Friday, February 8, 2008

Mengatur Pasar Konvergensi Indonesia

oleh Amelia Day

Marketing. Satu kata untuk banyak arti, terutama di saat semua orang bisa mengakses informasi dengan lebih leluasa. Tak ada sepuluh tahun lalu, media yang dikenal masyarakat hanyalah televisi, radio dan koran. Ketiganya adalah push information (orang menerima apa adanya informasi yang disajikan televisi), sedangkan blog ini adalah bentuk pull information (orang mencari informasi yang diinginkan). Hari ini, tak cuma blog individu tapi juga ada situs-situs berbasis komunitas yang memungkinkan semua orang bisa saling bertukar informasi dan pengetahuan dalam waktu cepat dan biaya rendah. Di saat information overloaded inilah, kata marketing memiliki makna berbeda sepuluh tahun silam. Pertanyaan saya kemudian adalah, perilaku pemain pasar yang seperti apa yang bisa dikategorikan per se illegal, dan yang mana yang harus melalui proses evaluasi dan kajian sebelum ditentukan ilegal atau tidak. Apakah KPPU bisa menetapkan ilegal terhadap usaha-usaha marketing/advertising Telkomsel-IM3 yang dicurigai dikendalikan oleh Temasek untuk memukul pemain pasar lain keluar?
Membahas ‘marketing’ dan ‘persaingan usaha yang sehat’ di masa kebanjiran informasi ini adalah bagian dari pengaturan konvergensi media di Indonesia. Di satu sisi, ada sebuah gurita pasar yang kian membesar (network of markets), di sisi lain ada daerah lain di Indonesia yang belum tersentuh perkembangan teknologi dan konvergensi sama sekali. Konvergensi bisa terjadi terhadap platform (fixed telephony dan mobile telephony), layanan (televisi melalui jaringan broadband), peralatan (mobile TV), ataupun pemain industri.

Konvergensi memang sedang terjadi di Indonesia hari ini. Di saat konvergensi terjadi, inovasi tak hanya terjadi seputar teknologi tapi juga marketing ataupun manajemen. Yang pasti, langkah integrasi vertikal dan horizontal telah dilakukan banyak pemain pasar dominan hari ini. Langkah ini adalah selain untuk efisiensi usaha, juga untuk tujuan mempertahankan posisi dominannya. PT Telkomsel, Tbk (anak perusahaan PT Telkom, Tbk) dan PT Indosat Mega Multi Media/IM3 (anak perusahaan PT Indosat, Tbk) ternyata masih dimiliki oleh Temasek Singapura, baik secara langsung ataupun melalui anak perusahaan Temasek. Bimantara telah melakukan integrasi vertikal (lihat tabel di bawah ini) yang cukup strategis selama periode 5 tahun terakhir ini; situs OkeZone adalah langkah termutakhir setelah menambah jajaran usaha radio, media cetak, dam telepon selular sistem CDMA. Selain itu, muncul pula Lippo sebagai pemain baru di industri telekomunikasi. Sebelumnya Lippo hanya ‘bermain’ di industri televisi berlangganan.

Hari ini KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sedang melakukan investigasi akan adanya kolusi dua operator telepon selular Telkomsel dan IM3. Kolusi tidak bisa dianggap per se illegal hanya karena adanya penetapan harga bersama (price fixing) atau EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation and Amortization) kedua pemain ini tinggi.

Ada sebuah catatan khusus tentang masalah kemungkinan kolusi ‘Telkomsel-IM3′. Di saat pemain di satu pasar (yang merupakan pemain incumbent, atau pemain lama) harus menghadapi pemain-pemain baru seperti Lippo Telecom yang juga merupakan anak perusahaan dari sebuah konglomerasi usaha global, tindakan yang harus ia lakukan adalah mempertahankan posisinya. Kecenderungan incumbent menghadapi pemain baru (new entrant) yang kecil adalah melakukan kampanye iklan untuk tetap bertahan dominan. Kecenderungan incumbent menghadapi pemain baru yang memiliki jaringan usaha besar tentu menjadikan pasar lebih dinamis. Tarif berlangganan atau pulsa mungkin akan diturunkan, dan bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal lain yang mengubah dimensi struktur pasar dalam rangka efisiensi adalah kemungkinan beberapa operator selular seperti esia (Bakrie Telecom), XL (Excelcomindo) dan Mobile-8 (Bimantara) akan merger atau melakukan aliansi strategis. Merger, akuisisi dan aliansi strategis telah terjadi di industri televisi dan radio beberapa waktu tahun terakhir; hari ini tertinggal segelintir pemain dominan dibanding di akhir 2002 saat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan ruang untuk televisi lokal hadir. Polarisasi kepemilikan media elektronik dan cetak yang semakin jelas kemudian akan menuju ke satu titik pasar konvergensi dengan industri telekomunikasi dan internet.

Dinamika pasar di satu titik harus disikapi dengan tindakan ex post atau pemantauan dan evaluasi KPPU. Kondisi-kondisi hari ini merupakan upaya mencapai titik ekuilibrium pasar. Terjadinya fenomena ‘harga SMS turun hingga Rp 0,-’ yang dilakukan oleh operator Three, bisa dilihat sebagai keuntungan sementara bagi publik. Berapa lama Three mampu ‘jual rugi’ atas produknya ini? Berapa lama pula Telkomsel dan IM3 bertahan dengan EBITDA tinggi? Mengkaji prediksi-prediksi seperti ini tentu merupakan pekerjaan berat bagi KPPU.

Satu catatan khusus tentang KPPU: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sedang direvisi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) hari ini. Undang-undang ini adalah ex ante regulation bagi pemain pasar di segala sektor. Ada beberapa pasal Undang-undang ini yang lex imperfecta, seperti Pasal 28 dan Pasal 29 yang baru bisa diimplementasikan setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP). Selain masalah prosedural inilah ada masalah lain yang lebih legal-filosofis yang harus menjadi pertimbangan revisi Undang-undang:

1. Kompetisi yang sehat adalah bentuk kompetisi yang efektif sehingga semua pemain di setiap sektor usaha bisa memberikan barang/jasa yang murah dengan kualitas baik.

2. Khusus untuk pengaturan sektor telekomunikasi dan informasi, ada dimensi sosial dan budaya yang harus diterapkan sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sekalipun demikian, penerapannya di daerah tidak selalu menyebabkan tingginya harga ‘law enforcement’ di sana.

3. Terkait nomor 2 di atas, pengaturan yang sejalan dengan otonomi daerah adalah untuk menggairahkan pilar ketiga dari pembangunan: pemerataan. Rendahnya teledensitas di Indonesia merupakan kegagalan pemerintah membangun infrastruktur kabel listrik dan jalur transportasi yang memadai.

Indonesia adalah sebuah pasar besar yang terdiri atas beberapa pasar-pasar kecil yang dipisahkan oleh batas geografis, bahasa hingga politis. Konvergensi media dan teknologi juga akan terjadi di Indonesia, terutama di ibukota yang padat penduduknya. Mengatur sebuah pasar dengan latar belakang dan masalah kompleks seperti Indonesia adalah pekerjaan berat bagi pengambil keputusan di negeri ini. Ada masalah filosofis dan prosedural yang harus dikaji. Ada juga masalah konsepsi otonomi daerah yang belum matang. Saya percaya perbaikan sistem sedang terjadi. ‘Invisible hand’ tidak akan berjalan baik tanpa peraturan yang baik dan institusi yang mampu menjalankannya hingga ke pelosok negeri ini.

Jakarta, 28 Juni 2007

No comments: