Friday, February 8, 2008

Regulasi yang Memihak

Desember 27, 2007

Serikat Karyawan (Sekar) PT Telkom, Tbk memasang spanduk menarik di beberapa kantornya, bertuliskan: “Regulasi tak selalu harus memihak kapitalis”. Mungkin juga masalah interkoneksi yang memicu permasalahan ini, mungkin juga masalah lain. Dengan segala hormat terhadap seluruh karyawan PT Telkom, Tbk, saya ingin menelisik sedikit esensi dari sebuah regulasi telekomunikasi.

Berawal dari kebijakan yang dilandasi asas, manfaat, atau tujuan dari bernegara, sebuah regulasi dibuat tentunya untuk kemaslahatan masyarakat. Adam Smith (1776) menegaskan bahwa sebuah negara yang makmur adalah yang mampu memanfaatkan sumber daya yang ada di daerahnya. Sumber daya (resources) seperti tanah dan isinya tak dapat dikembangkan, sebaliknya manusia bisa tetap melahirkan sumber daya manusia baru (walau harus dibesarkan dan dilatih terus). Kapital (mesin, pabrik, pohon teh, sapi) pun bisa dibuat terus sejalan dengan bertambahnya SDM yang terampil.

Tanah dan isinya serta sumber daya yang terbatas lainnya, terus diperbaharui, diinovasi, ditingkatkan penggunaan alokasi yang ada, dan seterusnya. Jika tanah di bumi ini terbatas, manusia sebagai modal kapital yang diberi akal tentu harus mencari alternatif pemanfaatan sumber daya lain selain tanah dan isinya itu.

Satu contoh, orang kemudian mencari sumber daya energi alternatif menggantikan minyak dan batu bara di dalam bumi ini yang terus digunakan sementara cadangannya kian menipis. Jagung akhirnya bisa menimbulkan agflation (istilah baru terdiri dari dua kata agro- dan -flation). Harga jagung kemudian naik karena permintaan yang lebih banyak dari sekadar konsumsi pangan reguler.

Sumber daya alam yang terbatas lainnya adalah frekuensi. Sama halnya seperti tanah, frekuensi juga memiliki kapling-kapling terbatas. Alokasi frekuensi radio FM yang bisa digunakan hanya 89.60 MHz hingga 108.00 MHz. Di bawah dan di atas rentang alokasi itu, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, sesuai dengan kesepakatan International Telecommunications Union, telah mengalokasikannya untuk penggunaan komunikasi alat transportasi udara, laut, hingga komunikasi pertahanan keamanan nasional.

Dari terbatasnya sumber daya frekuensi ini, pemain-pemain di industri telekomunikasi–tak terkecuali di Indonesia–harus mematuhi aturan main yang dibuat bersama antara wakil rakyat di DPR RI dan pemerintah (diwakili Dirjen Postel Depkominfo) yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Di lain pihak, penetrasi perangkat telekomunikasi di Indonesia terkendala atas mahalnya investasi awal, yaitu membangun fasilitas menara di satu daerah terutama di daerah yang populasi penduduknya masih rendah.

Selain itu, sebagai satu entitas perusahaan monopoli sejak negara ini berdiri yang kemudian harus berubah untuk menghadapi kompetisi global, PT Telkom, Tbk juga harus bisa beradaptasi dengan tingginya permintaan masyarakat untuk bertelekomunikasi. Antisipasi terhadap kompetisi global menjadi salah satu alasan mengapa AT&T juga dipecah menjadi Baby Bells (Nynex di New York dan New England; Bell Atlantic, BellSouth dan Ameritech di kawasan tengah Amerika Serikat; serta Southwestern Bell, U.S. West dan Pacific Telesis di California dan Nevada).

Di luar masalah kompetisi global, atas nama masyarakat seluruh Indonesia, ada dua hal yang harus diperhatikan regulator negeri ini:

  1. antisipasi lonjakan permintaan seluruh daerah yang masih blank spot, dan
  2. antisipasi pengaturan pemain industri telekomunikasi yang kian membengkak: masalah interconnectivity dan bottleneck.

Untuk antisipasi pemain, salah satu masalahnya adalah interkonektivitas. Bayangkan jika pengguna Esia hanya bisa berbicara dengan sesama pengguna Esia, berapa banyak nomor telepon yang harus dimiliki oleh satu orang? Tidak praktis. Sehingga yang memang diperlukan adalah masalah interkonektivitas antar-operator telepon. Selain itu, Dirjen Postel juga harus memberikan insentif pemain industri agar tak terjadi dari bottleneck atau kemacetan di titik-titik tertentu.Bayangkan sebuah jalan tol yang telah dibangun oleh PT Telkom, Tbk (jangan lupa ada juga uang rakyat yang digunakan sebelum menjadi perusahaan terbuka seperti sekarang), kemudian Telkom harus berbagi jalan ini dengan operator lain.

Untuk antisipasi blank spot, Dirjen Postel pun harus mampu membangun infrastruktur (atau memberikan insentif terhadap pembangunan infrastruktur) telekomunikasi. Jika Dirjen Postel telah membuat aturan main yang jelas, serta implementasi pengaturan tengah berjalan hari ini, satu hal yang harus tetap diperkirakan untuk pengaturan masa depan adalah “tailor-made” infrastruktur hingga ke pelosok daerah. Sebuah perkampungan penduduk Indonesia di perbatasan Kalimantan Timur dengan Sabah, Malaysia tentu tak memerlukan sebuah menara senilai 20 milyar rupiah. Perkampungan dengan 10 kepala keluarga tak memerlukan jalan tol, cukup dengan jalan setapak yang rapi dan bisa dilalui pejalan kaki hingga sepeda motor. Dan masih ada jutaan titik di Indonesia seperti ini…

No comments: