Friday, February 8, 2008

Rekomendasi APPSI 2006

REKOMENDASI RAKERNAS APPSI TAHUN 2006 DI MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

APPSI memahami otonomi daerah sebagai format Pemerintahan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD 1945, dan karena itu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya menetapkan agar Pemerintah mengambil prakarsa untuk menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang isi dan substansinya bertentangan dan atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dalam kerangka tata kelola pemerintahan yang baik. Kenyataan tentang masih banyaknya peraturan perundang-undangan seperti itu telah menjadi salah satu penyebab utama dari terjadinya berbagai kerancuan dan kendala dalam implementasi otonomi daerah. Akibatnya, harapan rakyat yang demikian besar akan lahirnya praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dalam hal ini, penyelenggaraan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan pencapaian sasaran-sararan pembangunan di daerah, tidak sepenuhnya dapat terwujud.

Beban berat yang harus dipikul oleh Pemerintah Daerah karena tidak terpenuhinya harapan masyarakat tersebut, tidak mungkin lagi bisa ditanggung oleh Pemerintah Daerah sendiri. Ia mengharuskan adanya langkah-langkah konstruktif dan korektif dari Pemerintah, khususnya menyangkut review dan revisi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan di atas.

Atas dasar pemahaman ini, maka setelah membahas dan mencermati pokok-pokok pikiran yang lahir dalam Rakernas APPSI Tahun 2006 di Mataram, maka dengan ini direkomendasikan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menyusun dan menetapkan peraturan pemerintah tentang kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kewenangan dimaksud seyogyanya dirumuskan secara rinci berkenaan dengan seluruh sektor penyelenggaraan pemerintahan yang karena sifatnya atau kepentingannya dianggap lebih tepat jika dilaksanakan oleh Gubernur. Selanjutnya, PP dimaksud juga harus merumuskan hak-hak keuangan Gubernur yang dilimpahkan kepadanya sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan tanggungjawabnya sebagai wakil pemerintah pusat.

2. Memprakarsai pengajuan konsep amandemen terhadap UUPA No 5 Tahun 1960 agar selaras dengan asas desentralisasi, demi menampung tuntutan pelayanan sektor pertanahan akibat perkembangan jumlah penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan tata ruang, kepastian hak-hak atas tanah, termasuk hak ulayat/adat. Untuk itu diperlukan “data base” pertanahan yang baik dalam rangka percepatan pelayanan pertanahan demi menunjang pembangunan daerah melalui desentralisasi pelayanan publik dan disertai pelimpahan Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen (P3D) kepada Pemerintah Daerah. Selanjutnya agar Presiden menangguhkan pelaksanaan Perpres No 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan melakukan peninjauan kembali serta merevisi Perpres No 10 Tahun 2006. Hal ini diperlukan agar substansi Perpres tersebut tidak lagi bertentangan atau selaras dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah menetapkan administrasi pertanahan sebagai salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah.

3. Merespons secara positif prakarsa APPSI bersama DPD RI mempercepat proses amandemen UU No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berpihak pada otonomi daerah. UU No. 21 tahun 1992 tersebut dalam pemikiran banyak pihak bersifat sentralistik dan rancu. Kerancuan itu antara lain, tercermin melalui pengalihan tugas pemerintah dalam pelayanan kepelabuhanan oleh badan usaha yaitu PT Pelindo, sehingga tidak ada pemisahan secara tegas antara fungsi operator dan regulator pelabuhan. Hal ini telah menyebabkan kerugian negara yang bersifat akumulatif dari tahun ke tahun dan secara konsisten memelihara ekonomi biaya tinggi ( high cost economy ), menurunkan daya saing Indonesia di kancah global, yang pada gilirannya telah sangat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional kita. Karena itu undang-undang ini perlu diamandemen, termasuk untuk mengembalikan pengelolaan pelabuhan kepada pemerintah daerah setempat.

4. Menyerahkan kewenangan administrasi penanaman modal PMA dan PMDN kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan UU 32Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang iklim investasi, khususnya pemberian insentif kepada investor, selayaknya dilakukan secara bottom up dengan mempertimbangkan kebutuhan investasi di daerah. APPSI juga secara tulus dan obyektif mendukung rencana pemerintah untuk menetapkan “special investment zone” di beberapa Provinsi, dengan harapan agar regulasi sektor perdagangan, industri, manufaktur, kepelabuhanan, layanan transportasi, dan ketenagakerjaan yang ditetapkan di wilayah tersebut bersifat khusus, dalam arti penerapan regulasi yang berbeda dari apa yang berlaku secara nasional, sehingga menjadi stimulus bagi investor untuk masuk ke wilayah tersebut.

5. Memberi perhatian yang serius dan konsisten terhadap kenyataan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang dalam konteks administrasi pemerintahan dengan sendirinya memiliki Provinsi-Provinsi yang berciri khusus karena terdiri atas pulau-pulau yang banyak, bukan daratan yang bersifat utuh. Provinsi-provinsi maritim tersebut menyelenggarakan pelayanan umum, pemberdayaan masyarakat dan pembangunan di kawasan geografis yang penuh dengan kendala dan lingkungan sosial ekonomi dengan pilihan aktifitas yang relatif terbatas. Karena itu diperlukan perlakuan khusus dengan memberi wewenang pengelolaan atas sumber daya alam yang berada di laut, serta memberi tambahan subsidi melalui format DAU yang mempertimbangkan luas wilayah laut di lingkungan masing-masing Provinsi itu sebagai dasar pengalokasian DAU atau DAK, tambahan itu dapat di arahkan secara khusus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat serta perbaikan layanan pendidikan, kesehatan, dan transportasi lokal.

6. Menetapkan wilayah-wilayah perbatasan negara sebagai halaman depan RI, yang diwujudkan melalui perencanaan pembangunan yang bersifat khusus, yang alokasi anggarannya diambil dari APBN. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten bertanggung jawab mendukung sepenuhnya pembangunan wilayah perbatasan. Hal ini penting mengingat keterbatasan kemampuan dana, teknis perencanaan, dan peralatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Pada saat yang sama, Pemerintah Daerah menyadari semakin luasnya bahaya dan kerawanan-kerawanan di sektor sosial, hukum, pengelolaan lingkungan, dan keamanan di wilayah-wilayah perbatasan itu, akibat keterbelakangan sosial ekonomi dan infrastruktur yang melekat pada eksistensi wilayah perbatasan selama ini. Karena itu, Presiden seyogyanya memberi perhatian khusus terhadap pembangunan wilayah perbatasan yang secara langsung akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan pembangunan wilayah perbatasan juga akan menaikkan martabat kita sebagai bangsa dan negara dalam pergaulan dunia.

7. Mempertimbangkan usul-usul yang telah disampaikan oleh para Gubernur di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang di wilayahnya terdapat kawasan perkebunan besar (BUMN) agar laba bersih dari usaha perkebunan negara dapat dikenakan ketentuan bagi hasil untuk daerah secara proporsional, dan agar dana ” Community Development ” dari BUMN tersebut dapat disalurkan melalui APBD masing-masing Provinsi. Dua hal ini, dibutuhkan untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.

8. Menetapkan secara definitif batas kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pemberian ijin jasa pos telekomunikasi serta frekwensi radio dan televisi yang berskala lokal, seperti untuk komunikasi ORARI, RAPI, Konsesi, Penyiaran Radio dan TV Lokal. Ini diperlukan karena frekwensi sebagai ranah pelayanan publik tidak seluruhnya dikelola secara sentral, walaupun regulasinya ditetapkan secara nasional. Pengelolaan perijinan dapat diatur secara bertingkat sesuai ruang lingkup jangkauan penyiaran, seraya tetap mengacu kepada ketentuan yang bersifat nasional itu. Ini diperlukan guna menghindari konflik kewenangan yang berkepanjangan antara pemerintah dan pemerintah daerah, serta memberi kepastian hukum dan kepastian pelayanan yang baik kepada masyarakat pengguna jasa frekwensi.

9. Mendukung upaya pemerintah menerbitkan produk hukum yang tepat untuk melindungi aparat pemerintah dan pemerintah daerah dari kemungkinan diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum tanpa dasar bukti awal yang kuat dan benar. Perlakuan seperti itu telah secara sistematis merusak citra pemerintah, menurunkan gairah kerja dan daya prakarsa aparatur serta menghambat penyelenggaraan administrasi pemerintahan di daerah. APPSI mengharapkan agar proses pengajuan aparat pemerintah untuk diperiksa oleh instansi Kepolisian, Kejaksaan, KPK, atau Timtas Tipikor dilakukan setelah terlebih dahulu melewati pemeriksaan oleh aparat pengawas fungsional (Bawasda, Inspektorat Jenderal, Inspektur Utama, BPKP, BPK), sehingga berita tentang pemeriksaan terhadap mereka tidak secara serta merta menjadi konsumsi publik, pada hal belum tentu bisa secara lengkap memenuhi syarat-syarat penuntutan.

Demikian Rekomendasi Rakernas APPSI kami sampaikan kepada Presiden RI semoga mendapat perhatian, apresiasi dan tindaklanjut sebagaimana mestinya, demi segera terwujudnya penyelenggaraan Pemerintahan Nasional yang lebih baik.

1 Bali: Dewa Made Beratha
2 Bangka Belitung: A. Hudarni Rani
3 Banten: Hj. Ratu Atut Chosiyah
4 Bengkulu: Agusrin M. Najamudin
5 D.I. Yogyakarta: Sri Sultan Hamengku Buwono X
6 DKI Jakarta: Sutiyoso
7 Gorontalo: Fadel Muhammad
8 Jambi: Anthony Zeidra Abidin
9 Jawa Barat: Nu’man A Hakim
10 Jawa Tengah: Mardiyanto
11 Jawa Timur: Imam Oetomo
12 Kalimantan Barat: Usman Ja’far
13 Kalimantan Selatan: H. Arifin
14 Kalimantan Tengah: A. Teras Narang, SH.
15 Kalimantan Timur: H. Suwarna Abdul Fatah
16 Lampung: Sjachrudin ZP
17 Maluku: Karel Albert Ralahalu
18 Maluku Utara: Thaib Armaiyn
19 Nanggroe Aceh Darussalam: Mustafa Abubakar
20 Nusa Tenggara Barat: Lalu Serinata
21 Nusa Tenggara Timur: Piet Alexander Tallo
22 Papua: M.E.S. Situmorang
23 Riau: Rusli Zainal, SE
24 Sulawesi Selatan: Syahrul Y. Limpo
25 Sulawesi Tengah: H.B. Paliudju
26 Sulawesi Tenggara: Ali Mazi
27 Sulawesi Utara: S.H. Sarundajang
28 Sumatera Barat: Gamawan Fauzi
29 Sumatera Selatan: Syarial Oesman
30 Sumatera Utara: Rudolf Pardede
31 Irian Jaya Barat: Abraham O. Atururi
32 Sulawesi Barat: H. Samsul Arief Rivai
33 Kepulauan Riau: Ismeth Abdullah

*Diambil dari situs www.appsi-online.com

No comments: