper kuliah daripada habiskan waktu bicara tentang Mayangsari yang satu SMA dengan tetangga saya).

Hari ini mungkin hari perenungan “otonomi daerah” (otoda) yang telah saya pelajari dari banyak orang, termasuk “guru” online Pak Dadang Solihin. Tak pernah bertemu muka, tak pernah kenal sebelumnya IRL, tapi saya kagum dengan riset detail Pak Dadang. Tulisan-tulisan beliau bisa ditemui di www.slideshare.net atau bisa lewat situsnya www.dadangsolihin.com.

***

Itu tadi tentang Pak Dadang yang memang ahlinya otoda.

Sekarang soal otoda itu sendiri. Lebih spesifik lagi, langkah terawal mewujudkan otoda untuk kemaslahatan daerah: Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Hari ini saya berpikir otoda dan pilkada sedang berada di persimpangan jalan antara “diminishing return” dan “take-off”. Tak harus terjadi konsepsi yang menjadi aus atau melepuh di tengah jalan. Tak juga harus dihentikan sebelum evaluasi. Tak juga harus diarahkan untuk dihentikan…

***

Minggu lalu ada pernyataan dari Pak Hasyim Muzadi atas nama NU, sebuah instansi yang saya kagumi, bahkan sekali saya terlibat diskusi sebagai pembicara atau sesekali juga sebagai pendengar “selundupan”. Inti pernyataan Pak Hasyim pasca-pertemuan dengan Presiden SBY, secara singkat begini: “Pilkada mengkotak-kotakkan warga NU!”

Yang terjadi di beberapa media massa kita adalah berita yang diplintir (spin) seperti ini: “NU tolak Pilkada yang memboroskan uang negara.”

* tercenung *

Saya selalu berpikir bahwa bacaan setiap orang tidak sama. Selain bacaan, pengalaman empiris juga memberi porsi tersendiri bagi setiap orang; sehingga yakinlah argumen akan selalu muncul saat seseorang berdialog dengan orang lain. Istilah keren untuk payung semua ini adalah “asymmetric information”. Media massa di Jakarta, mari kita sikapi perihal pilkada ini lebih arif. Ada hal lebih besar daripada sekadar “menggoreng isu.”
***

Soal pengalaman keliling Indonesia, mungkin saya hanya 0,001% dibanding guru saya yang paling santun sedunia, Pak Bondan Winarno (selamat malam, Pak, watch out for carb and kecap). Saya memang tidak ekstensif keliling Indonesia, namun di setiap sudut kota yang saya kunjungi terasa sekali geliat demokrasi. Termasuk pula geliat pembangunan fisik yang positif pasca-1998.

Saya merasakan nikmatnya keliling Indonesia, bahkan ada rasa bangga bercampur sedih saat menjejakkan kaki di satu daerah. Bangga saat melihat indahnya langit, hijaunya hutan, beningnya air pantai. Sedih saat mendapatkan air minum susah dan listrik byar-pet di luar Pulau Jawa. Tak mudah menemui Kentucky Fried Chicken di setiap pojok pasar, mimpi saja jika mau mencari Macanudo Cigar Club. Isu “sentimentil” ini buat media massa di Jakarta adalah isu kurang seksi dibanding “tolak Pilkada karena boros!”

***

Pernahkah ada kajian berapa banyak sesungguhnya non-voters di negeri ini? Sensus penduduk yang hukumnya wajib bagi setiap sektor di negara ini saja masih tertatih-tatih. Salah satu penyebabnya memang biaya yang sangat besar jika ingin komprehensif.

Lalu apa kabar data non-voters yang cuma satu sektor saja (”sektor” demokratisasi?).

Jika pilkada di seluruh Indonesia adalah sebuah proses mahal, salah satu penyebabnya adalah laggard informasi yang cukup signifikan antar-daerah, karena usia, dan banyak alasan lain.

Saya ingat betul waktu itu Nenek saya jatuh cinta pada Amien Rais dan bahkan jauh-jauh hari mengurus kepindahan kartu pemilih dari Surabaya ke Jakarta; sayangnya beliau harus gigit jari saat hari-H ditolak mencoblos karena belum pernah mendaftar ulang ke TPS di rumah Jakarta. Informasi adalah segalanya.

Golput juga meraja di Amerika Serikat, sebesar 16% antara tahun 1997 hingga 2000. Masalahnya bukan “tidak terinformasikan”, tapi sebaliknya, mereka lebih paham dan matang untuk menentukan pilihan. “This year, the candidates sux.”

Lalu berapa banyak non-voters di Indonesia? Seberapa jauh information gap antara voters dan non-voters yang tercatat di setiap KPUD? Apa penyebab mereka tak memberikan suaranya?

Jika telah dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara akurat, bagaimana solusi untuk merekatkan jurang informasi ini?

Pertanyaan selanjutnya, jika telah sukses memilih langsung kepala daerahnya, seberapa besar pertumbuhan satu daerah karena pemimpin baru ini? Sudahkah ditabulasi semua ini? Sudahkah diberitakan proses dan hasil ini?

***

Yap, awalnya adalah information gap atau asymmetric information. Di sini justru peran media massa mendapat porsi dan fungsi signifikan. Informasi asimetris antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa harus dituntaskan.

Saya kerap berdialog dengan kawan-kawan di daerah. Silaturrahim saya adalah, salah satunya, mengirim materi salah satu draf RUU, yang baru saya lakukan seminggu lalu. Tak semua daerah bisa mengakses www.indonesia.go.id untuk mendapatkan dokumen akurat. Kalaupun kawan-kawan saya terkoneksi dengan internet, mereka harus memiliki “seni tersendiri untuk meng-google” (meminjam istilah suami saya) untuk mendapatkan naskah atau berita yang diinginkan.

Di lain sisi, geliat demokratisasi di segala bidang melahirkan jiwa-jiwa baru untuk membangun daerahnya. Di saat Pak Hasyim menyatakan “jangan mengkotak-kotakkan NU dengan Pilkada”, beberapa media massa memlintir (spin) berita ini dengan judul “tolak Pilkada”.

Tak elok rasanya membuat sensasi dari apapun; apalagi jika bisa bergulir tak terkendali. Reformasi segala bidang memang sudah waktunya tutup buku? Ataukah media massa kita tak pernah merasakan “bangga dan sedih” bercampur jadi satu saat berkunjung ke daerah-daerah…

***

George W. Bush is seen crossing the Potomac river on foot.
The Washington Post : “President Bush crosses the Potomac River”.
The Washington Time : “Bush’s conservative approach saves taxpayers a boat”.
Mother Jones : “Bush can’t swim”.

No comments: