Friday, February 8, 2008

Desentralisasi Penyiaran

Sebuah ruang operasional radio di Garut

Desentralisasi penyiaran dan pemusatan kekuatan ekonomi penyiaran televisi

oleh Amelia Day

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 lahir dari semangat reformasi; adanya peran penuh civil society dalam pengaturan penyiaran. Undang-undang yang juga lahir dari semangat ini adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Masyarakat sipil mempunyai hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

(Menuju Visi Indonesia 2030, oleh Hartato Sastrosoenarto)

Di sisi lain semangat reformasi juga melahirkan otonomi daerah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari 26 (dua puluh enam) provinsi di masa pemerintahan Soeharto, hari ini jumlah provinsi bertambah menjadi 33 (tiga puluh tiga), dan mungkin akan terus bertambah.

Undang-undang yang juga lahir setelah krisis moneter 1998 adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang merupakan produk hukum yang terlambat muncul dibanding produk yang sama di negara-negara tetangga.

Konstitusi, perundangan, dan peraturan yang lahir di Era Reformasi merupakan pegangan sebuah institusi besar bernama Indonesia untuk tumbuh dan berkembang. Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung lagi, Indonesia dengan 17.000 pulau mencoba menerapkan sebuah aturan main yang tak lagi sentralistis.

Dengan latar belakang ini, saya melihat adanya keterkaitan antar-peraturan ini dengan permasalahan dunia penyiaran, khususnya isu “monopoli kepemilikan televisi” dari Jakarta. Ada tiga fokus analisis:

1. Yang menjadi perhatian utama dari tulisan ini adalah kasus peraturan di dunia penyiaran, yang sangat erat dengan intrik politik.

2. Kekuatan ekonomi dan persaingan usaha yang sehat, sebagai salah satu pokok bahasan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, belum diatur secara mendetail. Lebih khusus lagi, posisi dominan di dalam satu pasar industri penyiaran juga belum mempunyai kajian dan aturan lebih lanjut. Peta kepemilikan televisi dan dampaknya harus menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan peraturan demi mewujudkan persaingan usaha yang sehat.

3. Terakhir, Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran menegaskan akan adanya desentralisasi penyiaran. Diarahkan agar penyiaran (televisi atau radio) mempunyai derap langkah-yang seharusnya-sama dengan derap langkah desentralisasi daerah administratif. Saya analisis hal ini dari pendekatan “reduksi fungsi hukum” (1).

Saya meyakini bahwa konsep the new economy di Indonesia, terutama yang terkait dengan peraturan-peraturan industri penyiaran hari ini, tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang. Utamanya juga, perhitungan ekonomi dan politik dalam persaingan usaha tidak sehat di dunia penyiaran kita disikapi dengan selalu mempertimbangkan latar belakang sejarah serta kondisi sekarang.

Analisis 1

Undang-undang Penyiaran mengalami proses panjang sebelum kelahirannya. Undang-undang Penyiaran lama (Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997) direvisi sejalan dengan likuidasi Departemen Penerangan (Deppen) oleh Gus Dur. Deppen yang sarat dengan siaran propaganda pemerintahan Soeharto merupakan institusi yang “mengatur penyiaran” dalam Undang-undang Penyiaran versi lama itu.

Undang-undang Penyiaran baru juga tak serta-merta bisa lahir saat DPR mengajukan inisiatif revisi. Lima tahun berproses, mendapat dukungan dari masyarakat sipil sekaligus tentangan dari pengusaha media televisi dan radio di Jakarta, undang-undang ini kemudian lahir tanpa tanda-tangan dari Presiden Megawati (waktu itu).

Tak lama kemudian Presiden Megawati menandatangani setelah beberapa bulan undang-undang ini berlaku. Polemik tak berhenti di sini karena proses pembuatan peraturan di bawah undang-undang ini juga mengalami pertentangan dan dukungan. Kali ini, industri penyiaran dari Jakarta mendukung paket peraturan penyiaran: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11, 12, 13, 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005. Bahkan pertentangan yang datang dari masyarakat sipil di pusat dan di daerah ini dijadikan tunggangan politik oleh segelintir orang dengan perilaku oportunistis.

Didik J. Rachbini menyatakan bahwa pertukaran sukarela di antara individu-individu maupun kolektif dinilai selalu positif. Sementara hubungan yang sifatnya pemaksaan dinilai selalu negatif karena pemaksaan menimbulkan biaya yang tinggi dari salah satu pihak yang dipaksa (dirugikan) (2). Kenyataannya memang “pertarungan” yang berlarut-larut ini memakan biaya yang tinggi. Yang terjadi adalah ketidakpastian hukum. Lawlessness melahirkan orang-orang yang oportunistis. Banyak televisi lahir, di Jakarta ataupun di daerah-daerah.

Sebelum Undang-undang Penyiaran berlaku, 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta dari Jakarta hanya mempunyai segelintir menara pemancar (3). Akan memakan biaya lebih mahal lagi di saat televisi Jakarta, yang sudah membangun transmitter di seluruh provinsi (4), diharuskan “melokalkan” transmiternya dengan membuat produksi penyiaran daerah, lengkap dengan studio dan karyawan lokal.

Paket PP yang ditandatangani SBY di pertengahan tahun 2005 (PP Nomor 11, 12, 13) dan akhir tahun 2005 (PP Nomor 49, 50, 51, dan 52) seakan menjadi “pintu keluar dari masalah” desentralisasi penyiaran bagi industri di Jakarta. Kesemua PP ini mengesahkan kristalisasi dari sentralisasi penyiaran (5). Yang terjadi adalah semua televisi yang telah bersiaran dari Jakarta (sebelum Undang-undang Penyiaran disahkan) bisa leluasa bersiaran ke seluruh Indonesia, sedangkan televisi yang lahir dari daerah hanya bersiaran di daerahnya saja. Sebuah peta kompetisi yang tidak sepadan atau tidak apple-to-apple.

Analisis 2

Dari peta kompetisi yang tidak berimbang di industri televisi hari ini, saya beralih ke peraturan perundangan yang khusus memayunginya: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini belum ada di era Soeharto karena banyak hal yang tabu dibicarakan (apalagi dijadikan peraturan mengikat). Praktek monopoli merajai di semua sektor-sektor strategis. Kolusi penguasa-pengusaha adalah hal biasa saat itu. Memasuki krisis moneter, institusi yang bermain dalam tatanan ini rontok. Hal ini disebabkan karena informasi asimetrislah yang terjadi, yang kemudian menyebabkan kebohongan publik. Contoh yang paling krusial adalah angka pertumbuhan ekonomi yang bisa keluar dari konsep “Asal Bapak Senang” atau ABS. Konsep ABS ini belum pernah dikaji lebih lanjut dari pendekatan psikologi dari aparat pembuat kebijakan atau penegak hukum. Pendekatan ini hanya memfokuskan pada pelaku kejahatan (studi kriminologi) dan korban kejahatan (studi viktimologi) (6).

Selanjutnya, apa yang terjadi hari ini, setelah terbit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ini, adalah ketiadaan aturan turunan. Aturan turunan inilah penjabaran lebih detail dari usaha tidak sehat seperti price fixing, integrasi vertikal, jual rugi, kolusi, kartel, dan perjanjian tertutup.

Aturan tentang integrasi vertikal di industri penyiaran Indonesia (mulai produksi hingga distribusi siaran) tidak termasuk dalam 3 hal khusus (7) di dunia penyiaran. Beberapa negara tetangga telah mengatur lebih detail (setingkat Peraturan Pemerintah). Malaysia telah mengeluarkan aturan tentang posisi dominan dan praktek persaingan tak sehat di penyiaran dan industri terkait (8), yaitu Guideline on Dominant Position in a Communications Market (RG/DP/1/00[1]). Singapura juga telah mengeluarkan Code of Practice for Market Conduct in the Provision of Mass Media Services di tahun 2002.

Pasal 1 dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya tentang monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi (9)-tentunya saya fokuskan untuk industri penyiaran-disebutkan secara implisit tentang pasar. Sayangnya, definisi pasar dalam sub-sektor penyiaran atau sektor informasi/komunikasi belum ada penjabaran lebih lanjut, baik sebagai turunan dari Undang-undang ini ataupun Undang-undang Penyiaran.

Hal lain yang belum diatur adalah soal kekuatan kelompok usaha di dalam satu pasar bernama Indonesia, atau lebih jauh lagi, pasar yang dibagi atas batas geografis dan administratif (pasar Sulawesi Selatan atau Sumatera Utara, dan seterusnya).

Corporate group atau multinational company (MNC) atau kelompok perusahaan adalah bentuk paling efisien dalam pengelolaan usaha (vertikal atau horizontal). Penguasaan mereka sudah menggurita ke pasar nasional atau internasional.

Laporan Investasi Dunia PBB Tahun 1999 (10) menegaskan bahwa ada 60.000 induk perusahaan yang menguasai 500.000 afiliasi di seluruh dunia. Seratus di antara kelompok usaha ini menguasai “US$ 1.8 trillion in foreign assets, sold products worth of US$ 2.1 trillion abroad and employed some 6 million person in their foreign affiliates. Approxiamtely 90% of the top 100 MNCs are from triad countries (EU, Japan, and United States) (11)”.

Dari kepemilikan asing yang menggurita ini, salah satunya adalah Astro dari Malaysia (12) (yang mempunyai anak perusahaan dari hulu ke hilir di dunia penyiaran di sana). Di Indonesia, Astro, lembaga penyiaran berlangganan yang beroperasi dengan satelit, akan bekerjasama dengan Kabelvision, lembaga penyiaran berlangganan yang beroperasi dengan kabel yang dimiliki oleh Kelompok Lippo (konglomerat yang memiliki bank dan usaha-usaha lain). Di luar itu, pemain asing lain juga mulai masuk ke dunia penyiaran. Rupert Murdoch telah membeli 20% saham di ANTV (Cakrawala Andalas Televisi) sesuai pagu dalam Undang-undang Penyiaran.

Di saat arus investasi asing masuk ke Indonesia dengan deras, pemain lokal juga telah membentuk entitas kelompok sendiri. RCTI, TPI, dan Global TV dimiliki oleh Kelompok Bimantara. TV7 dimiliki oleh Kelompok Kompas-Gramedia. Bimantara dan Kompas-Gramedia adalah perusahaan induk yang berkedudukan di Jakarta.

Kekuatan 10 (sepuluh) televisi swasta dari Jakarta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, Metro TV, Trans TV, Lativi, TV7, dan Global TV) telah mengerucut menjadi kekuatan dominan: 3 (tiga televisi) adalah milik PT Bimantara Citra, Tbk (RCTI, TPI, Global TV). Tiga televisi lain (Indosiar, TV7, dan SCTV) sudah menjajaki pendekatan joint-venture atau joint-production atau malahan merger.

Di lain pihak, televisi-televisi ini sudah menggurita mulai dari rumah produksi tayangan, rumah produksi sulih suara, hingga produk komersial yang beriklan. Sebagai contoh, ada beberapa stasiun televisi yang didukung iklan dari kelompoknya: Indosiar dan BCA, Trans TV dan Bank Mega, Lativi dan Pasaraya Grande, RCTI/TPI/TV Global dan Mobile-8. Iklan yang sama juga masuk ke stasiun radio kelompoknya (Indosiar dan Radio Elshinta Network, RCTI/TPI/TV Global dan Trijaya Network atau Radio Dangdut TPI Network).

Kesemua kekuatan penyiaran Indonesia ini, sekali lagi, hanya terfokus di Jakarta.

Analisis 3

Harus diingat untuk kondisi penyiaran di Indonesia, ada nilai baru dalam berkehidupan di Indonesia pasca-pemerintahan Soeharto: ada desentralisasi pemerintahan (13). Douglass North menekankan akan pentingnya mengubah institusi dan belief system (14). Ia juga menyampaikan bahwa perubahan ekonomi adalah hal yang pasti.

Revolutions do occur, however, when organizations with different interests emerge (typically as a result of dissatisfaction with the performance of existing organizations) and the fundamental conflict between organizations over institutional change cannot be mediated within the existing institutional framework. (15)

Perubahan institusi lembaga penyiaran, yang diamanatkan Undang-undang Penyiaran, diharapkan membawa perubahan bagi sistem perekonomian daerah. Industri penyiaran dari Jakarta kemudian merespons keras ide perubahan institusi penyiaran dari sentralistis menjadi desentralistis.

Penolakan industri terhadap Undang-undang Penyiaran (16) kemudian seakan “diredam” dengan turunnya paket peraturan pemerintah (PP) tentang penyiaran. Paket PP (khususnya PP Nomor 50, Tahun 2005), sebagai turunan dari Undang-undang Penyiaran, mengakui keberadaan 90% stasiun milik pengusaha Jakarta tanpa harus dilepas ke pengusaha lokal. Akhirnya, masyarakat atau pengusaha lokal tak bisa mengubah keadaan [ekonomi] penyiaran mereka di daerahnya.

Yang terjadi di dunia penyiaran hari ini adalah antiklimaks dari otonomi daerah (17). Penyiaran tetap tersentralisasi di Jakarta. Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), sebagai badan eksekutif yang bertanggung-jawab merumuskan paket 7 PP ini, di Era Pemerintahan Megawati adalah kantor pembuat kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informasi. SBY kemudian mengubahnya menjadi sebuah departemen yang bisa menjalankan kebijakan (18).

Dari latar belakang Depkominfo sebagai “institusi baru” ini, saya melihat ada reduksi fungsi hukum. PP yang seharusnya menjalankan undang-undang di atasnya, kemudian dirumuskan oleh Depkominfo menjadi tak taat arah. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dalam Pasal 5 huruf (g) dan (h) menyatakan bahwa penyiaran diarahkan untuk:

g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran;
h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi;

Departemen Komunikasi dan Informatika dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) di beberapa rancangan PP Penyiaran ini jelas tidak mentaati arah ini karena tidak mengakomodir kepentingan daerah (19).

Dengan legitimasi PP, semua izin harus melalui Menteri Kominfo yang berkedudukan di Jakarta. Izin Penyelenggaraan Penyiaran (untuk televisi atau radio) menjadi sentralistis, yang seharusnya dikeluarkan oleh KPID (20) di daerah-daerah sesuai amanat Undang-undang Penyiaran.

PP juga mengakomodir industri televisi dari Jakarta untuk terus memonopoli udara di Indonesia seperti uraian monopoli kepemilikan televisi dari pengusaha di Jakarta (Analisis 2).

Kesimpulan

Kita harus mengingat lagi bahwa penyiaran sebagai media audiovisual memainkan peran utama dalam sebuah masyarakat modern dan demokratis (21). Media juga menyalurkan nilai-nilai sosial serta mempengaruhi bagaimana masyarakatnya mengetahui, mempercayai, dan merasakan banyak hal.

Media juga kemudian bisa memberikan peluang kerja, apalagi jika media tersebut terintegrasi secara vertikal dengan alamiah dan sehat. Penyediaan peluang kerja ini kemudian menggulirkan roda perekonomian di satu daerah; satu tujuan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tak ingin sentralistis lagi. Di satu titik, posisi dominan para pemain di industri penyiaran akan terjadi secara alamiah. Proses ini akhirnya tidak terjadi secara alamiah dengan munculnya Paket 7 PP Penyiaran. Menjadi sangat penting bahwa pengelola media, khususnya televisi, harus diatur dalam hal kepastian berusaha dan investasi, tanpa harus mengorbankan masyarakat di luar Jakarta.

Di lain pihak, kelak perubahan institusi televisi yang sentralistis menyesuaikan dengan derap langkah otonomi daerah akan memakan biaya kian besar dengan turunnya PP Nomor 11, 12, 13, 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005. Integrasi vertikal, integrasi horizontal dan kepemilikan silang [media] yang menggurita hari ini membuka jurang yang semakin besar antara pusat dan daerah. Jika satu hari nanti televisi-televisi di Jakarta harus berubah, total biaya konversinya akan lebih besar.

Sayangnya, Paket 7 PP itu direduksi fungsi hukumnya oleh segelintir perumus kebijakan dari Jakarta yang tak ingin desentralisasi penyiaran ini terjadi hari ini.

Jakarta, 24 April 2006

Endnotes

(1) Prof Dr Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Problematika Hukum di Indonesia, tahun dan penerbit tak diketahui. Disampaikan Prof. Dr Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, dalam makalahnya ini bahwa fungsi hukum: “… tidak sekedar berfungsi sebagai aturan yang harus ditaati atau memilki fungsi hukum untuk mengendalikan masyarakat. Hukum dalam kehidupannya dapat berfungsi sebagai alat politik bahkan sebagai alat untuk mengubah masyarakat.” (halamaan 2)
(2) Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Penerbit Ghalia, halaman 78 (2002)
(3) Di tahun 1997, satu stasiun paling banyak mempunyai 32 transmitter, dan kebanyakan transmitter itu berada di ibukota provinsi saja. Data diambil dari berbagai kliping koran.
(4) PT Surya Citra Media, Tbk, PT Surya Citra Media Tbk (sebagai induk perusahaan SCTV) dalam paparan tahun 2005 merencanakan akan mengejar target 30 transmiter dalam kurun waktu 2 (dua) tahun saja.
(5) Sentralisasi penyiaran ini kelak mengakar hingga puluhan tahun ke depan, karena di dalam ketujuh PP ini izin satu stasiun televisi berlaku untuk 10 (sepuluh) tahun. Proses penyiarannya juga tak transparan (tidak terbuka untuk publik) karena hanya mendapat persetujuan dari Menteri yang berkedudukan di Jakarta.
(6) Dr Shidarta, SH, Mhum, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, cetakan pertama (CV Utomo Bandung, 2006), halaman 335
(7) Undang-undang Penyiaran secara umum menggariskan peraturan kepemilikan asing (foreign ownership), kepemilikan ganda (multiple ownership), dan kepemilikan media lain (cross ownership)
(8) Aturan praktek persaingan tidak sehat ini adalah turunan dari Undang-undang Penyiarannya (Malaysia’s Communications and Multimedia Act 1998, dan Singapore’s Broadcasting Act Revision 2003).
(9) Definisi monopoli, praktek monopoli, dan pemusatan kekuatan ekonomi tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 huruf (a) “Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”; dan huruf (b) “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum; dan huruf (c) “Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.”
(10) Titi Maria, SH, LL.M, Liability Aspects of Corporate Group Structures, PT Tatanusa Jakarta, halaman 4
(11) Ibid, halaman 5.
(12) Astro Malaysia, dengan induk perusahaan Astro All Asia Networks Plc, mempunyai satelit Measat 1,2, 3 dan akan meluncurkan satelit ke 3 hingga 5 tahun depan. Selain itu, perusahaan penyiaran melalui satelit atau direct to home ini menjangkau 1,8 juta penduduk Malaysia (setara dengan 1/3 jumlah kepemilikan televisi di Malaysia) dengan puluhan kanal produksi sendiri (sumber www.astroplc.com). Astro juga memiliki 9 stasiun radio yang mengantungi 70% total pemasukan iklan di sektor radio. Astro juga memiliki operator telepon selular Maxis Communications.
(13) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dalam Ketentuan Umum (Pasal 1, definisi huruf 7) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(14) Douglass C. North, The New Institutional Economics and Development”, halaman 8, (penerbit dan tahun tidak diketahui).
(15) Id. halaman 7.
(16) Asosiasi Televisi Swasta Indonesia atau ATVSI (televisi yang berbasis di Jakarta) menolak Undang-undang Penyiaran di awal pengesahannya,. Bahkan ATVSI melakukan judicial review atas Undang-undang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK atas gugatan ATVSI ini telah keluar tanggal 28 Juli 2004. Keluarnya Putusan MK Nomor 005/PUU-I/2003 ini menjadi judul di Kompas, 3 Agustus 2004 “Kemenangan Kecil Pasar, Kemunduran Demokrasi”.
(17) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Huruf 5: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(18) Di lain pihak, ada badan pengatur independen (lembaga quasi-negara ) yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (di pusat dan di 33 provinsi ) yang diamanatkan dalam Undang-undang Penyiaran. Selain harus mengingat keberadaan institusi regulator baru seperti KPI ini, perumusan tugas pokok dan fungsi sebuah departemen baru seperti Kominfo hari ini juga harus mengingat bahwa nilai-nilai desentralistis di beberapa sektor (seperti informasi dan penyiaran).
(19) Contohnya, di antaranya, PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Publik Swasta. Jika transmiter SCTV telah menjangkau 90% wilayah di Indonesia, maka ia tak perlu lagi melepas sahamnya ke pengusaha lokal, walaupun pengusaha lokal itu mampu dan mau.
(20) KPID adalah Komisi Penyiaran Indonesia daerah yang berkedudukan di setiap ibukota provinsi.
(21) Apa itu masyarakat modern dan demokratis? Didik J. Rachnini menekankan dalam bukunya Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Penerbit Ghalia, (2002), bahwa “dasar pijak dari pasar politik adalah aturan main yang konstitusional dan demokratis (constitutional games), bukan atas dasar kekuasaan (power game).”

No comments: