Friday, February 8, 2008

Transportasi dan AHP

Transportasi Jakarta Demi Kenyamanan Publik dengan Metode AHP (Analytic Hierarchy Process)

A. LATAR BELAKANG

Masalah transportasi di Jakarta adalah masalah yang sangat pelik. Sebagai pengguna kendaraan umum di Jakarta sejak tahun 1983, hanya rasa tak nyaman dan penat yang bisa saya temui sehari-hari. Faktor kemacetan dan cuaca panas berdebu bercampur menjadi satu dengan interior bus yang tak pernah bersih dari sampah dan pengamen. Semua ini membuat rasa tak nyaman itu kian menumpuk.

Pemerintah, dalam hal ini pusat dan daerah, melakukan beberapa upaya untuk memperbaiki situasi ini. Salah satunya adalah paket transportasi makro yang mulai dijalankan beberapa tahun terakhir ini. Proyek pembenahan transportasi makro ini diberi nama Jakarta Metro System (JMS) dengan membangun sistem angkutan massal atau mass rapid transportation akhirnya diserahkan kepada konsorsium yang terdiri atas 10 badan usaha milik negara dan lima perusahaan swasta.

Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan konstruksi kereta rel tunggal (monorel) di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat, Senin 14 Juni 2004[i].

Pemancangan tiang monorel ini, sebagai bagian dari rencana atau pola transportasi makro di DKI Jakata dirancang bersamaan dengan busway (15 koridor), dan subway (Fatmawati-Kota) yang terdiri dari dua jalur masing-masing jalur hijau (greenline) dan jalur biru (blueline). Jalur bus khusus (busway) telah beroperasi di 3 koridor (Blok M-Kota, Harmoni-Kalideres, dan Harmoni-Pulogadung).

1. Monorel

Monorel adalah kereta ringan dengan rel satu. Mungkin karena penampilannya yang ramping, pemerintah provinsi memilih mode transportasi (transporation mode) ini. Jaraknya hanya seputar daerah bisnis segitiga emas Jakarta. Namun, telah dua tahun setelah pemancangan tiang pertama oleh Presiden (waktu itu) Megawati berlangsung, jalur monorel yang dimaksud belum juga selesai dibangun. Kendala utama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dana. “Biaya investasi monorel mencapai US$ 650 juta. Padahal, panjangnya hanya sekitar 27,8 kilometer,” kata anggota dewan transportasi, Andi Rahmah, usai bertemu gubernur DKI Jakarta di Balaikota Jakarta, 1 April 2005[ii].

Di luar biaya yang tinggi ini, anggota dewan transportasi, Andi Rahmah mempertanyakan alasan monorel yang bisa mengurangi kemacetan. Menurutnya, orang yang berkendaraan pribadi belum tentu mau naik monorel jika jarak yang mereka tempuh sangat pendek, dan itu tidak akan mengurangi kemacetan.

2. Subway dengan Kereta 2 Rel

Subway mempunyai jalur sepanjang 15,4 kilometer itu memiliki rute Lebak Bulus-Fatmawati-Senayan-Dukuh Atas-Bundaran Hotel Indonesia, yang terdiri atas jalur bawah tanah (subway) sekitar 30 persen dan jalur layang (elevated lines) 70 persen. Agak lucu memberi nama subway jika proyek ini mempunyai persentase lebih banyak untuk jalur layang dibanding terowongan.

Kereta dengan dua rel (yang juga bisa dipakai di rel kereta api yang sudah ada) memang memakan waktu pembangunan agak lama karena harus menggali sekitar lima kilometer terowongan, serta memasang beton jalur layang lebih dari sepuluh kilometer. Selain itu salah satu anggota konsorsium Jakarta Metro System/JMS, Direktur Utama PT Adhi Karya Syaeful Imam, seusai penandatanganan kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (MOU), Senin (17/4) di Jakarta, mengatakan, “Perkiraan awal biaya investasi proyek ini sebesar 550 juta dollar AS, terdiri atas biaya konstruksi, biaya kereta ditambah sistem mekanisasi dan kelistrikan, dan biaya lain-lain, tetapi belum termasuk biaya pembebasan tanah,” kata Syaeful.

Menurut Menteri Negara BUMN Sugiharto, setelah penandatanganan MOU, akan dilakukan studi kelayakan, pendanaan, kemudian pembangunan proyek. Pembangunan konstruksi diperkirakan bisa diselesaikan dalam tiga tahun. “Pembentukan konsorsium ini merupakan alternatif untuk menekan biaya investasi dengan memaksimalkan sumber daya lokal. Pencarian dana investasi nantinya bisa dengan cara pemerintah ke pemerintah, swasta dengan swasta, atau kemitraan pemerintah dengan swasta (public private partnership),” kata Sugiharto[iii].

Menurut Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, 17 November 2005[iv], pembangunan subway akan dilakukan oleh pemerintah pusat, cetak birunya sudah ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. “Pembangunan fisik bisa dimulai tahun depan dengan dana lunak dari Jepang,” ujarnya. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006, Pemerintah Provinsi DKI menganggarkan Rp 135 miliar untuk pembangunan subway meliputi manajemen lalu lintas, prakonstruksi, serta pembebasan tiga lahan dan penyempurnaan jalan-jalan alternatif prakonstruksi. Untuk jembatan layang dan jembatan bawah tanah pada 2006 anggarannya Rp 166 miliar.

3. Busway untuk Bus Trans-Jakarta

Yang mungkin lebih feasible dan cepat dibangun di Jakarta adalah busway. Jika diimplementasikan seantero Jakarta, masyarakat pengguna kendaraan pribadi atau kendaraan umum lain tentu harus rela “porsi jalan” diperkecil.

Fasilitas busway dengan merek Trans-Jakarta, sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama karena alasan biaya. Jarak Kalideres (Jakarta Barat) ke Pulogadung (Jakarta Timur) bisa ditempuh dengan biaya hanya Rp 3.500,0,-. Masyarakat hanya perlu turun sekali untuk mengganti jurusan bus di pertemuan Jalan Gajah Mada atau Jalan Haji Juanda (Jakarta Pusat. Waktu tempuh juga relatif lebih singkat, karena bus Trans-Jakarta mempunyai jalur sendiri tanpa diganggu kemacetan berarti (hanya di lampu merah atau pertemuan jalur sempit seperti di depan Mal Taman Anggrek).

Mengingat animo masyarakat ini, pemerintah provinsi DKI Jakarta melanjutkan rencana koridor-koridor busway selanjutnya. Tindakan lain yang diambil adalah pengalihan 12 trayek bus yang rutenya bersinggungan dengan bus khusus (busway koridor 1 Blok M-Kota diubah. Perubahan ini dalam rangka meningkatkan fungsi feeder (bus pengumpan) pada jalur busway tersebut. Perubahan Rabu, 24 Agustus 2005 dimulai pada pukul 05.30 WIB. Pengguna jalan umum sempat “tersiksa” karena macet akibat pembangunan jalur khusus. Selain itu, masyarakat pengguna kendaraan umum juga harus rela melepas bus lain yang jalurnya bersinggungan dengan bus Trans-Jakarta.

Untuk empat koridor busway Pemerintah DKI juga menganggarkan Rp 876,7 miliar, dengan tambahan biaya pembangunan bidang sarana dan prasarana kota sebesar Rp 4,58 triliun, antara lain untuk pembelian busway dan sarana penunjangnya koridor IV,V,VI dan VII dan penyelesaian jembatan layang Roxy.

Presentasi DA Rini MSc (Dewan Transportasi Jakarta) di Bogota, 6-9 February 2003

B. Analytic Hierarchy Process atas Pola Tranportasi Makro di Jakarta

Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) memberikan persepsi lain untuk para pengambil keputusan di negeri ini: menstruktur suatu hierarki memang memerlukan pengetahuan yang luas tentang sistem atau masalah bersangkutan[v]. Di antara beberapa fungsi utama yang akan saya angkat dalam menganalisis transportasi makro di Jakarta adalah tiga perspektif yang diangkat Saaty:

  1. menetapkan prioritas;
  2. menghasilkan seperangkat alternatif;
  3. memilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Selama ini pemerintah provinsi DKI Jakarta membuat “cetak biru” transportasi publik Jakarta hanya memandang dari sisi “pendanaan” saja. Kenyamanan dan kepentingan masyarakat hanyalah nomor sekian.

Tanpa memikirkan anggaran yang terbatas, saya mengajukan alternatif jika

  1. Busway diterapkan di seluruh Jakarta, dengan kondisi seperti ini:
    1. Jalan raya yang ada harus dipotong sebagian untuk busway
    2. Pemberhentian (bus stop/halte) yang jaraknya pendek-pendek
    3. Biaya murah (Rp 3500,- untuk sekali jalan tanpa keluar dari halte)
    4. Tempat duduk terbatas
    5. Kenyamanan (air conditioner dan satpam)
    6. Macet saat dibangun
  2. Monorel diterapkan di seluruh Jakarta; atau
    1. Pembangunannya akan lama (karena biaya per kilometer lebih besar dari biaya busway atau subway)
    2. Kecepatan tempuh dan jadwal keberangkatan yang pasti
    3. Kenyamanan (air conditioner)
    4. Macet saat dibangun
  3. Subway (dengan catatan: di bawah tanah sepenuhnya!) diterapkan di seluruh Jakarta, atau
    1. Pembangunannya lebih lama dari Busway karena harus menggali tanah (tak jelas akan mengganggu jalur pipa air minum atau tidak)
    2. Trayek di awal hanya bisa dibangun untuk jalur Lebak Bulus - Fatmawati - Senayan - Dukuh Atas - Bundaran Hotel Indonesia
    3. Keamanan kereta “bawah tanah” belum terpola jelas
    4. Kemacetan saat pembangunan mungkin bisa diminimalisir (karena metode penggalian bawah tanah)

Secara umum, pemerintah provinsi mempunyai 3 tipe pembangunan infrastruktur dengan segala keuntungan dan kendala internal pemerintah (bukan kendala dan keuntungan masyarakat itu sendiri). Selanjutnya, pemerintah provinsi bisa mendapatkan gambaran prioritas mana bagi pembangunan infrastrukturnya.

Dari semua alasan dengan persepsi awam (non-teknis) di atas, saya, sebagai anggota masyarakat pengguna kendaraan umum di Jakarta, mempunyai 7 alasan untuk menggunakan kendaraan umum di Jakarta.

Transportasi umum yang modern dan nyaman adalah tuntutan masyarakat. Selain itu transportasi juga menjadi tuntutan zaman yang mengharuskan penggunaan waktu seefisien mungkin, dengan tujuan agar masyarakat di Jakarta lebih produktif lagi. Walau belum ada penelitian khusus tentang ini, saya yakin rasa penat dan sumpek selama perjalanan menuju tempat kerja terkait erat dengan rendahnya produktivitas masyarakat di Jakarta. Transportasi yang modern dan nyaman adalah goal yang ingin dituju dari analisis dengan metode AHP ini.

Saya menilai ada 7 aspek penting dalam pembangunan transportasi publik:

  1. Jadwal pasti (JADWAL),
  2. Trayek banyak tapi tidak rumit alias masyarakat tak perlu bergonta-ganti kendaraan untuk menuju satu tujuan (TRAYEK),
  3. Waktu tempuh dari satu tempat ke satu tujuan (TEMPUH),
  4. Kemacetan yang ditimbulkan saat pembangunan (MACETPB),
  5. Lamanya pembangunan infrastruktur (LAMAPB),
  6. Kebersihan dan kenyamanan (NYAMAN); semisal: tak ada sampah, tak ada pengamen/pencopet, atau tersedianya air conditioner untuk melawan udara panas di Jakarta.
  7. Biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan (BIAYA),

Saya kemudian membuat level kedua, yaitu level prioritas:

  1. Penting,
  2. Biasa, dan
  3. Tidak penting,

dengan skala preferensi seperti di bawah ini:

Scale of Preference between Two Elements

(adapted from Crowe et al., 1998; Saaty, 2000; Hafeez et al., 2002)

Preference weights level of importance

Definition

Explanation

1

Equally preferred

Two activities contribute equally to the objective

3

Moderately preferred

Experience and judgement slightly favour one activity over another

5

Strongly preferred

Experience and judgement strongly or essentially favour one activity over another

7

Very strongly preferred

An activity is strongly favoured over another and its dominance demonstrated in practice

9

Extremely preferred

The evidence favouring one activity over another is of the highest degree possible of affirmation

2,3,6,8

Intermediates values

Used to represent compromise between the preferences listed above

Untuk itu saya membuat matriks seperti ini:

JADWAL

TRAYEK

WAKTU

MACETPB

LAMAPB

NYAMAN

BIAYA

JADWAL

1

TRAYEK

1

TEMPUH

1

MACETPB

1

LAMAPB

1

NYAMAN

1

BIAYA

1

Untuk pembanding aspek terhadap 3 macam angkutan modern di Jakarta ini, saya menempatkannya sebagai berikut:

JADWAL

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

5

1/3

Kereta/Monorel

1/5

1

1/7

Kereta/Subway

3

7

1

4,2

13

1,4

JADWAL

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,238

0,384

0,214

Kereta/Monorel

0,047

0,076

0.102

Kereta/Subway

0,714

0,538

0,714

Busway (0,238 + 0,384 + 0,214) : 3 = 0,278

Monorel (0,047 + 0,076 + 0.102) : 3 = 0,075

Subway (0,714 + 0,538 + 0,714) : 3 = 0,655

TRAYEK

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

9

1

Kereta/Monorel

1/9

1

1/3

Kereta/Subway

1

3

1

2,1

13

2,3

TRAYEK

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,476

0,692

0,434

Kereta/Monorel

0,052

0,076

0,130

Kereta/Subway

0,476

0,230

0,434

Busway (0,476 + 0,692 + 0,434) : 3 = 0,534

Monorel 0,052 + 0,076 + 0,130) : 3 = 0,086

Subway (0,476 + 0,230 + 0,434) : 3 = 0,380

TEMPUH

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

7

9

Kereta/Monorel

1/7

1

1/3

Kereta/Subway

1/9

3

1

1,25

11

10,3

TEMPUH

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,800

0,636

0,873

Kereta/Monorel

0,114

0,090

0,032

Kereta/Subway

0,088

0,272

0,097

Busway (0,800 + 0,636 + 0,873) : 3 = 0,769

Monorel (0,114 + 0,090 + 0,032) : 3 = 0,078

Subway (0,088 + 0,272 + 0,097) : 3 = 0,152

MACETPB

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

1

9

Kereta/Monorel

1

1

9

Kereta/Subway

1/9

1/9

1

2,1

2,1

19

MACETPB

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,476

0,476

0,473

Kereta/Monorel

0,476

0,476

0,473

Kereta/Subway

0,052

0,052

0,052

Busway (0,476 + 0,476 + 0,473) : 3 = 0,475

Monorel (0,476 + 0,476 + 0,473) : 3 = 0,475

Subway (0,052 + 0,052 + 0,052) : 3 = 0,052

LAMAPB

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

1/9

3

Kereta/Monorel

9

1

1

Kereta/Subway

1/3

1

1

10,3

2,1

5

LAMAPB

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,097

0,052

0,600

Kereta/Monorel

0,873

0,476

0,200

Kereta/Subway

0,029

0,476

0,200

Busway (0,097 + 0,052 + 0,600) : 3 = 0,249

Monorel (0,873 + 0,476 + 0,200) : 3 = 0,516

Subway (0,029 + 0,476 + 0,200) : 3 = 0,235

NYAMAN

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

1/9

1/5

Kereta/Monorel

9

1

3

Kereta/Subway

5

1/3

1

15

1,4

4,2

NYAMAN

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,066

0,079

0,047

Kereta/Monorel

0,600

0,714

0,714

Kereta/Subway

0,333

0,214

0,23

Busway (0,066 + 0,079 + 0,047) : 3 = 0,064

Monorel (0,600 + 0,714 + 0,714) : 3 = 0,676

Subway (0,333 + 0,214 + 0,238) : 3 = 0,261

BIAYA

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

1

7

1

Kereta/Monorel

1/7

1

3

Kereta/Subway

1

1/3

1

2,1

8,3

5

BIAYA

Bus/Busway

Kereta/Monorel

Kereta/Subway

Bus/Busway

0,476

0,843

0,200

Kereta/Monorel

0,068

0,120

0,600

Kereta/Subway

0,476

0,036

0,200

Busway (0,476 + 0,843 + 0,200) : 3 = 0,503

Monorel (0,068 + 0,120 + 0,600) : 3 = 0,262

Subway (0,476 + 0,036 + 0,200) : 3 = 0,237

KESIMPULAN:

Masyarakat awam melihat 3 tipe transportasi (busway, monorel dan subway) dari 7 dimensi dengan prioritas masing-masing sebagai berikut:

Busway (%)

Monorel (%)

Subway (%)

Jadwal

65

7

28

Trayek

53

9

38

Tempuh

77

8

15

MacetPb

47.5

47.5

5

LamaPb

25

51.5

23.5

Nyaman

6

68

26

Biaya

50

26

24

Dari perkiraan ini, saya mengharapkan memang akhirnya busway bisa menjadi satu pemecahan masalah ketidaknyamanan saya, setidaknya untuk saat sekarang hingga lima tahun ke depan.

Jakarta, 6 Juli 2006


[i] Kompas, Senin, 14 Juni 2004.[ii] Tempo Interaktif www.tempointeraktif.com, Jumat, 1 April 2005, pukul 16:14 WIB.[iii] Kompas, 18 April 2006.[iv] Tempo Interaktif, Kamis, 17 November 2005, pukul 18:20 WIB.[v] Thomas L. Saaty, Pengambilan Keputusan, Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks, terjemahan tahun 1993, PT Pustaka Binaman Pressindo dan PPM.

No comments: